AJalaluddin
Rakhmat
“Orang
yang paling celaka adalah orang yang meninggalkan Ramadhan tanpa memperoleh
ampunan Tuhan”
Nabi
Muhammad saw
Ketika
di Afghanistan, Usamah bin Laden diburu tentara Amerika, di Amerika ada seorang
Afghan yang dipuja jutaan rakyat Amerika dan dijuluki the most popular poet
in America today. Namanya Jalaluddin Rumi. Ia lahir di Balkh, sebuah kota kuno
di sebelah barat Mazar-e Syarif, Afghanistan Utara. Hari tuanya dihabiskan di
Konya, sebuah kota jauh di sebelah selatan Ankara. Di situ, tujuh ratus tahun
yang lalu, ia mengajar dengan keluasan ilmu dan ketinggian akhlaknya. Kini ia
masih mengajar kita dengan puisi-puisi sufi dan riwayat hidupnya.
Alkisah,
seorang saudagar Tabriz berkunjung ke Konya. Kepada agennya di kota itu, ia
menyatakan keinginannya untuk dipertemukan dengan ulama besar dan saleh. Ia
dibawa kepada seorang kiyai yang sedang naik daun. Dengan membawa hadiah
barang-barang berharga, ia dibawa memasuki sebuah rumah yang megah. Ia melewati
banyak penjaga, anak buah, pegawai, dan pembantu. Ia bertanya apakah temannya
tidak salah membawa dia. Bukankah ini sebuah istana dan bukan pesantren?
Teman-temannya dengan sia-sia meyakinkan dia bahwa keberhasilan pesantren
sekarang diukur sama dengan keberhasilan perusahaan. “Sekiranya Anda tidak
dikenal sebagai pedagang besar, Anda mungkin hanya akan diterima dia setelah
mendaftar tiga bulan sebelumnya,” ujar sang agen.
Walaupun ragu, ia menyampaikan hadiahnya. Setelah berbasa-basi, ia mengajukan pertanyaan: “Bapak Kiyai, belakangan ini bisnis saya rugi terus; padahal setiap tahun saya membayar zakat. Selain zakat, saya juga mengeluarkan sedekah sejauh kemampuan saya. Dapatkah Bapak Kiyai memberikan jalan agar saya terlepas dari keadaan yang tidak menguntungkan ini.” Selain senyumnya yang genit, Kiyai besar itu tidak dapat memberikan jawaban yang memecahkan persoalan.
“Bawalah aku pada seorang Kiyai yang sederhana dan saleh. Aku ingin ketemu Kiyai yang kebesarannya diukur dari ilmu dan ketakwaannya; dan bukan dari pegawai dan kekayaannya. Aku ingin memberikan penghormatanku kepadanya. Aku juga ingin belajar dan siapa tahu mendapat solusi untuk masalah yang sedang aku hadapi, ” katanya kepada teman-temannya.
Mereka
berkata, “Orang dengan sifat-sifat yang Anda sebutkan itu adalah guru kami,
Maulana Jalaluddin Rumi. Ia telah meninggalkan segala kesenangan kecuali
kecintaannya kepada Tuhan. Ia menghabiskan siang malamnya dalam ibadat. Ia
memang samudra untuk ilmu duniawi maupun ilmu ruhani.” Dengan membawa uang lima
puluh sequin untuk hadiah, ia mendatangi Jalal di pesantrennya. Jalal
sedang duduk sendirian di tengah-tengah tumpukan buku.
Sebelum saudagar Tabriz itu sempat membuka mulutnya, Jalal sudah menyapanya, “Uang lima puluh sequin hadiahmu itu aku terima. Tapi jauh lebih berharga bagimu adalah uang yang hilang dalam kerugian usahamu. Allah swt bermaksud memberikan pelajaran dan ujian bagimu. Kerugian kamu itu adalah akibat dosamu. Dahulu kamu pernah berkunjung ke sebuah kota di Firengistan (Eropa). Di sudut pasar berbaring seorang fakir, yang sangat dicintai Tuhan. Kamu melewati dia dan meludahinya. Kamu menunjukkan ketidak-sukaanmu kepadanya. Hatinya terluka karena perbuatanmu. Allah menghukum kamu dengan berbagai kerugian dalam bisnismu. Sekarang berangkatlah ke sana. Bebaskan dirimu dengan meminta maaf kepadanya. Sampaikan salam kami kepadanya.”
Syahdan, berangkatlah saudagar itu ke tempat yang ditunjukkan Jalal. Ia menemukan si fakir itu masih berbaring di sudut pasar. Ia turun dari kudanya, memeluknya, dan sambil meminta maaf membersihkan debu di pipi orang miskin itu dengan linangan airmatanya. Setelah itu, Allah menganugrahkan kehidupan bahagia kepadanya dan ia pun akhirnya bergabung menjadi pengikut Jalal.
Kisah di atas, dengan sedikit perubahan redaksional, diambil dari Manaqib al-‘Arifin, tulisan Al-Aflaki. Moral dari cerita itu sederhana saja. Dosa apa pun akan berakibat buruk pada kehidupan kita. Sering kali dosa yang membawa bencana adalah perbuatan yang kita anggap kecil, padahal di mata Tuhan sangat besar.
Dalam ensiklopedi hadis yang terdiri dari 111 jilid, Bihar al-Anwar, Nabi Muhammad saw diriwayatkan bersabda, “Takutilah dosa, karena dosa itu akan menghancurkan kebaikan. Ada dosa yang menyebabkan pelakunya melupakan ilmu yang sudah diketahuinya. Ada dosa yang menyebabkan pelakunya tidak bisa melakukan salat malam. Ada dosa yang menyebabkan rezeki tertahan, walaupun sudah dipersiapkan kepadanya.” Lalu, Nabi saw membaca ayat-ayat Al-Quran mulai dari “Sesungguhnya Kami telah menguji mereka seperti Kami menguji para pemilik kebun...” (Al-Qalam 17-32).
Dalam rangkaian ayat itu, Tuhan berkisah tentang para pemilik kebun. Dua belas mil dari Yaman ada kota yang bernama Saria. Ada seorang pemilik kebun yang sangat baik. Setiap kali panen ia membagikan sebagian hasil panennya untuk fakir miskin, orang-orang yang sedang dalam perjalanan, dan orang-orang yang meminta bantuan. Setelah ia meninggal dunia, tiga orang anak mewarisi perkebunannya. Dua orang anaknya ingin menghentikan kebiasaan ayahnya; satu orang ingin melanjutkannya. Tapi karena ia sendirian, akhirnya ia tunduk pada keputusan saudara-saudaranya. Ketika hendak memanen hasil kebunnya, mereka berangkat pagi-pagi sekali. Di jalan mereka bercakap dengan berbisik-bisik, karena kuatir orang miskin mengetahuinya. Ketika sampai di kebun, Tuhan sudah menghancurkan kebun itu dan menjadikannya hitam gersang. Tuhan menghukum mereka karena rencana mereka untuk tidak berbagi hasil panen dengan orang-orang miskin. Akhirnya mereka sadar, bertasbih, dan bertaubat. Tuhan pun menggantinya dengan kebun yang lebih subur dan hasil yang lebih berlimpah.
Masih dalam Bihar al-Anwar, diriwayatkan hadis berikut ini: “Bila perzinahan sudah dilakukan terang-terangan, akan terjadi banyak kematian yang tiba-tiba. Jika timbangan (transaksi) dilakukan dengan tidak jujur, Allah akan menyiksa mereka dengan tahun-tahun kekeringan dan kekurangan. Jika mereka menahan zakatnya, bumi akan menahan keberkahannya dari tanaman, buah-buahan, dan semua barang tambang. Apabila mereka tidak lagi menegakkan hukum dengan adil, akan terjadi kerjasama dalam melakukan kezaliman dan permusuhan. Jika mereka mengkhianati amanat (perjanjian), Allah akan menaklukkan mereka di bawah musuh mereka. Jika mereka memutuskan persaudaraan (seperti selalu gontok-gontokan), kekayaan akan dipegang oleh orang-orang jahat. Jika mereka menghentikan amar makruf nahi munkar dan tidak mengikuti orang-orang yang baik dari keluargaku, Allah akan memberikan kekuasaan pada orang-orang yang jahat; lalu pada waktu itu orang-orang baik di antara mereka berdoa dan doanya tidak dipenuhi”
Apa yang disampaikan Nabi bukanlah ramalan, tetapi sunnatullah, atau hukum alam. “Dan kamu tidak akan mendapatkan perubahan dalam Sunnatullah.” (Al-Ahzab 62; Fathir 43). Dari hadis di atas dan banyak ayat Al-Quran, yang sebagian saya kutipkan di bawah, dosa-dosa itu menyebabkan penderitaan bukan saja bagi pelakunya, tetapi juga bagi anak cucunya, dan bahkan lingkungan di sekitarnya.
“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan dengan sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tentram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segala tempat tetapi penduduknya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang telah mereka lakukan.”(Al-Nahl 112).
“Telah terjadi kerusakan di daratan dan di lautan karena ulah tangan-tangan manusia supaya Allah jadikan mereka merasakan akibat sebagian dari apa yang mereka lakukan supaya mereka kembali (kepada kebenaran).”(Al-Rum 41).
“Sekiranya Allah menghukum manusia karena apa yang telah mereka lakukan, tidak akan tersisa lagi satu makhluk hidup pun di atas permukaan bumi; tetapi Allah menangguhkan mereka sampai waktu yang ditentukan. Apabila datang ajal mereka maka sesungguhnya Allah Maha Melihat.”(Al-Faathir 45); “Dan tidaklah menimpa kamu satu musibat kecuali karena ulah tangan-tangan kamu; padahal Allah memaafkan banyak sekali”(Al-Syura 30).
Ketika Ali bin Abi Thalib membacakan ayat yang baru disebut ia berkata, “Tidaklah urat terkilir, batu tersandung, kaki tergelincir kecuali karena dosa. Tetapi yang dimaafkan Allah lebih banyak lagi. Barangsiapa yang Allah segerakan hukuman dosanya di dunia, Allah terlalu agung dan terlalu mulia untuk mengulangi hukuman baginya pada hari akhirat.”(Ushul Al-Kafi 2:445).
Walhasil, setiap dosa mengundang bencana. Tetapi, karena kasih-Nya yang mahaluas, sebagian besar dosa itu dimaafkan Allah. Maaf berasal dari kata “afaa”, yang semula berarti menghapuskan jejak. Di padang pasir, jika seseorang diburu musuh, sambil lari ia menghapus jejak yang ditinggalkannya. Dengan begitu, musuh tidak dapat menangkapnya. Ketika pada malam-malam Ramadhan, kita berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi Maaf dan Maha Pemurah. Engkau suka memaafkan. Maafkanlah kami.”, kita sebetulnya memohon agar Allah menghapuskan akibat-akibat dosa yang kita lakukan.
Selain kata maaf, dalam Al-Quran ada dua kata lagi “shafh” dan “maghfirah.” Shafh berarti membebaskan hukuman yang seharusnya diterima oleh para pendosa. Maghfirah berasal dari kata ghafara, yang semula berarti menutupi, atau menyembunyikan. Orang Arab berkata,”Ghafara al-syaib bi al-khidhab.” Ia menyembunyikan ubannya dengan celupan. Dengan menggunakan tiga makna kata itu, kita harus memahami ampunan Tuhan sebagai penghapusan akibat buruk, pembebasan dari hukuman, dan penutupan aib.
Bagaimanakah caranya kita memperoleh ampunan Allah? Bulan Ramadhan adalah bulan ampunan Allah. “Punggung-punggung kalian sudah berat menanggung dosa-dosa kalian. Ringankanlah beban kalian dengan memperbanyak sujud,” sabda Nabi dalam khotbah menyambut Ramadhan. Dalam sujud itu, perbanyaklah istighfar. Dengan istighfar, kita memohon agar Tuhan melepaskan kita dan makhluk Allah yang lain dari akibat buruk dosa-dosa kita; agar Dia tidak menghukum kita; dan agar Dia mengharumkan kembali diri kita yang sudah busuk karena kelakuan buruk kita. “Pakailah wewangian istighfar, supaya Allah tidak mempermalukan kalian dengan bau busuk dari dosa-dosa kalian,” kata Ali bin Abi Thalib.
Pada suatu hari, Ali melewati seorang yang sedang berkata: Astaghfirullah. Ali menegurnya, “Celaka kamu. Tahukah kamu apa arti istighfar? Istighfar ada pada tingkat yang sangat tinggi. Istighfar mengandung enam makna. Pertama, penyesalan akan apa yang sudah kamu lakukan. Kedua, bertekad untuk tidak mengulangi dosa. Ketiga, mengembalikan kembali hak makhluk yang sudah kamu rampas, sampai kamu kembali kepada Allah dengan tidak membawa hak orang lain padamu. Keempat, gantilah segala kewajiban yang telah kamu lalaikan. Kelima, arahkan perhatianmu kepada daging yang tumbuh karena harta yang haram. Rasakan kepedihan penyesalan sampai tulang kamu lengket pada kulitmu. Setelah itu tumbuhkanlah daging yang baru. Keenam, usahakan agar tubuhmu merasakan sakitnya ketaatan, setelah kamu merasakan manisnya kemaksiatan. Setelah memenuhi semua syarat itu, ucapkanlah Astaghfirullah.”
Siapakah sekarang ini yang harus mendengarkan nasehat Ali bin Abi Thalib? Lebaran ini negeri kita dilanda bencana besar. Pengangguran melonjak dengan luar biasa. Seratus juta rakyat terpuruk di bawah garis kemiskinan. Rupiah masih tersungkur. Dan ketakutan masih menghantui kita semua. Seperti yang terjadi pada saudagar dari Tabriz, semua yang dilakukan (dan tidak dilakukan) pemerintah hanya menumpuk kerugian dan kerugian. Setiap orang Indonesia konon punya utang tujuh juta rupiah. Boleh jadi semua kita berdosa, tetapi jelas dosa yang paling berat ditanggung oleh para penguasa dan pengusaha. Jika kita ingin melepaskan bangsa ini dari bencana yang lebih teruk, seperti Maulana Jalaluddin, kita harus memaksa para pemimpin mendatangi rakyat yang sudah tersungkur di sudut-sudut pasar yang berbau amis. Mereka harus mengembalikan hak-hak mereka, membersihkan debu kesengsaraan dari tubuh mereka dengan linangan air mata penyesalan mereka. Lebaran inilah saatnya!
“Berikanlah
hartamu kepada orang-orang miskin, sebelum datang kepadamu satu saat ketika
kamu mengedarkan sedekahmu, tetapi orang-orang miskin itu akan berkata: Hari
ini tidak kami perlukan sedekahmu. Yang kami minta adalah darahmu,” sabda Nabi
Muhammad saw. Seorang raja terbangun dari tidurnya, kata Sa’di, penyair Persia.
Ia mendapatkan dirinya duduk di atas tumpukan debu istananya. Api besar telah
menghabiskan semua kekayaannya. Ia bertanya dari mana api yang menghancurkan
semuanya itu. Seorang Darwisy berkata, “Dari asap kepedihan rakyat yang
menderita di bawah kekuasaanmu!”
Jalaluddin
Rakhmat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar