OlehIsrar Iskandar, peneliti politik CIRUS Jakarta
Dalam khazanah
ilmu politik kontemporer, era reformasi dewasa ini disebut juga masa-masa
transisi dari otoriterianisme menuju demokrasi. Di samping masa transisi, Indonesia
juga disebut-sebut sedang mengarah pada konsolidasi demokrasi. Itu dapat
berarti, demokrasi itu sendiri belum mewujud sepenuhnya dalam realitas politik
bangsa kita.
Harus diakui, bagi Indonesia tidak mudah melewati
masa transisi. Begitu pun mengonsolidasikan demokrasi di negara yang baru saja
melewati masa-masa panjang otoriterianisme, dari masa Orde Lama (1958-1965) dan
Orde Baru (1966-1998). Bisa-bisa yang terjadi justru sebaliknyamemuncaknya
kekecewaaan rakyat terhadap kondisi kekinian yang mereka anggap buah demokrasi
dan reformasi. Munculnya apa yang disebut virus SARS (Sindrom Amat Rindu
Soeharto), yang menganggap kehidupan di era Orde Baru lebih baik daripada masa
reformasi, mewakili fenomena tersebut.
Salah satu
masalah pokok yang bisa menghambat konsolidasi demokrasi di tanah air adalah
penegakan hukum yang masih mandek. Ada yang mengatakan demokrasi berjalan
tetapi penegakan hukum gagal. Demokrasi (kedaulatan rakyat) tanpa nomokrasi
(kedaulatan hukum). Orang kemudian mengasosiasikan,
absennya penegakan hukum
itu dengan tidak terselenggaranya pangadilan yang jujur dan bebas terhadap
pelaku tindak pidana korupsi, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan
seterusnya. Kondisi itu tentu menyedihkan di tengah ikhtiar mewujudkan
reformasi dan demokrasi yang lebih maju di negara kita. Perkembangan demokrasi
ke depan akan sangat bergantung pada, salah satunya, sejauh mana komitmen
pemerintah dan aparat berwenang di bidang hukum dalam penegakan hukum atas
pelanggaran HAM di masa lalu maupun masa kini.
Salah satu contoh penyelesaian hukum yang belum
tuntas terhadap pelanggaran HAM di era reformasi adalah Tragedi Trisakti 12 Mei
1998 yang menewaskan 4 mahasiswaUniversitas Trisakti dan Kerusuhan 13-15 Mei
1998 yang menewaskan ratusan orang di Jakarta menjelang kejatuhan Presiden
Soeharto. Bagaimana pemerintah dan aparat penegak hukum menuntaskan kasus-kasus
pelanggaran HAM dalam Tragedi Mei 1998 itu akan menjadi bahan pengujian serius
bagi agenda konsolidasi demokrasi ke depan, terlebih-lebih karena dewasa ini
bangsa Indonesia sedang sibuk dalam perhelatan Pemilu 2004 untuk memilih
anggota legislatif maupun presiden dan wakil presiden.
Demokrasi dan HAM
Hubungan antara masalah HAM dan demokrasi saling
tergantung dan saling mendukung. Perlindungan terhadap HAM dan supremasi hukum
paling baik dicapai melalui suatu komitmen pada prinsip-prinsip demokratis.
Pelaksanaan HAM dan kebebasan-kebebasan sangat perlu agar demokrasi berjalan
benar.
Kepercayaan hubungan erat antara demokrasi dan HAM
bukanlah barang baru. Universal Declaration of Human Right dan International
Convenant on Civil and Political Right mencantumkan sebuah dukungan pada
pemerintahan demokratis. Di situ dijelaskan tentangkehendak rakyat harus
dijadikan dasar kewenangan pemerintah. Salah satu manifestasi aspirasi rakyat
adalah dalam bentuk kehendak menegakkan hukum secara menyeluruh (Beetham,
2001).
Dari sudut teori konsolidasi demokrasi, masalah
penegakan hukum dan HAM juga menjadi penting sekali. Menurut Juan J. Linz dan
Alfred Stepan (2001), demokrasi terkonsolidasi jika memenuhi 5 syarat
utamapertama, harus diciptakan kondisi bagi berkembangnya masyarakat sipil
(civil society) yang bebas dan aktif. Kedua, harus ada masyarakat politik yang
otonom. Ketiga, di seluruh wilayah negara, semua tokoh politik utama, terutama
pemerintah dan aparat negara, harus benar-benar tunduk pada aturan hukum yang
melindungi kebebasan individu dan kehidupan bermasyarakat. Keempat, harus ada
birokrasi negara yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah demokratis yang baru. Kelima,
harus ada masyarakat ekonomi yang dilembagakan.
Jika salah
satu saja di antara kelima prasyarat itu tak terpenuhi oleh suatu negara, maka
berarti demokrasi belum terkonsolidasi dengan baik di negara itu. Kepastian
hukum dan terpenuhinya rasa keadilan masyarakat merupakan prasyarat penting
dalam konsolidasi demokrasi.
Tragedi Mei 1998
Iklim keterbukaan yang muncul sejak tahun 1998,
memungkinkan setiap orang yang selama ini merasa hak-hak asasinya terlanggar
menuntut keadilan dan menyampaikan aspirasinya ke pelbagai lembaga yang
berwenang. Tuntutan itu mengarah pada berbagai kasus, baik yang terjadi di era
reformasi, transisi kekuasaan, dan bahkan masa Orde Baru.
Salah satu
pelanggaran HAM yang mencoreng wajah dunia hukum dan politik di negara kita sejak
reformasi adalah Tragedi Trisakti yang pecah 12 Mei 1998 dan Kerusuhan 13-15
Mei 1998. Kalangan aktivis pro-demokrasi dan HAM, menilaiTragedi Trisakti yang
menewaskan 4 mahasiswa maupun Kerusuhan 13-15 Mei 1998 yang menghanguskan
ratusan jiwa termasuk dalam kategori pelanggaran HAM yang serius.
Untuk kasus
Trisakti, memang sudah ada pengadilan atas pelaku penembakan mahasiswa, tetapi
siapa otak di belakang peristiwa itu belum juga terungkap. Sampai sekarang, tak
satu pun petinggi militer dan aparat keamanan yang berwenang saat itu yang
mengaku bertanggungjawab atas kematian empat mahasiswa. Seperti diketahui, saat
Tragedi Trisakti berlangsung, yang menjabat Menhankam/PanglimaABRI adalah
Jenderal TNI Wiranto sedang Pangkostrad adalah Letjen TNI Prabowo Subianto.
Jenderal Wiranto, yang kini menjadi calon presiden Partai Golkar itu,
mengatakan Tragedi Trisakti tak dapat dielakkan. Bahkan, menurutnya, jatuhnya
empat korban mahasiswa sebagai ekses dari situasi kekacauan yang terjadi
menjelang mundurnya Presiden Soeharto. Apakah sang jenderal tidak menganggap
tewasnya empat mahasiswa Trisakti bukan sebentuk pelanggaran HAM? Di mana
tanggungjawabnya sebagai petinggi di bidang keamanan saat itu? (Fadli Zon,
2004).
Dalam
konteks penegakan demokrasi, penegakan hukum harus dilakukan tanpa pandang
bulu. Di samping Tragedi Trisakti dan Kerusuhan 13-15 Mei 1998 yang menyedihkan
itu, masalah-masalah pelanggaran HAM berat seperti kasus Tanjung Priok 1984,
kasus 27 Juli 1996, Semanggi I (1998) dan Semanggi II (1999), pelanggaran HAM
Timor Timur dan Aceh, jelas masalah yang mesti mendapatkan klarifikasi hukum
yang jelas.
Bagaimana mungkin konsolidasi demokrasi dapat dicapai di tanah air jika
penegakan hukum atau pengadilan yang fair atas kasus-kasus pelanggaran HAM
tidak diwujudkan. Padahal, itu pun baru salah satu prasyarat saja dari
konsolidasi demokrasi. Masalahnya, beranikah bangsa ini melakukan penegakan
hukum serius atas perwira tinggi militernya yang diduga terlibat dalam kasus
pelanggaran HAM berat? Tegakah kita sebagai bangsa menghukum tokoh yang
dianggap pelanggar HAM?Kalau pertanyaan ini belum bisa dijawab berarti harapan
mewujudkan konsolidasi demokrasi di atas masih jauh panggang dari api.
Wallahualam bissawab.
PAGE
PAGE1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar