Konon,
di Mesir ada nasehat agar kita tidak berlaku bodoh seperti hakim Karakoush.
Beginilah ceritanya. Seorang pencuri bermaksud untuk membongkar jendela sebuah
rumah yang sudah lama disatroninya. Malangnya, jendela rumah itu rapuh. Ia
jatuh dan kakinya patah.
Di
negeri itu kebetulan tinggal hakim yang sangat bodoh. Si pencuri segera
mendapat ide yang bagus. Ia mengadukan kemalangannya kepada bapak Hakim. Ia
meminta agar hakim menuntut yang punya rumah untuk mengganti kerugian material
dan imaterial yang dideritanya. Sahibul bait diadili, “Mengapa kamu tidak
merawat rumahmu dengan bagus. Sebagai bukti, jendelamu roboh ketika dinaiki
orang itu. Lihat, orang ini celaka karena jendela itu.” Tersangka tidak bisa
menjawab. Bukti sudah sangat jelas. Ada jendela yang rusak dan ada orang yang
celaka. Tetapi ia ingat “kepandaian” yang sangat terkenal. Ia berkata, “Tuan
hakim yang terhormat, jendela saya tidak begitu kuat bukan karena kurang
perawatan. Jendela itu cepat rusak kerena kesalahan tukang kayu. Ia tidak baik
memasang jendela itu.”
“Panggil
tukang kayunya!,” kata hakim Karakoush. Setelah dituduh memasang jendela yang
mencelakakan, tukang kayu berkata, “Tuan hakim yang terhormat, saya sama sekali
tidak bermkasud mencelakakan siapa pun. Hanya saja ketika saya memasang jendela
itu, seorang gadis cantik berbaju merah lewat ke tempat itu. Saya terpukau.
Saya mengalihkan perhatian saya dari pekerjaan saya. Tanyalah si gadis itu
mengapa ia berparas cantik danmengapa berbaju merah yang mencolok.”
“Yang
membuat paras saya cantik adalah Tuhan yang Mahakuasa. Tanyalah Dia. Yang
membuat baju saya merah adalah tukang celup. Adili dia,” kata sang gadis ketika
ia dibawa ke pengadilan. Tentu saja pak Hakim tidak dapat memanggil Tuhan. Ia
malah takut dipanggil Dia duluan. Tukang celup dihadapkan kepadanya. Kebetulan
ia orang yang sangat lugu. Sepanjang hidupnya ia tidak pernah terlibat dalam
kegiatan politik. Ia tidak tahu siapa hakim, jaksa, atau bupati. Ia hanya tahu
mencampurkan warna untuk menghasilkan warna yang dimaui pemesannya. Tergagap-gagap,
ia mengaku bersalah. Hakim menjatuhkan hukuman mati: Digantung di pintu gedung
pengadilan!.
Segera
orang malang itu diseret ke pintu gerbang pengadilan. Malangnya, atau
untungnya, orang lugu itu tubuhnya setinggi pintu gerbang. Para eksekutor
melapor. Ia tidak bisa dihukum gantung karena tubuhnya jangkung. Hakim
Karakoush, tanpa berpikir lama, memutuskan: “Cari tukang celup yang pendek!”
Ringkasnya cerita, di pintu pengadilan bergantung orang kecil yang paling
malang di dunia. Dosanya hanyalah krn ia bekerja sebagai tukang celup dan
bertubuh pendek.
Saya
teringat cerita ini ketika saya menyaksikan berbagai peristiwa di tanah air
belakangan ini. Ada orang yang sudah bertahun-tahun hidup dengan merampok
negeri ini. Cuma akhir-akhir ini, tempat ia menjarah itu sudah rapuh. Ia jatuh.
Mestinya ia ditangkap ramai-ramai, diajukan ke pengadilan, dan paling tidak
harus mengganti kerugian kepada yang punya rumah, karena merobohkan jendela.
Yang
terjadi kemudian adalah rangkaian saling menyalahkan. Golongan yang dulu paling
getol mengklaim pembangunan sekarang melemparkan kesalahan pada setiap orang.
Akhirnya, yang harus memikul kesalahan adalah rakyat yang paling kecil. Mereka
tidak berbuat apa-apa. Dosa mereka hanya satu: Menjadi orang kecil. Seperti
hakim Karakoush, kita sudah meninggalkan akal sehat. Kita tidak pernah mengakui
kesalahan kita. Tanpa berpikir panjang, telunjuk kita menuding orang pertama
yang kita ingat. Kita memang berpikir hanya untuk mencari kambing hitam. Bila
kambing hitam sukar didapat, kita ambil kambing warna apa pun. Lalu, kita
mengecatnya hitam. Dengan begitu, persoalan kita selesaikan.
Yang
menjadi hakim Karakoush bukan hanya lembaga peradilan; tetapi juga para aparat
pemerintahan, seperti ABRI dan pejabat. Belakangan rakyat kecil pun sudah
saling menyalahkan. Untuk krisis moneter yang berkepanjangan, kita menyalahkan
pejabat tertinggi. Pejabat tertinggi menyalahkan bank-bank. Bank-bank
menyalahkan Bank Indonesia. Bank Indonesia melemparkan tanggung-jawab kepada
Menteri Keuangan. Menteri menyalahkan presiden. Presiden menyalahkan rakyat
yang tidak memberikan kesempatan kepadanya untuk memperbaiki ekonomi. Akhirnya,
Presiden memutuskan untuk menganjurkan semua rakyat puasa Senin Kemis; walaupun
kebanyakan mereka sudah puasa sejak Senin sampai Minggu.
Pada
peristiwa pembunuhan ulama, rakyat menyalahkan aparat. Aparat menyalahkan
rakyat. Gus Dur menuding sayap kanan dari lingkaran naga Hijau. Pihak lainnya
menuding simpatisan PKI. Pihak lainnya lagi menyalahkan konflik di kalngan
elit. Akhirnya, yang paling aman adalah membebankan seluruh kesalahan pada
orang-orang gila. Karena orang gila, seperti tukang celup dalam cerita kita,
tidak pernah memperhatikan politik. Mereka hanya memperhatikan dunianya
sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar