Jumat, 30 Januari 2015

Titanic


Fikri Yathir

<<To make the long story short,>> sebuah kapal besar dan megah bertolak meninggalkan Inggris menuju Amerika. “Fundamental” kapal itu diyakini begitu kuat sehingga orang-orang berkata: Titanic tidak mungkin tenggelam. Bahkan Tuhan pun tidak akan bisa menenggelamkannya. Apalagi nakhoda yang mengemudikannya sudah sangat senior, baik dari segi pengalaman maupun usia. Rambut dan cambangnya yang sudah memutih memancarkan wibawa.
Ada dua macam penumpang: orang kaya dan orang miskin. Tentu saja orang kaya menghuni bagian atas kapal dengan fasilitas yang serba wah. Orang miskin tinggal di kamar-kamar sempit, di bagian bawah. Tetapi, karena penampilan Titanic dan nakhodanya, semua penumpang masuk dengan optimisme yang tinggi. Mereka akan sampai pada negeri impian dengan cepat dan menyenangkan. Nakhoda malah didesak untuk menaikkan kecepatan kapal, supaya tiba di Amerika jauh lebih awal dari waktu yang diperkirakan.
Sepanjang jalan para penumpang bersenang-senang. Untuk setiap kelas penumpang ada kelompok musiknya. Tidak henti-hentinya lagu-lagu ria dan tawa-canda bergema di kapal. Tiba-tiba kapal berhadapan dengan karang es yang menjulang tinggi. Dengan terburu-buru, nakhoda mengalihkan arah. Sayang, kapal besar itu bergesekan dengan bukit es. Di sana sini mulai terjadi kebocoran besar. Orang pintar sudah memastikan kapal pasti tenggelam.
Celakanya, jumlah sekoci penyelamat tidak memadai. Nakhoda memutuskan, yang pertama kali diselamatkan adalah penumpang kelas satu. Seorang konglomerat mencoba masuk ke sekoci dengan menyuap kru kapal. Air mula-mula memasuki kapal bagian bawah, menenggelamkan orang-orang miskin. Mereka yang berusaha naik ke atas harus kecewa karena pintu-pintu sudah terkunci. Demi menyelamatkan penumpang kelas satu, orang-orang miskin harus menunggu.

Akhirnya, pada 14 April 1912, Titanic mendarat di dasar laut. Bersamanya 1500 orang menjadi korban; termasuk nakhoda tua yang belum uzur. Ia mati terhormat ketika memegang kemudi, yang dipatahkan oleh deburan air dingin. Orang-orang kaya menumpang sekoci-sekoci yang tidak terlalu penuh; konon, dengan membawa dosa yang tidak akan pernah termaafkan.
Paling tidak, begitulah yang saya saksikan dalam Titanic, film karya James Cameron dan diproduksi Paramount Pictures dan 20th Century. Lagu yang dimainkan para pemusik di kapal Titanic masih terdengar, ketika di layar saya menyaksikan gelombang laut yang menutup Titanic. Saya masih terpesona. Saya tiba-tiba merasa menjadi salah seorang penumpang Titanic. Penumpang kelas bawah.
Anak kecil dalam pelukan saya bertanya: Mengapa di atas terjadi ribut-ribut. Saya jelaskan kepadanya: Orang-orang kaya sedang dibantu untuk menyelamatkan dirinya. Kita baru mendapat giliran setelah semua penumpang kelas satu masuk sekoci. Saya tidak menjelaskan kepadanya bahwa saya ragu apakah masih tersisa sekoci buat kami.
Lihat, air sudah sampai ke leher kami. Sebagian besar kawan kami yang bertumbuh pendek sudah tidak kelihatan lagi. Tidak terdengar teriakan mereka. Saya tidak tahu sudah berapa juta bilangan mereka. Titanic saya lebih besar dari Titanic dalam film. “Fundamental” kapal kami juga diyakini lebih kuat dari Titanicnya Cameron. Cuma, seperti Titanic dalam film, Titanic kami hanya punya sekoci sedikit.
Berbeda dengan Titanic film dan Titanic sebenarnya, kapal kami tengah menunggu bantuan sekoci yang akan dikirim kapal lain.
Tembakan SOS telah dibidikkan ke langit. Kapal lain sudah memahaminya. Mereka tidak dapat menyelamatkan kapal kami yang pasti tenggelam. Tetapi, paling tidak mereka dapat mengirim sekoci-sekoci tambahan. Kami mendengar berita bahwa sesungguhnya nakhoda kami dan beberapa penumpang kelas atas mempunyai sekoci-sekoci yang lebih besar. Sayangnya, sekoci-sekoci itu masih disimpan di kapal lain, nun jauh di sana.
Kami melihat para penumpang kelas satu sedang dibantu nakhoda menaiki sekoci mereka. Anakku menjerit lagi, karena air sudah mulai merayap ke lehernya. Salah seorang kru kapal menyampaikan kabar gembira. Bantuan sekoci akan segera datang. Nakhoda sudah menyatakan komitmennya untuk memenuhi persyaratan pemberi bantuan. Ada isyarat bahwa bila sekoci-sekoci itu datang, semuanya akan digunakan lebih dahulu untuk menolong -ya Rabbi- penumpang kelas satu lagi. Waktu itu, mungkin perut anak saya sudah dipenuhi air laut. Ada berita juga bahwa kami, penumpang kelas bawah, diminta bersedia melemparkan sebagian saudara, anak-anak, dan apa saja yang kami miliki. Dengan begitu, lebih banyak ruang tersisa di sekoci buat para penumpang kaya.
Kami, penumpang kelas bawah, sudah tidak bisa berteriak lagi. Kami merasa diperlakukan tidak adil. Tetapi kami tidak bisa mengucapkannya. Penderitaan dan ketakutan telah membuat lidah kami kelu. Kami tidak sanggup melihat penumpang kelas satu di sekoci-sekoci mereka nan lapang. Dada kami terasa sesak dan nyeri. Kami juga sudah tidak sanggup memandang wajah nakhoda kami. Rasanya, ia sudah terlalu jauh dari kami. Pintu-pintu untuk menyampaikan suara kami ke ruang atas sudah tertutup, bahkan dikunci dengan gembok baja.
Kami hanya tinggal menunggu kematian dengan sabar. Harapan kami hampir pudar, kalau tidak kami dengar teriakan anak-anak di sudut-sudut kapal. Mereka meneriakkan suara kami. Mereka berbicara dengan bahasa kami. Mereka meneteskan air mata kami. Mereka mengibarkan bendera kami.
Saya diingatkan kepada sabda Rasulullah saw, yang mengibaratkan umat sebagai para penumpang kapal. Bila ada penumpang kapal yang bertindak sembrono, merusak atau membocorkan kapal, penumpang yang lain harus memperingatkannya. Bila tidak, semua penumpang akan tenggelam. Ya Rasulallah, anak-anak kami sekarang sedang memperingatkan semua tentang orang-orang yang merusak kapal. Mereka menjalankan amanahmu dan menyampaikan suara kami. Dukunglah mereka dengan doamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar