Fikri
Yathir
<<To
make the long story short,>> sebuah kapal besar dan megah bertolak
meninggalkan Inggris menuju Amerika. “Fundamental” kapal itu diyakini begitu
kuat sehingga orang-orang berkata: Titanic tidak mungkin tenggelam. Bahkan
Tuhan pun tidak akan bisa menenggelamkannya. Apalagi nakhoda yang
mengemudikannya sudah sangat senior, baik dari segi pengalaman maupun usia.
Rambut dan cambangnya yang sudah memutih memancarkan wibawa.
Ada dua
macam penumpang: orang kaya dan orang miskin. Tentu saja orang kaya menghuni
bagian atas kapal dengan fasilitas yang serba wah. Orang miskin tinggal di
kamar-kamar sempit, di bagian bawah. Tetapi, karena penampilan Titanic dan
nakhodanya, semua penumpang masuk dengan optimisme yang tinggi. Mereka akan
sampai pada negeri impian dengan cepat dan menyenangkan. Nakhoda malah didesak
untuk menaikkan kecepatan kapal, supaya tiba di Amerika jauh lebih awal dari
waktu yang diperkirakan.
Sepanjang
jalan para penumpang bersenang-senang. Untuk setiap kelas penumpang ada
kelompok musiknya. Tidak henti-hentinya lagu-lagu ria dan tawa-canda bergema di
kapal. Tiba-tiba kapal berhadapan dengan karang es yang menjulang tinggi.
Dengan terburu-buru, nakhoda mengalihkan arah. Sayang, kapal besar itu
bergesekan dengan bukit es. Di sana sini mulai terjadi kebocoran besar. Orang
pintar sudah memastikan kapal pasti tenggelam.
Celakanya,
jumlah sekoci penyelamat tidak memadai. Nakhoda memutuskan, yang pertama kali
diselamatkan adalah penumpang kelas satu. Seorang konglomerat mencoba masuk ke
sekoci dengan menyuap kru kapal. Air mula-mula memasuki kapal bagian bawah,
menenggelamkan orang-orang miskin. Mereka yang berusaha naik ke atas harus
kecewa karena pintu-pintu sudah terkunci. Demi menyelamatkan penumpang kelas
satu, orang-orang miskin harus menunggu.
Akhirnya,
pada 14 April 1912, Titanic mendarat di dasar laut. Bersamanya 1500 orang
menjadi korban; termasuk nakhoda tua yang belum uzur. Ia mati terhormat ketika
memegang kemudi, yang dipatahkan oleh deburan air dingin. Orang-orang kaya
menumpang sekoci-sekoci yang tidak terlalu penuh; konon, dengan membawa dosa
yang tidak akan pernah termaafkan.
Paling
tidak, begitulah yang saya saksikan dalam Titanic, film karya James Cameron dan
diproduksi Paramount Pictures dan 20th Century. Lagu yang dimainkan para
pemusik di kapal Titanic masih terdengar, ketika di layar saya menyaksikan
gelombang laut yang menutup Titanic. Saya masih terpesona. Saya tiba-tiba
merasa menjadi salah seorang penumpang Titanic. Penumpang kelas bawah.
Anak
kecil dalam pelukan saya bertanya: Mengapa di atas terjadi ribut-ribut. Saya
jelaskan kepadanya: Orang-orang kaya sedang dibantu untuk menyelamatkan dirinya.
Kita baru mendapat giliran setelah semua penumpang kelas satu masuk sekoci.
Saya tidak menjelaskan kepadanya bahwa saya ragu apakah masih tersisa sekoci
buat kami.
Lihat,
air sudah sampai ke leher kami. Sebagian besar kawan kami yang bertumbuh pendek
sudah tidak kelihatan lagi. Tidak terdengar teriakan mereka. Saya tidak tahu
sudah berapa juta bilangan mereka. Titanic saya lebih besar dari Titanic dalam
film. “Fundamental” kapal kami juga diyakini lebih kuat dari Titanicnya
Cameron. Cuma, seperti Titanic dalam film, Titanic kami hanya punya sekoci
sedikit.
Berbeda
dengan Titanic film dan Titanic sebenarnya, kapal kami tengah menunggu bantuan
sekoci yang akan dikirim kapal lain.
Tembakan
SOS telah dibidikkan ke langit. Kapal lain sudah memahaminya. Mereka tidak
dapat menyelamatkan kapal kami yang pasti tenggelam. Tetapi, paling tidak
mereka dapat mengirim sekoci-sekoci tambahan. Kami mendengar berita bahwa
sesungguhnya nakhoda kami dan beberapa penumpang kelas atas mempunyai
sekoci-sekoci yang lebih besar. Sayangnya, sekoci-sekoci itu masih disimpan di
kapal lain, nun jauh di sana.
Kami
melihat para penumpang kelas satu sedang dibantu nakhoda menaiki sekoci mereka.
Anakku menjerit lagi, karena air sudah mulai merayap ke lehernya. Salah seorang
kru kapal menyampaikan kabar gembira. Bantuan sekoci akan segera datang.
Nakhoda sudah menyatakan komitmennya untuk memenuhi persyaratan pemberi
bantuan. Ada isyarat bahwa bila sekoci-sekoci itu datang, semuanya akan
digunakan lebih dahulu untuk menolong -ya Rabbi- penumpang kelas satu lagi.
Waktu itu, mungkin perut anak saya sudah dipenuhi air laut. Ada berita juga
bahwa kami, penumpang kelas bawah, diminta bersedia melemparkan sebagian
saudara, anak-anak, dan apa saja yang kami miliki. Dengan begitu, lebih banyak
ruang tersisa di sekoci buat para penumpang kaya.
Kami,
penumpang kelas bawah, sudah tidak bisa berteriak lagi. Kami merasa
diperlakukan tidak adil. Tetapi kami tidak bisa mengucapkannya. Penderitaan dan
ketakutan telah membuat lidah kami kelu. Kami tidak sanggup melihat penumpang
kelas satu di sekoci-sekoci mereka nan lapang. Dada kami terasa sesak dan
nyeri. Kami juga sudah tidak sanggup memandang wajah nakhoda kami. Rasanya, ia
sudah terlalu jauh dari kami. Pintu-pintu untuk menyampaikan suara kami ke ruang
atas sudah tertutup, bahkan dikunci dengan gembok baja.
Kami
hanya tinggal menunggu kematian dengan sabar. Harapan kami hampir pudar, kalau
tidak kami dengar teriakan anak-anak di sudut-sudut kapal. Mereka meneriakkan
suara kami. Mereka berbicara dengan bahasa kami. Mereka meneteskan air mata
kami. Mereka mengibarkan bendera kami.
Saya
diingatkan kepada sabda Rasulullah saw, yang mengibaratkan umat sebagai para
penumpang kapal. Bila ada penumpang kapal yang bertindak sembrono, merusak atau
membocorkan kapal, penumpang yang lain harus memperingatkannya. Bila tidak,
semua penumpang akan tenggelam. Ya Rasulallah, anak-anak kami sekarang sedang
memperingatkan semua tentang orang-orang yang merusak kapal. Mereka menjalankan
amanahmu dan menyampaikan suara kami. Dukunglah mereka dengan doamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar