Kamis, 29 Januari 2015

Agum dan Ikon Politik Lokal

Oleh MURADI
PERNYATAAN beberapa pengamat politik bernada sinis yang dimuat sejumlah media nasional dan lokal perihal majunya Agum Gumelar (AG) dalam pencalonannya sebagai calon wakil presiden (cawapres), berpasangan dengan Hamzah Haz membuat penulis tergelitik untuk menyikapinya. Apalagi artikel penulis yang berjudul, Menanti "Urang" Sunda Memimpin Bangsa yang dimuat di harian ini beberapa waktu lalu juga mendapat reaksi yang kurang positif perihal harapan munculnya urang Sunda di pentas nasional. Per- nyataan dan reaksi tersebut hampir bernada sama, yakni, AG kurang dekat dengan masyarakat Jawa Barat, dan kurang nyunda. Bahkan dengan nada sinis juga, AG dianggap hanya akan memanfaatkan masyarakat Jawa Barat demi mengejar ambisi politiknya. AG juga dianggap sebagai figur militer yang dekat dengan penguasa Orde Baru (Orba), serta akan menerapkan gaya kepemimpinan militeristik apabila berkuasa.

Sikap dan pernyataan bernada sinis terhadap pencalonan AG menjadi cawapres, mendampingi Hamzah Haz yang dicalonkan oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) memang tidak salah dan sah-sah saja. Hanya saja, hal tersebut membuat heran penulis karena sikap dan pernyataan bernada sinis tersebut diucapkan oleh urang Sunda sendiri. Dengan alasan terkait Orba, tokoh militer, dan tidak memiliki semangat Ki Sunda, adalah alasan yang tidak bijak. Di tengah transisi demokrasi yang berjalan dengan baik, watak dan semangat dari masyarakat Jawa Barat yang seperti itu hanya akan menenggelamkan potensi dan putra terbaik Jawa Barat untuk berkiprah di pentas nasional.
Diakui atau tidak, pasca Ginanjar Kartasasmita (GK), hampir tidak ada lagi figur urang Sunda yang memiliki posisi tawar (bargaining position) politik yang baik di mata pemerintah pusat. Sehingga dibutuhkan figur baru yang mampu me-ngartikulasikan kepentingan masyarakat Jawa Barat di pentas nasional. Majunya AG sebagai cawapres sejatinya memberikan sebuah harapan politik bagi munculnya figur yang mampu menjadi "corong" dari kepentingan masyarakat Jawa Barat di pusat. Masalah yang kemudian muncul adalah sejauh mana peluang politik AG dalam pemilihan presiden tersebut mampu melakukan penetrasi politik yang signifikan dalam me- nyuarakan kepentingan masyarakat Jawa Barat di pentas nasional. Dengan kendaraan politik PPP, Hamzah Haz bersama AG akan sulit untuk dapat bersaing dengan capres-cawapres lainnya.
Hanya saja, dalam demokrasi tidak melulu angka-angka dan kemenangan politik belaka. Majunya AG sebagai cawapres dapat diartikan sebagai kreativitas politik yang positif bagi kepentingan masyarakat Jawa Barat. Sebagai wilayah yang paling dekat dengan kekuasaan, Jawa Barat harus membangun posisi tawar politik yang signifikan kepada pusat. Perasaan termarjinalkan oleh kekuasaan pemerintah pusat yang dirasakan oleh masyarakat Jawa Barat selama ini Orba harus benar-benar hilang dari lubuk hati masyarakat. Sebab, perasaan terpinggirkan hanya akan membunuh kreativitas politik masyarakat Jawa Barat secara kolektif. Sehingga sebagai sebuah entitas keetnisan, Ki Sunda akan tereduksi oleh dinamika politik yang berkembang di tingkat nasional.
Pandangan dan sikap sinis dari pengamat politik dan sebagian masyarakat Jawa Barat perihal pencalonan AG sebagai cawapres mendampingi Hamzah Haz bila mengacu kepada pandangan Lucian W. Pye dan Sidney Verba dalam Political Culture and Political Deve-lopment (1965, Princeton University) merupakan pembiasan politik yang keluar dari lingkungan demokrasi, serta bentuk keunggulan pola-pola politik modern terhadap pola-pola politik tradisional. Pembiasan politik tersebut terkait dengan tidak mampunya sebagian masyarakat Jawa Barat tersebut dalam mengartikulasikan sebuah tuntutan dan dinamika politik yang berkembang dengan jawaban konkret atas peluang politik yang ada. Peluang politik tersebut terkait dengan pelaksanaan pemilihan presiden yang sudah ada di depan.
Padahal sebagai sebuah entitas keetnisan yang relatif besar, Jawa Barat harus mampu memberikan kontribusi politik dalam dinamika politik pusat. Partisipasi politik, jangan hanya dipahami sekadar pemberian dukungan dan penyuksesan pemilu belaka, tapi juga bagaimana membangun posisi tawar politik yang lebih besar dari sebelumnya. Sehingga dalam persfektif yang lebih luas, partisipasi politik masyarakat Jawa Barat harus mampu mendirikan bangunan politik yang kokoh bagi mulusnya kepentingan masyarakat Jawa Barat di tingkat nasional. Sebab, dengan jumlah pemilih lebih dari 26 juta akan tidak berarti apabila secara politik masyarakat Jawa Barat tetap termarjinalkan.
Keraguan yang muncul di sebagian masyarakat Jawa Barat terhadap komitmen AG dalam memperjuangakan kepentingan masyarakat Jawa Barat di level nasional menjadi sebuah hal yang lumrah di alam demokrasi, apalagi yang bersangkutan banyak menghabiskan waktunya untuk mengabdi ke bangsa dan negara selama aktif di ketentaraan. Namun, demokrasi juga membuka ruang bagi pembangunan kesepakatan baru antara pemimpin dengan rakyatnya dalam bentuk kontrak sosial. Kontrak sosial ini merupakan bentuk dari pertanggungjawaban dan pembangunan komitmen pemimpin kepada konstituennya.
Ada lima syarat penting yang harus digarisbawahi dalam kontrak sosial tersebut. Pertama, AG harus mampu memperjuangkan aspirasi dan kepentingan Ki Sunda di pusat. Sebaliknya, Ki Sunda juga akan memberikan dukungan politik kepada AG dalam pemilihan presiden. Kedua, AG harus memberikan peluang dan ruang yang lebih bagi aktualisasi politik masyarakat Jawa Barat. Ketiga, AG harus berada di jalur politik yang santun, sopan, anti KKN, tidak otoriter dan tidak mengembangkan pola kepemim-pinan militeristik serta sikap-sikap yang merupakan cermin dari kesantunan Ki Sunda. Apabila AG keluar dari jalur politik tersebut sama saja prilaku politik AG tidak berbeda dengan elite politik masa Orba dari Jawa Barat yang memarjinalkan Ki Sunda dari pergaulan politik nasional dengan prilaku politik yang tidak mencerminkan sikap-sikap luhur Ki Sunda.
Keempat, AG harus tetap mengedepankan semangat kebangsaan dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sehingga pemahaman kepentingan masyarakat Jawa Barat tetap ternaungi dalam semangat kebangsaan yang mengacu pada kemajemukan dan pluralisme. Kelima, memba-ngun "pengkaderan" politik dengan memberi kesempatan untuk tampil di pentas nasional kepada figur-figur politik dari Jawa Barat. "Pengkaderan" politik ini menjadi penting untuk dilakukan karena akan me-nyinambungkan peran dan eksistensi politik masyarakat Jawa Barat dengan adanya figur-figur politik yang mumpuni.
Ikon politik Sunda
Identifikasi kepolitikan Jawa Barat identik dengan adanya ikon-ikon politik yang menjadi perso-nifikasi Ki Sunda dalam pentas nasional. Iwa Kusumasumantri, dan Otto Iskandar Dinata menjadi ikon politik pada masa pergerakan nasional hingga awal kemerdekaan, Djuanda menjadi ikon politik pada saat Soekarno berkuasa. Sementara masa pemerintahan Soeharto ada beberapa figur politik yang menjadi ikon politik yakni; Sanusi Har-djadinata, Muctar Kusumaatmaja, Umar Wirahadikusuma, Sarwono Kusumaatmaja, Yogie S.M, hingga Ginanjar Kartasasmita. Figur-figur politik tersebut menjadi personifikasi Ki Sunda pada kekuasaan Soeharto selama 32 tahun. Pada masa Orba inilah sejatinya ikon politik yang ada tereduksi dan menjadi kaki tangan kekuasaan yang otori-ter. Sehingga secara substantif, Ki Sunda mengalami marjinalisasi oleh tingkah pola figur-figur politik tersebut yang jauh dari sikap-sikap luhur Ki Sunda.
Jatuhnya kekuasaan Soeharto dan Orde Baru, berganti menjadi Orde Reformasi tak membuat figur-figur politik yang berasal dari Jawa Barat bangkit dan terlibat dalam dinamika politik nasional. Marjinalisasi politik yang terjadi begitu membekas di hati Ki Sunda, sehingga kemunculan figur-figur politik yang merupakan representasi dari masyarakat Jawa Barat dipandang sinis dan hanya akan memanfaatkan masyarakat Jawa Barat untuk ambisi dan kepentingan politiknya semata, tak terkecuali AG. Ketiadaan figur politik dari Jawa Barat ini pulalah yang telah menurunkan posisi tawar masyarakat Jawa Barat terhadap pusat. Hal ini bahkan terkait pula dengan minimnya figur-figur politik dari Jawa Barat yang duduk di kabinet.
Namun, sebagai sebuah entitas etnis yang memiliki jumlah penduduk yang besar, Jawa Barat harus memiliki figur-figur politik yang dapat memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya di tingkat nasional. Selain itu, adanya ikon politik yang mampu menjadi panutan bagi masyarakat Jawa Barat menjadi penting untuk dimunculkan. Ada empat prasyarat bagi figur-figur politik untuk dapat menjadi ikon politik Jawa Barat. Pertama, figur tersebut harus memiliki komitmen untuk membangun dan mengembangkan segenap potensi yang ada di Jawa Barat ke arah yang positif. Dalam penger-tian bahwa figur tersebut mampu melakukan kerja-kerja politik bagi kepentingan masyarakat Jawa Barat.
Kedua, figur tersebut merupakan representasi dari masyarakat Jawa Barat yang memiliki sifat-sifat luhur Ki Sunda, sehingga figur tersebut harus memiliki sifat dan perilaku politik yang santun, anti KKN, tidak otoriter, terbuka, dan memberikan contoh yang baik bagi masyarakat Jawa Barat.
Ketiga, figur tersebut merupakan pribadi yang cakap dan mampu me-ngartikulasikan kepentingan masyarakat Jawa Barat di mana pun berada, termasuk di pemerintahan. Kepentingan masyarakat Jawa Barat juga terepresentasi dengan duduknya figur-figur yang cakap di kabinet. Asumsi politik bahwa dengan duduknya figur politik di kabinet, maka secara implisit, kepentingan masyarakat Jawa Barat terakomodasikan.
Keempat, figur tersebut memiliki komitmen untuk meneruskan reformasi, penegakan hukum dan hak asasi manusia (HAM), serta menjunjung tinggi demokrasi, dengan meneruskan liberalisasi lembaga-lembaga politik dan melakukan sti-muli partisipasi politik masyarakat, khususnya masyarakat Jawa barat ke arah yang lebih baik.
Dari empat prasyarat tersebut, AG memiliki peluang lebih besar untuk memosisikan diri sebagai ikon politik Jawa Barat. Ada tiga alasan yang menguatkan posisi AG sebagai ikon politik Jawa Barat yang baru. Pertama, kesempatan dan peluang politik yang relatif besar dimiliki oleh AG dalam dinamika politik. Kesempatan tersebut dibuktikan dengan maju-nya AG menjadi salah satu pasangan capres-cawapres. Kedua, AG adalah figur yang dikenal luas, baik tingkat nasional maupun daerah. Sehingga figuritas AG relatif memiliki integritas moral politik yang tinggi, karena merupakan salah satu elite politik yang mempunyai komitmen yang tinggi terhadap kelangsungan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ketiga, komitmen AG terhadap penegakan hukum dan HAM, sikap anti KKN, seorang demokrat dan reformis, serta mengakui otoritas pemerintahan sipil. Hal tersebut dibuktikan oleh AG dengan mengakui kepemimpinan Wahid dan Megawati sebagai personifikasi pemerintahan sipil. Sehingga tak ada alasan untuk menolak AG sebagai ikon politik Sunda yang baru, ditambah pula akan makin baik apabila AG mau terikat kontrak sosial dengan masyarakat Jawa Barat yang diaju kan dengan syarat-syarat tersebut diatas.***
Penulis pengajar di Universitas Padjadjaran, Bandung. Peneliti "Centre for Defense and Security Studies" (CedeSS), Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar