Alkisah,
pada zaman Nabi Muhammad saw pernah tersebar berita bohong yang menyangkut
keluarga Nabi. Salah seorang ibu kaum mukminin dituduh terlibat dalam sebuah
“skandal”. Ketika berita itu tersebar, banyak orang terkecoh. Hampir saja
keluarga yang mulia itu porak-poranda, sekiranya Allah swt tidak menurunkan
ayat-ayat yang menunjukkan kepalsuan berita itu. Ayat-ayat itu juga
mengingatkan kaum muslimin untuk tidak lagi mudah mempercayai desas-desus.
“Allah
memperingatkan kamu agar jangan kamu mengulangi lagi berbuat seperti itu
selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman. Dan Allah menerangkan
ayat-ayatnya bagi kamu. Dan Allah Mahatahu dan Mahabijaksana. Sesungguhnya
orang-orang yang suka menyebarkan berita keji di tengah-tengah orang yang
beriman, bagi mereka siksa yang pedih di dunia dan akhirat. Dan Allah
mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.” (Al-Nur 17-19).
Inilah
sebagian dari ayat-ayat yang turun dari langit untuk mengajarkan etika
berkomunikasi; khususnya berkenaan dengan penyebaran berita ke tengah-tengah
masyarakat. Syaikh Nashir Makarim Syirazi, dalam tafsir mutakhirnya Tafsir
Al-Amtsal, menjelaskan “siksa yang pedih di dunia” sebagai keharusan sanksi
hukum yang berat dengan undang-undang di dunia[1].
Jadi penyebaran berita bohong harus dianggap sebagai tindak pidana. “Siksa di
akhirat” menunjukkan sanksi etis, yang menunjuk pada hati nurani.
Islam
sangat keras memerangi penyebaran fitnah, namimah, atau berita-berita keji
lainnya, karena semua hal tersebut dapat menghancukan sendi-sendi kehidupan
masyarakat. Bila berita keji itu berkenaan dengan para ulama yang menjadi
panutan masyarakat, dampaknya pada kehancuran moral sangat besar. Bila berita
itu menyangkut orang-orang awam, kerugian moral dan material akan menimpa para
korban dalam jangka waktu yang pendek. Dalam jangka panjang, seluruh masyarakat
akan resah karena saling mencurigai dan saling menyalahkan. Tidak seorang pun
warga masyarakat dapat hidup tentram dalam situasi saling membenci.
Sayangnya,
dalam perkembangan masyarakat Islam kita tidak melihat nilai-nilai Al-Quran ini
diwujudkan dalam perundang-undangan atau diperiinci secara resmi dalam konvensi
penyiaran berita. Di Amerika Serikat, the American Society of NewspaperEditors
tahun 1923 meresmikan kode etik Jurnalistik yang kemudian terkenal sebagai
Canons of Journalism. Setiap penyebaran berita dalam surat kabar harus
dilakukan dengan memperhatikan delapan “rukun” Jurnalistik, yang saya turunkan
di bawah ini secara singkat:
1.
Tanggungjawab. Hak surat kabar untuk menari pembacanya tidak dibatasi oleh apa
pun kecuali pertimbangan kesejahteraan masyarakat. Para wartwan tidak boleh
menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi.
2.
Kebebasan Pers. Kebebsan pers harus selalu dijaga sebagai hak vital manusia dan
pers bebas membicarakan apa saja yang tidak dilarang hukum atau
perundang-undangan.
3.
Independensi. Pers harus membebaskan diri dari segala kewajiban kecuali kepada
kepentingan umum. Mempromosikan kepentingan pribadi yang bertentangan dengan
kepentingan umum atau pemihakan yang menyebabkan penyelewengan kebenaran
melanggar prinsip utama profesi jurnalistik.
4.
Ketulusan, kesetiaan kepada kebenaran, dan akurasi (Sincerity, truthfulness,
and accuracy.
5.
Kejujuran dalam menyampaikan informasi (impartiality).
6.
Berlaku adil (fair play). Pers harus memberikan kesempatan kepada semua pihak
untuk memberikan penjelasan bandingan dari apa yang disampaikan.
7.
Kesopanan (Decency). Pers harus menyampaikan informasi, betapa pun
terperincinya, sesuai dengan standar moral dan kesusilaan masyarakat.
Bila
disimak, prinsip-prinsip Jurnalistik di atas sesuai dengan ajaran Islam. Anda
akan mendapatkan hal yang sama dengan menelaah buku Mafri Amir yang Anda pegang
sekarang.
Dengan
begitu, seorang Muslim sepatutnya mengikuti dengan sepenuhnya etika komunikasi
dalam Islam, bukan saja karena etika tersebut merupakan standar kinerja profesi
Jurnalistik yang diakui seluruh dunia, tetapi –dan lebih-lebih lagi- karena
merupakan pengamalan ajaran Islam. Melanggar prinsip-prinsip itu akan mengundang
azab di dunia dan juga di akhirat.
Belakangan
ini, setelah reformasi, kita tiba-tiba dilepaskan dari penjara kebebasan pers
yang berlangsung lebih dari tiga puluh tahun. Komunikasi massa menarik nafas
lega, setelah dipasung sekian lama. Mungkin karena tidak terbiasa dalam suasana
kebebasan, atau karena euforia yang datang tiba-tiba, banyak di antara kita
melupakan prinsip etika dalam berkomunikasi. Kita menyebarkan selebaran yang
isinya fitnah, umpatan atau upaya mengadu-domba di antara sesama bangsa. Atau
kita memuat berita yang belum jelas kebenarannya. Kita juga dibingungkan oleh
bermacam informasi, sehingga limbung dalam mengambil keputusan .
Ada di
antara kita yang putus asa dan ingin kembali pada situasi Orde Baru. Ada juga
yang berusaha memperlebar kebebasan, sampai kepada apa pun, tanpa memperdulikan
hukum dan etika. Yang benar, tentu saja, ialah memelihara kebebsan pers dengan
tetap berpegang teguh pada kaidah-kaidah etik, lebih-lebih bila kaidah etik itu
ditegakkan di atas Al-Quran dan Sunnah rasulullah saw.
Saya
yakin Mafri Amir, dengan Etika Komunikasi Massa dalam Pandangan Islam, telah
memberikan kontribusi yang besar untuk perumusan etika komunikasi massa yang
dibutuhkan di tanah air kita sekarang ini. Buku Mafri Amir menjadi sangat
penting, karena kaidah etika yang paling efektif untuk disosialisasikan ke
tengah-tengah masyarakat mestilah ditegakkan di atas nilai-nilai luhur yang
dianut masyarakat tersebut. Semoga gayungnya bersambut!
Jalaluddin
Rakhmat
[1] Syaikh
Makarim Syirazi, Tafsir al-Amtsal. Beyrut: Muassasah Bi’tsah, 1996. Juz 11, hal
44.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar