KH. Jalaluddin Rakhmat
“Di antara orang–orang yang beriman ada kelompok orang yang
menepati apa yang telah mereka
janjikan kepada Allah. Di antara mereka ada yang gugur. Di antara mereka ada yang menunggu. Dan
mereka tidak mengubah janjinya sedikit
pun juga.” (QS. Al-Ahzab; 23)
Inilah di antara ayat-ayat al-Quran yang digumamkan Imam Husain pada
hari Karbala. Tampaknya ia ingin
mengingatkan para sahabatnya bahwa yang
disebut kaum mukmin itu tidak sama. Ada yang memeranginya dan ada yang
mendukungnya.
Keduanya
mukmin juga. Bukankah Al-Quran berkata: Jika kedua kelompok mukmin
berperang, maka damaikanlah di antara keduanya. (QS. Al-Hujurat; 9). Jangan heran bahwa mereka yang mengepung
keluarga Rasulullah saw dan bergerak untuk membunuhnya itu mengaku sebagai mukmin -melakukan salat,
saum, dan haji. Janganlah berkata tidak habis pikir mengapa mereka yang mengaku
umat Muhammad bisa menzalimi ahli baitnya.
Mereka adalah mukminin juga.
Apa yang membedakan mukmin pengikut Imam Husain dengan mukmin yang
memeranginya? Pengikut Husain ialah
mereka yang memenuhi janjinya, yang tetap teguh setia mempertahankan
komitmennya. Apa pun yang terjadi. Lawan
Imam Husain adalah mereka yang melanggar janjinya, yang mengkhianati
komitmennya. Di antara yang hadir di
Karbala ada orang –orang yang
mencantumkan namanya dalam surat baiat
kepada Imam Husain. Mereka berjanji
untuk membelanya, melindunginya, dan berjuang bersamanya, sampai titik darah
yang terakhir.
Tetapi darah terawal belum menetes, ketika penguasa yang zalim
menggertakkan gerahamnya, mereka sudah berguncang ketakutan. Mereka lupakan
janjinya. Mereka putuskan
kesetiaannya. Mereka bergabung dengan
kezaliman. Mereka putuskan hubungan dengan orang yang Allah perintahkan untuk menyambungkannya.
Mereka yang memutuskan perjanjian dengan Allah sesudah memperkuatnya dan
memutuskan apa yang Allah perintahkan menyambungkannya dan berbuat kerusakan di
bumi, mereka itulah orang–orang yang
merugi (QS. Al-Baqarah 27).
Yang beruntung adalah para pengikut Imam Husain. Mereka menepati
janjinya. Mereka tegakkan keadilan walaupun langit harus runtuh. Kakinya tidak
bergeser dari sikap hidup yang dipilihnya. Ada di antara kelompok ini yang
sudah gugur dalam menjalankan missi hidupnya. Ada juga yang masih menunggu masa
dengan tetap bergerak menuju kesyahidan mereka.
Satu demi satu pengikut Imam gugur dengan tidak melepaskan kesetiaanya
kepada pemimpinnya. Ketika kepala-kepala mereka terlepas, bibir-bibirnya masih
menggumamkan baiat kesetiaan: Ya Aba Abdillah.
Yang masih hidup menunggu saat mereka menjemput maut atau maut
menjemputnya. Ketika Muslim bin ‘Ausajah sudah jatuh berlumuran darah, Habib
bin Mazahir, habib yang sejati dan sahabat yang setia mendekatinya: Demi Allah
sekiranya tidak aku ketahui bahwa aku akan menyusulmu, aku ingin sekali agar
engkau berwasiat kepadaku. (Karena
sahabat biasanya mewasiatkan sesuatu kepada sahabatnya lagi pada saat menjelang
kematiannya. Ia akan mewasiatkan keluarganya dan anak-anaknya). Tetapi sulitnya
aku pun akan mati juga sesudahmu. Aku akan menempuh perjalanan yang sama. Semula aku ingin engkau berwasiat untuk aku jalankan wasiatmu itu. Muslim
berkata: Memang aku punya wasiat yang bisa kamu laksanakan sekarang juga.
Bertanya Habib: Apa wasiatmu? Ia
berkata: Aku wasiatkan ini –sambil telunjuknya menunjuk Imam Husain.
Berjuanglah di sampingnya sampai kamu mati!
Itulah percakapan indah antara orang
yang sudah syahid dengan orang
yang sedang menunggu kesyahidan.
Keduanya adalah orang yang menepati
janji, memenuhi komitmen kepada sikapnya. Dan inilah keberagamaan yang sejati.
Ayat Al-Quran itu dikutip Imam untuk menjelaskan keberagamaan yang hakiki dan
keberagamaan yang palsu. Kita semua
sedang dites oleh Imam Husain dengan sebuah tes yang sederhana tapi berat: Mana
komitmenmu? Mana kesetiaanmu pada janjimu? Mana keteguhan sikapmu untuk
menegakkan Islam? Jika engkau tidak
lulus tes ini, kamu masih mukmin, tetapi mukmin nominal saja, mukmin sebutan
saja. Kamu belum mukmin sejati, jika
kamu melingkarkan serbanmu dengan ketat, tetapi melonggarkan komitmenmu kepada
keadilan. Kamu cuma pamer kesalehan,
jika mulutmu menggumamkan asma Allah tidak henti-hentinya, tetapi kamu
menggunakan agama untuk memperkaya dirimu.
Seorang mukmin ditandai dari komitmennya pada iman. Seorang muslim
ditandai dari komitmennya kepada
Islam. Sayyid Husain Fadhlullah,
yang sudah menyerahkan seluruh hidupnya untuk Islam, berkata: Kita harus
bertanya –Adakah perjanjian antara kita
dengan Allah atau tidak? Adakah perjanjian antara kita dengan Al-Husain sampai kepada Rasulullah saw? Ketika kita
mempelajari pertanyaan ini dengan sifat
kita sebagai muslimin, kita akan menjawab pertanyaan itu dengan mudah, bukan dengan sifat kekerabatan, kedaerahan,
kesukuan atau sifat-sifat lainnya yang rendah, karena sifat Islam itulah yang
membatasi sikap kedaerahan dan kesukuan kaum muslimin. Sesungguhnya
kekerabatan, kedaerahan, kebangsaan, kesukuan,
adalah symbol yang boleh jadi bergerak bersama manusia di dunia ini.
Tetapi pada hari kiamat , “Apabila sangkakala ditiup maka tidak ada lagi
pertalian nasab di antara mereka pada hari itu dan tidak pula mereka saling
bertanya” (QS. Al-Mu’minun; 101). Pada hari kiamat orang akan ditanya dari komitmennya kepada
Tuhannya, Rasul-Nya dan kitab-Nya dan syariat-Nya.” (Fi Rihab ahl al-Bayt alayhim al-salam, hal.
314).
Komitmen kepada Islam harus mengatasi segala komitmen. Pada suatu hari Abu Dzar bertengkar dengan
salah seorang sahabat yang berkulit hitam. Dalam perdebatan ia memanggil
sahabatnya itu –Ya Ibn al-Sawda, hai anak perempuan hitam. Rasulullah saw menepuk bahu Abu Dzar,
“Keterlaluan kamu, keterlaluan kamu. Tidak ada kelebihan orang kulit putih di
atas kulit hitam, tidak ada kelebihan orang Arab di atas orang asing kecuali karena amal salihnya.” Abu Dzar
sadar. Ia sudah meletakkan komitmen kepada warna kulit dan ras di atas
komitmen kepada Islam. Ia merebahkan dirinya, menempelkan pipinya di atas
tanah, seraya berkata kepada sahabatnya, “Injaklah pipiku sebagai tebusan atas
kelancanganku.”
Kelak Abu Dzar berdiri teguh di atas komitmennya kepada Islam. Ia tidak ragu menegur penguasa yang batil,
walaupun orang itu menantu Rasulullah saw sekali pun. Ia tidak takut memperingatkan sultan yang
zalim, walaupun ia itu berasal dari keturunan Quraisy; seperti Al-Quran yang
dengan tegas mengecam Abu Lahab, walaupun dia paman dari Rasulullah saw sang
Kekasih Tuhan. Seperti Al-Quran yang dengan keras menyebut anak Nabi Nuh
sebagai bukan kelurgamu dan menyebutnya, “Innahu ‘amalun ghayri shalih.” Dia itu amal yang tidak saleh (QS. Hud;
46). Hubungan kekerabatan gugur ketika
bertentangan dengan komitmen kepada Islam.
Amal saleh adalah alamat komitmen kita, karena amal saleh adalah apa
saja yang kita lakukan untuk memenuhi janji kita dengan Tuhan. Amal saleh adalah ketaatan kepada Tuhan, dan
amal salah adalah ketaatan kepada setan.
Seakan-akan kepada kita ditawarkan dua perjanjian: mematuhi Tuhan atau
Setan. Tuhan berfirman: Bukankah aku sudah janjikan kepadamu, hai Anak Adam,
janganlah menyembah setan. Sembahlah aku, inilah jalan yang lurus. (QS. Yasin; 60-61).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar