Sugiarto
Suatu
saat Dzunnun Al-Mishri memasuki Masjid Al-Haram. Ia melihat seorang lelaki
tergeletak lemah tak berdaya di bawah naungan tiang masjid. Tubuhnya kurus dan
tidak berbaju. Bibirnya yang pucat terus menerus menggumamkan nama Allah.
Matanya menyimpan duka dan hatinya gelisah. Dzunnun datang mendekati pria itu
dengan ucapan salam. Ia sapa lelaki itu dengan sebuah pertanyaan, “Siapakah
Anda, wahai Tuan?” Orang itu menjawab pelan, ”Saya seorang asing.” “Tidakkah
Tuan mempunyai nama?” tanya Dzunnun dengan heran. “Aku adalah orang yang
dicari-cari,” jawabnya lirih. Dzunnun bertanya sekali lagi, ”Adakah yang ingin
Tuan katakan?” Orang itu menjawab pertanyaan Dzunnun dengan suara tangisan. Air
matanya makin deras ketika mata Dzunnun memandangnya tajam. Tanpa sengaja
Dzunnun pun ikut haru melihatnya, ia jatuh iba dan menangis. Suasana yang
terdengar ketika itu hanya suara tangisan yang mengungkapkan kesedihan.
Dalam
kesedihan lelaki itu meninggal dunia. Dzunnun tampak sedih dan heran. Ia tutupi
tubuh lelaki itu dengan kain pendek yang ia miliki. Lalu ia pergi mencari kain
kafan untuk melindungi tubuh pria itu. Setelah ia kembali dan mendapatkan kain
kafan, Dzunnun dikejutkan dengan hilangnya tubuh lelaki itu. Ia bertasbih
seraya bergumam, “Siapakah yang telah mendahului aku untuk mengurusnya?”
Ketika
itu juga Dzunnun diserang kantuk yang menyerang matanya. Ia tertidur. Dalam
tidurnya ia bermimpi dan mendengar sebuah suara yang menggemuruh, “Hai Dzunnun,
inilah orang yang dicari-cari oleh setan di dunia, tetapi setan tidak dapat
menemukannya. Ia juga dicari Malik, penjaga neraka, namun ia tak dapat
diketemukan juga. Begitu juga halnya dengan Ridwan, penjaga surga, yang
mencarinya terus tetapi tak mendapatkannya.
Dzunnun
bertanya di dalam mimpinya, ”Di manakah sekarang ia berada?” Terdengar jawaban,
”Ia berada di sisi Tuhannya.”
Kisah
sufi di atas mengingatkan kita pada suatu proses ketika kita sedang berusaha
meniti jalan ruhani untuk mendekap Tuhan. Banyak jalan yang ditawarkan kepada
kita agar perjalanan mendekati Tuhan dapat dilalui dengan mudah. Jalan itu di
antaranya muhasabah, muraqabah, musyarathah, dan musyahadah. Kemampuan kita
untuk mencoba dan mendalami makna jalan-jalan tadi sangatlah terbatas dan
mungkin betapa sulitnya kita untuk memahami dan mengamalkan jalan-jalan itu.
Tetapi setidaknya haruslah dicoba sedikit demi sedikit untuk mengenal dan
memahami jalan-jalan tersebut tanpa ada rasa lelah dan bosan. Ini semua dimulai
dari adanya kemauan dan usaha dari diri kita untuk mencoba mendekati dan
memahami jalan itu secara terus menerus, walaupun hanya sebatas niat tulus dan
harapan untuk bisa mendekati Allah.
Ketika
seseorang telah berniat teguh untuk mulai menyempurnakan ibadahnya kepada Allah
melalui jalan-jalan ruhani, syarat yang penting selain adanya kemauan dan
usaha, adalah berusaha mencari pengetahuan perihal bagaimana cara mendekati
Tuhan. Karena hal ini sangatlah penting sebagai landasan berpijak untuk menuju
sasaran. Salah satu pengetahuan yang penting itu adalah mengetahui jalan atau
maqam yang menurut bebarapa sufi bervariasi jumlah dan caranya. Ada satu jalan,
dari beberapa jalan yang ada, yang tentunya insya Allah bisa membantu kita
untuk mudah memahami arti jalan-jalan atau maqam mendekati Tuhan. Jalan itu
adalah jalan Taman Al-Fatihah. Jalan ini adalah jalan yang bertolak dari surat
Al-Fatihah yang dimaksudkan untuk memudahkan kita mengkerangkakan dan
mem-program diri agar konsentrasi perjalanan tetap terarah sesuai bangunan
surat tersebut . Inti dari perjalanan ini sama dengan jalan-jalan yang ada,
yang membedakannya adalah dalam hal kerangka pendekatan dan istilahnya.
Al-Fatihah
adalah surat yang paling sering dibaca dan disebut. Al-Fatihah, selain meliputi
seluruh makna dalam Al-Qur’an, juga memiki fenomena-fenomena penting lewat
simbol ayat-ayatnya. Salah satu dari fenomena itu adalah simbol dari hirarki
ayat dalam surat Al-Fatihah itu sendiri. Hal ini erat kaitannya dengan cara
mendekati Tuhan lewat jalan-jalan atau maqam yang banyak kita ketahui dalam
jargon sufi. Seringnya Al-Fatihah dibaca dalam shalat dan zikir kita,
diharapkan semakin menjadi inspirasi kita untuk mengingat dan mengamalkan
fenomena Al-Fatihah, yang memiliki desain sebagai jalan ruhani bagi pendamba
yang merindukan perjumpaan dengan Tuhannya.
Jalan-jalan
tersebut bertolak dari inti makna ayat-ayat yang terkandung di dalamnya. Jalan-jalan
itu adalah sebagai berikut: Pertama, yang merupakan taman dari pintu gerbang
untuk mendekati Tuhan, adalah jalan ta’awwudz (jalan perlindungan). Jalan ini
adalah jalan ketika kita berusaha melepaskan jubah keangkuhan diri dan
menghilangkan ketergantungan total kepada selain Allah. Melepas jubah
keangkuhan dimulai dengan mencoba melepaskan sifat-sifat hina yang ada di dalam
diri kita yang bertolak belakang dengan ajaran Islam. Seperti hasad, riya’,
kikir, tamak, dan sebagainya. Lalu diakhiri dengan mencoba mematikan sifat
angkuh dan mengakui kelemahan diri kita di hadapan Allah. Setelah itu kita
hanya bergantung dan memohon perlindungan hanya kepada Allah saja dari segala
hal, terutama kita mohon dibantu dalam berjalan mendekati-Nya. Ciri ketika seseorang
telah sampai pada jalan ini ialah seringnya ia berusaha membebaskan hatinya
dari pengaruh setan dan berusaha sekuat mungkin memenuhi hatinya dengan
mengingat Allah. Hiasan taman Tuhan adalah ta’awwudz .
Gambaran
sederhana tentang jalan ini dapat dianalogikan dengan kasus ketika seseorang
hendak mengdakan perjalanan jauh, yang pertama ia siapkan adalah bekal untuk
melindungi diri dan memperlancar perjalanan. Bekal itu bisa berupa uang,
makanan, alat pengaman, obat-obatan, dan sebagainya. Perjalanan yang dilengkapi
dengan bekal yang cukup akan mempernyaman dan menghilangkan dari kecemasan.
Begitu pula ketika kita hendak memulai perjalanan menuju Allah, kita memerlukan
bekal yang dapat mempermudah dan memperlancar perjalanan kita. Bekal itu adalah
pembersihan diri dari penyakit-penyakit hati dan pembebasan diri yang total
terhadap setan dengan selalu menempatkan Allah di hati kita. Hal yang perlu
perhatikan adalah merendah dihadapan Tuhan dan memohon bantuan dengan
perlindungan-Nya yang kokoh.
Setelah
kita berusaha memenuhi hati dengan mengingat Allah dan membebaskan diri dari
penyakit-penyakit hati, kita beranjak ke jalan kedua yang merupakan pintu
menuju ruangan utama, yaitu jalan basmalah (jalan pemberangkatan). Melalui
jalan ini seseorang berusaha untuk memulai segala amalnya dengan berangkat atas
nama Allah. Niat dan perbuatan yang akan dilakukannya adalah benar menurut
syariat. Dalam istilah bahasa Arab, perbuatan tersebut disebut dengan husn
fi’li dan husn fâ’ili. Amal yang dikerjakannya bersandar pada keridaan Allah.
Ciri yang paling utama dari jalan ini adalah adanya usaha seseorang untuk
mendahulukan kehendak Allah daripada kehendak hatinya. Ia letakkan kehendak
Allah di atas kehendak dirinya, dan tidak segan atau ragu dalam melakukan
kehendak Tuhannya itu. Dan niat hatinya dipenuhi dengan keikhlasan dalam
melakukan suatu amal baik kepada Allah dan manusia. Ia melakukannya tanpa
pamrih.
Jalan
ini bisa diibaratkan ketika seseorang telah mempersiapkan bekalnya dengan cukup
dan hendak memulai perjalanannya, yang perlu ia lakukan adalah menaati aturan
dalam perjalan, seperti rambu-rambu lalu lintas. Rambu lalu lintas dapat
diibaratkan sebagai aturan Tuhan (perintah-Nya). Pejalan ruhani yang baik tentu
tidak akan melanggar rambu-Nya. Begitu juga dengan niat perjalanannya, ia tidak
akan mencelakakan orang demi lancarnya sebuah perjalanan. Ia hanya akan
melakukan amal perjalanan sesuai dengan ketetapan syariat. Perbuatannya benar
dan niatnya menjaga untuk tidak melawan aturan-Nya. Orang yang mematuhi rambu-rambu
lalu lintas dan tidak punya niat ingin mencelakakan orang orang lain demi
kepentingan pribadinya akan selamat dalam menempuh perjalanan. Orang yang
melakukan perjalanan ruhani dan selalu menghiasi amalnya dengan bersandar
kepada husn fi’li dan husn fâ’ili (mendahulukan kehendak Tuhannya), akan
memperoleh kasih sayang Tuhan.
Jalan
ketiga, yang merupakan ruangan utama untuk menemui Tuhan adalah jalan hamdalah
(jalan pujian). Setelah hati sang penempuh jalan ruhani dipenuhi dengan
mengingat Tuhan (jalan ta’awwudz) dan mendahulukan kehendak Allah (jalan
basmalah), jiwa sang penempuh juga dipenuhi dengan keterikatan cinta yang dalam
kepada Tuhannya. Saking penuhnya muatan cinta Ilahi di dalam hatinya,
sampai-sampai pancarannya menghias ucapannya. Dari mulutnya hanya keluar nama
Allah yang disertai dengan pujian dan kegelisahan. Pujiannya yang tulus khusus
ia persembahkan hanya untuk Tuhannya saja. Kegelisahannya diakibatkan oleh
pengakuan kelemahan diri dan pengakuan akan kasih Tuhan kepada dirinya. Hati
penempuh jalan hamdalah selalu mengingat kasih sayang Allah yang luas, seakan
akan ia sajalah yang memperoleh kasih sayang-Nya. Karena mengingat
kebaikan-Nya, matanya mudah menangis. Karena mengingat perhatian-Nya, air
matanya gampang menetes. Ia akui kekuasaan Allah dengan tulus tanpa cacat.
Keikhlasan dan ketekunan ibadah mewarnai perilakunya. Baginya tidak ada kata
berhenti dalam memohon petunjuk mulia dan pertolongan dari-Nya
Penempuh
jalan ruhani yang telah sampai pada jalan hamdalah tersebut sama seperti orang
asing yang dijumpai Dzunnun Al-Mishri. Orang asing itu hati dan ucapannya
sangat dipenuhi dengan ungkapan kerinduan dan pengakuan atas keagungan Tuhan.
Sampai ketika ia meninggal, jasadnya tidak terbujur begitu saja. Para makhluk
Tuhan yang lain ingin segera merengkuh dan mengurusnya. Bahkan di dalam mimpi
Dzunnun disebutkan orang itu sangat diburu dan didambakan para malaikat
sekaligus setan.
Malaikat
Ridwan merindukan bertemu dan mengajaknya ke taman surga. Malaikat Malik
mencari orang itu karena ingin mengucapkan salam kepada makhluk Allah yang
mulia itu, dan memperkenalkan kepada ahli neraka sebuah hiasan surga yang
indah. Yang paling menarik, setan memburunya terus menerus, tetapi tak berhasil
mendapatkan dan menggodanya, karena jiwa orang itu telah bersinergi dengan aura
cinta Tuhan yang menyelubungi seluruh tubuhnya, aura yang lahir dari jiwa yang
penuh dengan kecintaan dan kegelisahan kepada Allah. Setan enggan mendekatinya
karena kesulitan menembus energi cahaya auranya. Orang asing itu telah sampai
pada ruangan utama Tuhan dan sudah dipersilahkan duduk di sisi Tuhannya dengan
kebahagiaan yang tak terkira. Allâhummaj’alnâ kadzâlik, innaka ‘alâ kullî
syaiin qadîr.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar