KH.
Jalaluddin Rakhmat
Pada
zaman dahulu, hidup seorang gembala yang bersemangat bebas. Ia tidak punya uang
dan tidak punya keinginan untuk memilikinya. Yang ia miliki hanyalah hati yang
lembut dan penuh keikhlasan; hati yang berdetak dengan kecintaan kepada Tuhan.
Sepanjang hari ia menggembalakan ternaknya melewati lembah dan ladang melagukan
jeritan hatinya kepada Tuhan yang dicintainya, “Duhai Pangeran tercinta, di
manakah Engkau, supaya aku bisa persembahkan seluruh hidupku pada-Mu? Di
manakah Engkau, supaya aku bisa menghambakan diriku pada-Mu? Wahai Tuhan,
untuk-Mu aku hidup dan bernapas. Karena berkat-Mu aku hidup. Aku ingin
mengorbankan domba-Ku ke hadapan kemuliaan-Mu.”
Suatu
hari, Nabi Musa as melewati padang gembalaan tersebut dalam perjalanannya
menuju kota. Ia memperhatikan sang gembala yang sedang duduk di tengah
ternaknya dengan kepala yang mendongak ke langit.. Sang gembala menyapa Tuhan,
“Ah, di manakah Engkau, supaya aku bisa menjahit baju-Mu, memperbaiki kasut-Mu,
dan mempersiapkan ranjang-Mu? Di manakah Engkau, supaya aku bisa menyisir
rambut-Mu dan mencium kaki-Mu? Di manakah Engkau, supaya aku bisa mengilapkan
sepatu-Mu dan membawakan air susu untuk minuman-Mu?”
Musa
mendekati gembala itu dan bertanya, “Dengan siapa kamu berbicara?” Gembala
menjawab, “Dengan Dia yang telah menciptakan kita. Dengan Dia yang menjadi
Tuhan yang menguasai siang dan malam, bumi dan langit.” Musa murka mendengar
jawaban gembala itu, “Betapa beraninya kamu bicara kepada Tuhan seperti itu!
Apa yang kamu ucapkan adalah kekafiran. Kamu harus menyumpal mulutmu dengan
kapas supaya kamu bisa mengendalikan lidahmu. Atau paling tidak, orang yang
mendengarmu tidak menjadi marah dan tersinggung dengan kata-katamu yang telah
meracuni seluruh angkasa ini. Kau harus berhenti bicara seperti itu sekarang
juga karena nanti Tuhan akan menghukum seluruh penduduk bumi ini akibat dosa-dosamu!”
Sang
gembala segera bangkit setelah mengetahui bahwa yang mengajaknya bicara adalah
seorang nabi. Ia bergetar ketakutan. Dengan air mata yang mengalir membasahi
pipinya, ia mendengarkan Musa yang terus berkata, “Apakah Tuhan adalah seorang
manusia biasa, sehingga Ia harus memakai sepatu dan kaus kaki? Apakah Tuhan
seorang anak kecil, yang memerlukan susu supaya Ia tumbuh besar? Tentu saja
tidak. Tuhan
Mahasempurna
di dalam diri-Nya. Tuhan tidak memerlukan siapa pun. Dengan berbicara kepada
Tuhan seperti yang telah engkau lakukan, engkau bukan saja telah merendahkan
dirimu, tapi kau juga merendahkan seluruh ciptaan Tuhan. Kau tidak lain dari
seorang penghujat agama. Ayo, pergi dan minta maaf, kalau kau masih memiliki
otak yang sehat!”
Gembala
yang sederhana itu tidak mengerti bahwa apa yang dia sampaikan kepada Tuhan
adalah kata-kata yang kasar. Dia juga tak mengerti mengapa Nabi yang mulia
telah memanggilnya sebagai seorang musuh tapi ia tahu betul bahwa seorang Nabi
pastilah lebih mengetahui dari siapa pun. Ia hampir tak bisa menahan
tangisannya. Ia berkata kepada Musa, “Kau telah menyalakan api di dalam jiwaku.
Sejak ini aku berjanji akan mengatupkan mulutku untuk selamanya.” Dengan
keluhan yang panjang, ia berangkat meninggalkan ternaknya menuju padang pasir.
Dengan
perasaan bahagia karena telah meluruskan jiwa yang tersesat, Nabi Musa as
melanjutkan perjalanannya menuju kota. Tiba-tiba Allah Yang Mahakuasa
menegurnya, “Mengapa engkau berdiri di antara Kami dengan kekasih Kami yang
setia? Mengapa engkau pisahkan pecinta dari yang dicintainya? Kami telah
mengutus engkau supaya engkau bisa menggabungkan kekasih dengan kekasihnya,
bukan memisahkan ikatan di antaranya.” Musa mendengarkan kata-kata langit itu
dengan penuh kerendahan dan rasa takut. Tuhan berfirman, “Kami tidak
menciptakan dunia supaya Kami memperoleh keuntungan daripadanya. Seluruh
makhluk diciptakan untuk kepentingan makhluk itu sendiri. Kami tidak
membutuhkan pujian atau sanjungan. Kami tidak memerlukan ibadah atau
pengabdian. Orang-orang yang beribadah itulah yang mengambil keuntungan dari
ibadah yang mereka lakukan. Ingatlah bahwa di dalam cinta, kata-kata hanyalah
bungkus luar yang tidak memiliki makna apa-apa. Kami tidak memperhatikan
keindahan kata-kata atau komposisi kalimat. Yang Kami perhatikan adalah lubuk
hati yang paling dalam dari orang itu. Dengan cara itulah Kami mengetahui
ketulusan makhluk Kami, walaupun kata-kata mereka bukan kata-kata yang indah.
Buat mereka yang dibakar dengan api cinta, kata-kata tidak mempunyai makna.”
Suara
dari langit selanjutnya berkata, “Mereka yang terikat dengan basa-basi bukanlah
mereka yang terikat dengan cinta. Dan umat yang beragama bukanlah umat yang
mengikuti cinta. Karena cinta tidak mempunyai agama selain kekasihnya sendiri.”
Tuhan kemudian mengajarkan Musa rahasia cinta.
Setelah
Musa memperoleh pelajaran itu, ia mengerti kesalahannya. Sang Nabi pun merasa
menderita penyesalan yang luar biasa. Dengan segera, ia berlari mencari gembala
itu untuk meminta maaf. Berhari-hari Musa berkelana di padang rumput dan gurun
pasir, menanyakan orang-orang apakah mereka mengetahui gembala yang dicarinya.
Setiap orang yang ditanyainya menunjuk arah yang berbeda. Hampir-hampir Musa
kehilangan harapan tetapi akhirnya Musa berjumpa dengan gembala itu. Ia tengah
duduk di dekat mata air. Pakaiannya compang-camping, rambutnya kusut masai. Ia
berada di tengah tafakur yang dalam sehingga ia tidak memperhatikan Musa yang
telah menunggunya cukup lama.
Akhirnya,
gembala itu mengangkat kepalanya dan melihat kepada sang Nabi. Musa berkata,
“Aku punya pesan penting untukmu. Tuhan telah berfirman kepadaku, bahwa tidak
diperlukan kata-kata yang indah bila kita ingin berbicara kepada-Nya. Kamu
bebas berbicara kepada-Nya dengan cara apa pun yang kamu sukai, dengan kata-kata
apa pun yang kamu pilih. Karena apa yang aku duga sebagai kekafiranmu ternyata
adalah ungkapan dari keimanan dan kecintaan yang menyelamatkan dunia.” Sang
gembala hanya menjawab sederhana, “Aku sudah melewati tahap kata-kata dan
kalimat. Hatiku sekarang dipenuhi dengan kehadiran-Nya. Aku tak dapat
menjelaskan keadaanku padamu dan kata-kata pun tak bisa melukiskan pengalaman
ruhani yang ada dalam hatiku.” Kemudian ia bangkit dan meninggalkan Musa.
Nabi
Musa menatap gembala itu sampai ia tak kelihatan lagi. Setelah itu Musa kembali
berjalan ke kota terdekat, merenungkan pelajaran berharga yang didapatnya dari
seorang gembala sederhana yang tidak berpendidikan.
Cerita
di atas melukiskan kepada kita bahwa ada sekelompok orang yang mengambil cinta
sebagai agamanya. Kalau seseorang telah meledakkan kecintaannya kepada Tuhan,
dia tidak lagi bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk melukiskan seluruh
kecintaannya kepada Allah swt. Di dalam cinta, kata-kata menjadi tidak punya
makna.
Dari
kisah ini juga kita belajar bahwa untuk bisa mendekati Allah swt, tidak
diperlukan kecerdasan yang tinggi atau ilmu yang sangat mendalam. Salah satu
cara utama untuk mendekati Tuhan adalah hati yang bersih dan tulus. Tidak
jarang pengetahuan kita tentang syariat membutakan kita dari Tuhan. Tidak
jarang ilmu menjadi hijab yang menghalangi kita dengan Allah swt.
Kita
akhiri kisah ini dengan sabda Nabi saw, “Innallâha lâ yanzhuru illâ shuwarikum
walakinallâha yanzhuru illâ qulûbikum. Ketahuilah, sesungguhnya Tuhan tidak
memperhatikan bentuk-bentuk luar kamu. Yang Tuhan perhatikan adalah hati kamu.”
Ceramah
KH. Jalaluddin Rakhmat dalam acara Percik Cahaya Ilahi, di Radio Ramako,
Jakarta, pada tanggal 7 November 1997. Ditranskripsi oleh Ilman Fauzi Rakhmat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar