Al-Tanwir
No. 181 - Edisi: 25 Februari 2001/ 2 Dzulhijjah 1421 H
KH.
Jalaluddin Rakhmat
Orang
yang takwa dalam Al-Quran adalah manusia ideal, kekasih Tuhan. “Ketahuilah,
sungguh para kekasih-Nya itu adalah orang-orang yang takwa.” (QS. Al-Anfal; 34)
Ibadat diwajibkan agar orang menjadi takwa. Derajat manusia ditentukan oleh
ketakwaannya. Sebagian arifin berkata: Sesungguhnya kebaikan dunia dan akhirat
dihimpunkan dalam satu kata; takwa. Karena itu, banyak ayat Al-Quran yang
menjanjikan segala kebaikan –duniawi dan ukhrawi, lahir dan batin- untuk orang
yang takwa. Sayyid Qasim Syubbar[1],
secara singkat mendaftar 12 keutamaan orang takwa:
Pujian dan
penghargaan dari Allah swt: “Jika kamu bersabar dan bertakwa maka demikian itu
termasuk perkara yang sangat menentukan.” (QS. Ali Imran; 186)
Penjagaan dan
pemeliharaan: “Jika kamu bersabar dan bertakwa, tidak akan memperdayakan kamu
tipuan mereka sedikit pun.” (QS. Ali Imran; 120)
Bantuan dan
pertolongan: “Sesungguhnya Tuhan bersama orang-orang yang takwa.” (QS. Al-Nahl;
128)
Jalan keluar dari
segala kesulitan dan rezeki yang halal: “Barangsiapa yang bertakwa kepada
Allah, Allah jadikan baginya jalan keluar dan Allah beri dia rezeki dari tempat
yang tidak terduga.” (QS. Al-Thalaq; 2-3)[2]
Memperbaiki amal:
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlan
ucapan yang benar. Nanti Allah memperbaiki amal-amal kamu.” (QS. Al-Ahzab;
70-71)
Ampunan dosa:
Setelah ayat di atas “dan mengampuni dosa-dosa kamu”.
Memperoleh dan
memastikan kecintaan Allah: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang
bertakwa.” (QS. Al-Tawbah; 4,7)
Amal-amal diterima:
“Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa.” (QS.
Al-Maidah; 27)
Kemuliaan dan
ketinggian derajat: “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang
paling takwa.” (QS. Al-Hujurat; 13)
Diberikan kabar
gembira di dunia dan di akhirat: “Orang-orang yang beriman dan keadaan mereka
bertakwa. Bagi mereka kabar gembira dalam kehidupan dunia dan di akhirat.” (QS.
Yunus; 63-64)
Keselamatan dari
neraka: “Kemudian kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan
membiarkan orang-orang yang zalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut.” (QS.
Maryam; 68)
Kekekalan di surga:
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan Allah dari Tuhanmu dan kepada surga yang
luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.”
(QS. Ali Imran; 133)
Saya
ingin menambahkan lima keutamaan lainnya yang dianugrahkan Tuhan bagi orang
yang bertakwa:
Bantuan gaib berupa
kedatangan malaikat: “Ya, bila kamu bersabar dan bertakwa dan mereka menyerang
kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu
malaikat yang memakai tanda.” (QS. Ali Imran; 125)
Kemudahan dalam
berbagai urusan: “Maka barangsiapa yang memberikan hartanya dan bertakwa; dan
membenarkan pahala yang terbaik; maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan
yang mudah.” (QS. Al-Layl; 5-7) Dibukakan keberkahan dari langit dan bumi:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami
akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya.” (QS. Al-A’raf; 96)
Tidak takut dan
tidak berdukacita: “Sebahagian diberinya petunjuk dan sebahagian lagi telah
pasti kesesatan bagi mereka. Sesungguhnya mereka menjadikan syaitan-syaitan
pelindung (mereka) selain Allah, dan mereka mengira bahwa mereka mendapat
petunjuk.” (QS. Al-A’raf; 30)
Diberikan ilmu dan
pemisah antara benar dan salah: “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu
bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqân dan
menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan
Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al-Anfal; 29); “Dan bertakwalah
kepada Allah, Allah akan mengajarimu. Dan Allah MahaMengetahui segala sesuatu.”
(QS. Al-Baqarah; 282)
Dibukakan
keberkahan dari langit dan bumi: “Jika sekiranya penduduk negeri itu beriman
dan bertakwa kami bukakan pintu keberkahan dari langit dan bumi.” (QS.
Al-A’raf; 96)
Karena
begitu mulianya orang yang takwa, Tuhan memberikan banyak penjelasan dalam
Al-Quran berkenaan dengan karakteristik takwa. Takwa tidak diambangkan menjadi
kata abstrak yang penafsirannya diserahkan kepada definisi para ulama. Paling
tidak, dalam empat tempat dalam Al-Quran[3]
Tuhan memperinci makna takwa, hampir-hampir sangat operasional.
Karakteristik
Orang Bertakwa dalam Al-Quran Sangat menakjubkan bahwa ayat-ayat pertama yang
menjelaskan karakteristik takwa dalam Al-Quran adalah ayat-ayat yang paling
komprehensif. Ayat-ayat lainnya hanya memberikan penjelasan tambahan. Karena
itu, pembahasan dalam makalah ini dipusatkan pada tafsir Al-Baqarah; 1-4:
1.
Alif Lam Mim.
2.
Kitab al-Quran ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi mereka yang takwa.
3.
Yaitu mereka yang beriman kepada yang gaib yang mendirikan salat dan
menafkahkan sebahagian rezeki yang kami anugrahkan kepada mereka.
4.
Dan mereka yang beriman kepada kitab yang telah diturunkan kepadamu dan
kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu serta mereka yakin akan adanya
kehidupan akhirat.
Dari
rangkaian ayat di atas kita dapat menyebutkan tiga karakteristik utama manusia
takwa: keimanan kepada yang gaib, hubungan akrab dengan Tuhan, dan perkhidmatan
kepada manusia.[4]
Keimanan
kepada yang gaib.
Seluruh
perilaku orang yang bertakwa ditegakkan di atas sebuah pandangan dunia, worldview,
bahwa di balik dunia yang material ini ada dunia yang lebih luas lagi. Tidak
ada makna apa pun bagi perbuatan manusia yang baik seperti salat, zakat, dan
kebajikan lainnya tanpa pijakan pada keyakinan akan yang gaib. Bahkan keimanan
kepada Tuhan sekali pun harus dimulai dengan pandangan dunia ini. Peringatan
Tuhan –dan petunjuk Tuhan- hanya akan diterima oleh orang yang percaya kepada
yang gaib: “Sungguh telah kami berikan kepada Musa, Harun, furqân, dan
penerangan serta peringatan bagi orang yag bertakwa; yakni, orang-orang yang
takut kepada Tuhan mereka berdasarkan keimanan kepada yang gaib dan mereka
merasa takut akan tibanya hari kiamat.” (QS. Al-Anbiya; 48-49); “Sesungguhnya
yang dapat kamu beri peringatan hanya orang-orang yang takut kepada azab
Tuhannya berdasarkan keimanan kepada yang gaib dan mendirikan salat dan
barangsiapa mensucikan dirinya sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan
dirinya sendiri dan kepada Allah-lah kembalimu.” (QS. Fathir; 18);
“Sesungguhnya kamu hanya memberi peringatan kepada orang-orang yamg mau
mengikuti peringatan dan yang takut kepada Tuhan yang Maha Pemurah berdasarkan
keimanan kepada yang gaib. Maka berilah mereka kabar gembira dengan ampunan dan
pahala yang mulia.” (QS. Yasin; 11); “Yaitu orang yang takut kepada Tuhan yang
Maha Pemurah berdasarkan keimana kepada yang gaib dan dia datang denga hati
yang bertaubat.” (QS. Qaf; 33)
Dr
Muhammad Shadiqi[5] menjelaskan “orang-orang
yang beriman kepada yang gaib” sebagai berikut:
Iman
secara harfiah berarti meletakkan dirimu dalam ketenangan dan ketentraman.
Kehidupan dunia dan segala perhiasannya selalu berubah dan berakhir dengan
kebinasaan. Beriman kepada kehidupan dunia saja akan menambah kecemasan dan
kegelisahan. Sedangkan keimanan kepada yang gaib –kegaiban uluhiah hari akhir
dan wahyu- adalah keimanan yang menentramkan manusia yang memberikannya
ketenangan dari segala kecemasan: ketahuilah dengan zikir kepada Allah hati
menjadi tentram.
Percaya
kepada yang gaib artinya keimanan kepada yang gaib dari panca indra mereka
berupa hal-hal yang mengharuskan kita mempercayainya seperti kebangkitan,
perhitungan, surga, neraka, tauhid dan semua hal yang tidak diketahui dengan
kesaksian tetapi diketahui dengan petunjuk (dalil-dalil).
Keimanan
kepada yang gaib dari panca indra hewani adalah hal yang membedakan manusia
dari binatang yang lain di atas alat indranya manusia mempunyai akal. Dengan
akallah dia mengetahui apa yang tidak diketahui alat indra. Sesungguhnya akal
dan alat indra bekerja sama untuk membenarkan yang gaib dari panca indra
sebagimana keduanya juga bekerja sama dalam pengetahuan empiris. Pengetahuan
indra saja tidak mencukupi walaupun untuk pengetahuan empiris. Begitu pula
semata-mata akal tidak cukup bahkan untuk membenarkan yang gaib sekalipun
kecuali sedikit saja.
Membatasi
persepsi hanya kepada alat-alat indra saja sangat reduksionis. Membatasi pada
akal saja terlalu berlebihan. Karena itulah kita melihat ayat-ayat yang
menghimpun antara akal dan indra untuk mencapai keimanan kepada yang gaib;
berdasarkan petunjuk ayat-ayat yang indrawi dan ayat-ayat diri yang tidak
indrawi: akan kami perlihatkan kepada mereka ayat-ayat kami di alam semesta
dan dalam diri mereka sampai jelaslah bagi mereka bahwa Dia itu benar (QS.
Fushshilat; 53)
Tafsir
Al-Shadiqi ini mengingatkan kita pada konsep evolusi manusia dari Gary Zukav[6]. Ia membedakan antara “five-sensory human”
dan “multisensory human”:
We are
evolving from five-sensory humans into multisensory humans. Our five senses,
together, form a single sensory system that designed to perceive physical
reality. The perception of multisensory human extend beyond physical reality to
the larger dynamical systems of which our physical reality is a part. The
multisensory human is able to perceive and to appreciate, the role that our
physical reality plays in a larger picture of evolution, and the dynamic by
which our physical reality is created and sustained. This realm is invisible to
the five-sensory human.
Kita
berevolusi dari “five-sensory human” (manusia berpanca indera) menjadi
“multisensory human” (manusia bermulti indera). Kelima indera kita, secara
bersama-sama membentuk sebuah sistem indera tunggal yang dirancang untuk
mencerap realitas jasmaniah. Multisensory human mencerap tidak saja realitas
fisik, tetapi juga realitas dinamis yang jauh lebih besar, di mana realitas
fisik hanyalah salah satu bagiannya. Multisensory human mampu mencerap dan
merasakan peranan
(Kita
berevolusi dari “five sensory humans” menjadi “multisensory humans”. Kelima
indera kita, bersama-sama membentuk sebuah sistem indera tunggal yang dirancang
untuk menerima kenyataan jasmani.
It is in
this invisible realm that the origins of our deepest values are found. From the
perspective of this invisible realm, the motivations of those who consciously
sacrifice their lives for higher purposes makes sense, the power of Gandhi is
explicable, and the compassionate act of the Christ are comprehensible in a
fullness that is not accessible to the five sensory human....
From the
perception of the five sensory human, we are alone in a universe that is
physical. From the perception of the multisensory human, we are never alone,
and the Universe is alive, conscious, intelligent, and compassionate. From the
perception of the five sensory human, the physical world is an unaccountable
given in which we unaccountably find ourselves, and we strive to dominate it so
that we can survive. From the perception of the multisensory human, the
physical world is a learning environment that is created jointly by the souls
that share it, and everything that occurs within it serves their learning. (Bersambung)
Makalah
KH. Jalaluddin Rakhmat dalam Klub Kajian Agama (Paramadina) berjudul Takwa di
dalam Al-Quran
[1] Sayyid
Qasim Syubbar. Al-Mu’minun fi Al-Quran. 1:45. Qum: Muassasah al-Nasyr
al-Islami, 1411.
[2]
Rasulullah saw berpesan kepada Abu Dzar: Sekiranya manusia mengambil ayat ini
cukuplah itu bagi mereka. Dalam hadis lain, Nabi menjelaskan bahwa meberikan
“jalan keluar” artinya dari segala kesulitan dunia dan akhirat ( Lihat Syubbar,
ibid.).
[3]
Al-Baqarah 2:1-4; Al-Baqarah 2:177; Ali Imran 3: 133-136; Al-Dzariat 51:17.
[4] Sayyid
Kamal Faghih Imani et al. An Enlightening Commentary into the Light of The
Holy Quran. Isfahan: Imam Ali Public Library, 1999. I:76-85, menyebutkan
ketiganya dengan kata-kata: Faith in The Unseen, Relationship with Allah and
Relationship with People
[5] Muhammad
Shadiqi. Al-Furqan fi Tafsir Al-Quran bi Al-Quran wa al-Sunnah. Teheran:
Farhangg-Islami, 1406. I: 171.
[6] Gary
Zukav. The Seat of the Soul. New York: Simon and Schuster, 1990, hlm
27-28
http://www.muthahhari.or.id/doc/altanwir/default.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar