Jalaluddin Rakhmat
Malam itu, dengan berurai airmata, seorang gadis
-sebut saja Belia- melaporkan kehamilan kepada kedua orang-tuanya. Mereka
terkejut, marah, dan
bingung. Mereka lebih bingung lagi
ketika tahu anaknya diperkosa
kemanakannya yang disuruh menjaga gadis itu. Dapatkah Anda memberikan nasehat praktis bagi
orang tua yang malang itu? Nasehat praktis, bukan khotbah panjang tentang
akibat dekadensi moral dan globalisasi?
Di tempat yang lain, seorang gadis -sebut saja Dara- ditemukan secara
tidak sengaja sudah hamil lebih dari
tiga bulan. Ia masih murid sekolah
menengah. Ia mengaku terus-terang bahwa semuanya terjadi karena pergaulan
bebas. Ia tidak tahu siapa yang menghamilinya.
Mestikah ia meneruskan kehamilan itu dan meninggalkan sekolahnya?
Mestikah ia memilih salah satu “partner” dan menikah dengannya? Jika ia menjawab “ya” untuk kedua pertanyaan
itu, sudah siapkah mereka memikul
tanggung-jawab keluarga?
Kedua kasus ini terjadi dalam dunia nyata di sekitar kita. Inilah
peristiwa “children having children”,
anak-anak yang sudah mengandung anak-anak. Untuk kasus pertama kita turunkan
penjelasan Dr A.F Mohsen Ebrahim,
dosen studi Islam di Universitas Durban Westville, Afrika Selatan
(Aborsi Kontrasepsi dan Mengatasi Kemandulan, Mizan, 1997)
“Tetapi bagaimana jika seorang gadis berusia
14 tahun hamil, diperkosa, katakanlah dengan tetangganya yang berusia 16 tahun?
Haruskah ia diasingkan sampai dia melahirkan? Karena jelas, Islam tidak
mendukung adopsi. Dia tidak dapat menjadikan adopsi sebagai pilihan setelah
anaknya lahir. Apakah tidak lebih praktis bila dia menjalani aborsi sehingga
memungkinkannya untuk menjalani rutinitas masa kanak-kanaknya?
Hal ini tentu saja akan menyelamatkannya
dari kemungkinan menjadi orangtua sebelum waktunya dan memberikan kesempatan
nantinya kepada gadis ini untuk menikah dengan seseorang dan memulai kehidupan
berkeluarga. Tetapi kemudian akan timbul persoalan baru, apakah secara moral
benar baginya untuk merahasiakan perkosaan dan aborsi dari suaminya yang
sekarang?
Semua ini adalah persoalan-persoalan nyata
dan penulis tidak mungkin memberikan
jawaban pasti. Penulis cenderung untuk mengusulkan bahwa gadis berusia 14 tahun
ini dibiarkan untuk melakukan aborsi pada tahap awal kehamilan. Hal ini akan
menjamin masa depan yang lebih baik baginya agar nanti dapat memasuki lembaga
pernikahan yang suci kalau saat ia dewasa. Tetapi tidakkah aturan ini
memberikan contoh yang akhirnya dapat disalahgunakan?”
Walaupun Ebrahem menyarankan aborsi,
ia mengaku tidak dapat memberikan
jawaban pasti. Ia memberikan satu pemecahan dan menimbulkan banyak persoalan
baru. Aborsi memecahkan masalah
kehamilan yang tidak dikehendaki. Tetapi pembolehan aborsi dikuatirkan
akan disalahgunakan. Ia juga meragukan
pembenaran moral bagi perahasiaan aborsi itu di kemudian hari.
Lalu, bagaimana dengan kasus kedua? Dr Azrul Anwar, ketua IDI sekarang, tampaknya
juga menyarankan aborsi. Ia
berargumentasi, “Lebih bermoral mana:
membiarkan seseorang yang tidak tahu tentang siapa bapaknya dan akhirnya
si anak terlantar dengan masa depan hancur, atau dengan memberikan pertolongan
(aborsi) yang hanya setengah jam? Aborsi itu pintu terakhir ketika konseling
dan lainnya tidak berhasil.”
Dr Kartono Muhammad, ketua IDI dulu, sepakat dengan Anwar. Ia mengajak kita bukan hanya
memperdebatkan aspek moral, tetapi juga
memikirkan nasib perempuan yang “menderita” kehamilan tidak dikehendaki: “Tak
ada yang mencoba memikirkan, siapa yang harus menolong kaum perempuan yang
kebingungan karena mengalami kehamilan yang tidak diinginkan itu. Juga tidak
ada yang membantu mencarikan jalan keluar, kecuali mengutuk ketika perempuan
itu terpaksa mencari penggugur kandungan. Dan, toh, kita mengatakan bahwa
dengan mengutuk itu kita lebih bermoral daripada membantu mencarikan jalan
keluar bagi mereka.” (Ummat, 8 Desember 1997).
Ebrahim, Anwar, dan Muhammad -dan kita
semua- sepakat bahwa aborsi itu perbuatan buruk. Tetapi dalam dunia nyata, tidak melakukan aborsi dapat menyebabkan
perbuatan buruk yang lain.
Dua-duanya buruk. Dan kita hanya punya satu pilihan. Dalam ushul fiqih, pertentangan di antara dua pilihan yang
mempunyai dalil syarak yang sama kuatnya disebut sebagai tazâhum.
Bila terjadi tazâhum, para ulama memberikan kepada kita petunjuk
berikut. Pertama, dahulukan hukum yang menyempitkan di atas hukum yang
memberikan keluasan. Anda harus menolong orang yang kecelakaan atau melakukan salat pada awal waktunya pada
waktu yang bersamaan. Dahulukan yang pertama karena waktunya sempit. Salat dapat dilakukan pada waktu yang lain.
Kedua, dahulukan yang ada penggantinya di atas yang tidak ada penggantinya. Anda
punya air sedikit. Air itu dapat digunakan untuk berwudhu atau untuk minum orang yang hampir mati
kehausan. Gunakan air itu untuk minum,
karena untuk itu air tidak dapat digantikan dengan tanah. Wudhu dapat diganti dengan tayammum.
Ketiga,
utamakan sesuatu yang sudah
ditentukan di atas yang sesuatu yang memberikan pilihan. Para ulama memberikan contoh klasik. Anda hanya
mempunyai seorang budak. Anda telah
bernazar untuk membebaskan seorang budak. Anda juga harus melakukan kifarat
karena menyegaja membatalkan puasa. Bebaskan budak untuk memenuhi nazar. Karena
untuk kifarat puasa, Anda mempunyai tiga pilihan: membebaskan budak, puasa dua
bulan, dan memberi makan enam puluh
orang miskin.
Keempat,
dahulukan yang lebih penting di atas yang penting. Dengan kalimat lain,
dahulukan yang pokok (ushul) di atas yang
cabang (furu’). Memelihara
kehidupan bayi penting, tetapi
memelihara kehidupan ibu lebih penting lagi.
Pada usia remaja, menikah penting tetapi mencari ilmu lebih penting
lagi. Mungkin termasuk ke sini adalah butir berikut.
Kelima, dahulukan yang berbahaya di atas
yang lebih berbahaya. Inilah pilihan akhaffu
al-dhararain, yang paling ringan di
antara dua bahaya. Anda tidak punya
pekerjaan untuk menghidupi keluarga Anda.
Anda ditawari pekerjaan, tetapi Anda harus meninggalkan keluarga
Anda. Tidak bekerja atau meninggalkan
keluarga?. Pilihlah yang paling ringan bahayanya bagi Anda.
Walaupun pedoman itu sudah cukup jelas,
dalam praktek -terutama untuk keempat
dan kelima- konteks (situasi-kondisi)
akan menyebabkan tingkat
pentingnya dan tingkat bahayanya sesuatu itu menjadi sangat relatif. Tetapi di sinilah terletak fleksibilitas
hukum-hukum Islam.
Marilah kita kembali kepada aborsi.
Jika Anda adalah orang tua dari Belia.
Anda dihadapkan pada dua pilihan. Pertama, Anda memelihara kehamilan Belia.
Dengan begitu, Anda menyebabkan
Belia menderita sepanjang hidupnya karena pengalaman traumatisnya. Menurut Dr
Ebrahim, Anda juga menghancurkan masa
depannya, menyengsarakan kehidupan
anaknya, di samping menutup kemungkinan baginya untuk membina
kehidupan keluarga. Menyebabkan
menderita berarti berbuat zalim. Kezaliman pasti perbuatan munkar. Kedua, Anda
membantu Belia untuk melakukan aborsi.
Aborsi sudah jelas diharamkan syarak. Tidak perlu penjelasan tambahan.
Gunakan pedoman tentang tazâhum. Memelihara kehamilan atau mempunyai anak mempunyai peluang yang lebih banyak. Kalau kehamilan itu sekarang diakhiri, Belia
masih mungkin untuk mempunyai anak lagi
pada waktu yang akan datang. Berdasarkan
pedoman yang pertama, lakukan
aborsi. Aborsi itu harus dilakukan untuk mengembalikan anak-anak itu kepada kehidupan
normalnya lagi. Kehidupan yang normal itu tidak bisa digantikan dengan yang
lain. Jadi, aborsi juga pilihan yang
harus diambil berdasarkan pedoman kedua.
Pada kasus Belia, Anda harus memilih antara keselamatan janin atau keselamatan ibunya.
Ibu disebut pokok, dan janin itu lahir dari pokok. Berdasarkan
pedoman keempat, Anda harus
mendahulukan kehidupan ibunya di atas kehidupan anak. Ibu masih mungkin melahirkan anak-anaknya. Ibu tidak bisa digantikan. Anak bisa digantikan. Berdasarkan kaidah kelima, kita dapat menjawab pertanyaan Dr
Azwar: Apakah kita akan menelantarkan kehidupan ibu dan anaknya selama
bertahun-tahun atau menolongnya dengan melakukan aborsi selama setengah jam.
Kita juga
berusaha untuk memenuhi ajakan Dr Kartono Muhammad: Perhatikan
juga nasib ibu yang malang itu.
Mana yang lebih ringan bahayanya: Menghancurkan kehidupan ibu dan anak
selama bertahun-tahun atau menghancurkan
kehidupan hanya seorang anak saja.
Marilah kita berlatih menggunakan pedoman
yang sama untuk kasus Dara. Untuk itu, kita harus menggunakan nalar dan bukan hanya semata-mata emosi. Siapakah yang tidak tersentuh melihat
bayi-bayi yang dicabut hak hidupnya
karena “kecelakaan” yang dialami orangtuanya?
Siapakah yang tidak marah melihat
perbuatan tercela yang dilakukan
anak-anak remaja -baik dengan sukarela
atau terpaksa?
Kita dapat menetapkan hukum yang lebih
keras untuk mencegah terjadinya akar dari semua masalah itu. Islam
datang membawa Al-Quran, timbangan, dan hukum besi. Kita bisa memenuhi
mimbar dengan kutukan pada para pelaku kejahatan dengan menyebut-nyebut ayat
Al-Quran, hadis, atau hukum Islam.
Kita mengutip lagi Dr Ebrahim: “Solusi yang
diberikan dengan tujuan untuk mencegah seks bebas memang hartus dipertahankan
tetapi solusi ini tidak memberikan jawaban tentang apa yang harus dilakukan
bila kehamilan terjadi sebagai akibat hubungan seks bebas… Pemecahan secara
Islami terhadap kasus perkosaan adalah mengakhiri segala bentuk pengeksposan
tubuh di depan publik; melarang film-film, buku dan nyanyian pornografis;
membatasi pergaulan bebas antar pria dan wanita; dan tidak menggunakan wanita
sebagai daya tarik iklan untuk menjual segala macam produk atau barang. Di atas
segalanya, orang yang bersalah melakukan perkosaan harus dihukum di depan
publik. Tetapi bila langkah-langkah pencegahan telah diambil tetapi perkosaan
tetap terjadi, maka Islam menganjurkan agar korban segera mendapat pertolongan
medis untuk mencegah segala kemungkinan terjadinya kehamilan.”
Seperti di atas, kita juga harus mencegah terjadinya pergaulan bebas supaya
tidak terjadi kehamilan yang tidak dikehendaki. Tetapi bila pencegahan yang
dilakukan itu gagal, kita harus
memberikan pertolongan medis kepada para
korban pergaulan bebas. Menunjukkan
integritas moral kita dengan meneriakkan
hukum yang keras kepada para korban
membuat kita berbuat tidak adil.
Ibn Sina menulis dalam Al-Qanun, salah satu
kitab kedokteran Islam yang tertua: “Ada saat-saat ketika aborsi perlu
dilakukan; yaitu, bila wanita terlalu muda dan kecil untuk hamil atau terancam
mati saat melahirkan, atau bila dia menderita karena kecilnya rahim atau bila
perumbuhan daging dalam rahim menyulitkan janin untuk keluar. Juga bila janin
meninggal dalam rahim wanita.” Empat
ratus tahun setelah Ibn Sina wafat, kita melarang aborsi untuk alasan apa pun; apalagi karena alasan
usia wanita hamil yang terlalu muda.
Kita lebih emosional dari Ibn Sina. Perkembangan sains dan teknologi ternya
masih menempatkan kita jauh di belakang Ibn Sina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar