Oleh MURADI
PERNYATAAN beberapa pengamat politik bernada sinis yang
dimuat sejumlah media nasional dan lokal perihal majunya Agum Gumelar (AG)
dalam pencalonannya sebagai calon wakil presiden (cawapres), berpasangan dengan
Hamzah Haz membuat penulis tergelitik untuk menyikapinya. Apalagi artikel
penulis yang berjudul, Menanti "Urang" Sunda Memimpin Bangsa
yang dimuat di harian ini beberapa waktu lalu juga mendapat reaksi yang kurang
positif perihal harapan munculnya urang Sunda di pentas nasional. Per-
nyataan dan reaksi tersebut hampir bernada sama, yakni, AG kurang dekat dengan
masyarakat Jawa Barat, dan kurang nyunda. Bahkan dengan nada sinis juga,
AG dianggap hanya akan memanfaatkan masyarakat Jawa Barat demi mengejar ambisi politiknya.
AG juga dianggap sebagai figur militer yang dekat dengan penguasa Orde Baru
(Orba), serta akan menerapkan gaya kepemimpinan militeristik apabila berkuasa.
Sikap dan pernyataan bernada sinis terhadap pencalonan AG
menjadi cawapres, mendampingi Hamzah Haz yang dicalonkan oleh Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) memang tidak salah dan sah-sah saja. Hanya saja, hal tersebut
membuat heran penulis karena sikap dan pernyataan bernada sinis tersebut
diucapkan oleh urang Sunda sendiri. Dengan alasan terkait Orba, tokoh
militer, dan tidak memiliki semangat Ki Sunda, adalah alasan yang tidak bijak.
Di tengah transisi demokrasi yang berjalan dengan baik, watak dan semangat dari
masyarakat Jawa Barat yang seperti itu hanya akan menenggelamkan potensi dan
putra terbaik Jawa Barat untuk berkiprah di pentas nasional.
Diakui atau tidak, pasca Ginanjar Kartasasmita (GK), hampir
tidak ada lagi figur urang Sunda yang memiliki posisi tawar (bargaining
position) politik yang baik di mata pemerintah pusat. Sehingga dibutuhkan
figur baru yang mampu me-ngartikulasikan kepentingan masyarakat Jawa Barat di
pentas nasional. Majunya AG sebagai cawapres sejatinya memberikan sebuah
harapan politik bagi munculnya figur yang mampu menjadi "corong" dari
kepentingan masyarakat Jawa Barat di pusat. Masalah yang kemudian muncul adalah
sejauh mana peluang politik AG dalam pemilihan presiden tersebut mampu
melakukan penetrasi politik yang signifikan dalam me- nyuarakan kepentingan
masyarakat Jawa Barat di pentas nasional. Dengan kendaraan politik PPP, Hamzah
Haz bersama AG akan sulit untuk dapat bersaing dengan capres-cawapres lainnya.
Hanya saja, dalam demokrasi tidak melulu angka-angka dan
kemenangan politik belaka. Majunya AG sebagai cawapres dapat diartikan sebagai
kreativitas politik yang positif bagi kepentingan masyarakat Jawa Barat.
Sebagai wilayah yang paling dekat dengan kekuasaan, Jawa Barat harus membangun
posisi tawar politik yang signifikan kepada pusat. Perasaan termarjinalkan oleh
kekuasaan pemerintah pusat yang dirasakan oleh masyarakat Jawa Barat selama ini
Orba harus benar-benar hilang dari lubuk hati masyarakat. Sebab, perasaan
terpinggirkan hanya akan membunuh kreativitas politik masyarakat Jawa Barat
secara kolektif. Sehingga sebagai sebuah entitas keetnisan, Ki Sunda akan
tereduksi oleh dinamika politik yang berkembang di tingkat nasional.
Pandangan dan sikap sinis dari pengamat politik dan
sebagian masyarakat Jawa Barat perihal pencalonan AG sebagai cawapres
mendampingi Hamzah Haz bila mengacu kepada pandangan Lucian W. Pye dan Sidney
Verba dalam Political Culture and Political Deve-lopment (1965,
Princeton University) merupakan pembiasan politik yang keluar dari lingkungan
demokrasi, serta bentuk keunggulan pola-pola politik modern terhadap pola-pola
politik tradisional. Pembiasan politik tersebut terkait dengan tidak mampunya
sebagian masyarakat Jawa Barat tersebut dalam mengartikulasikan sebuah tuntutan
dan dinamika politik yang berkembang dengan jawaban konkret atas peluang
politik yang ada. Peluang politik tersebut terkait dengan pelaksanaan pemilihan
presiden yang sudah ada di depan.
Padahal sebagai sebuah entitas keetnisan yang relatif
besar, Jawa Barat harus mampu memberikan kontribusi politik dalam dinamika
politik pusat. Partisipasi politik, jangan hanya dipahami sekadar pemberian
dukungan dan penyuksesan pemilu belaka, tapi juga bagaimana membangun posisi
tawar politik yang lebih besar dari sebelumnya. Sehingga dalam persfektif yang
lebih luas, partisipasi politik masyarakat Jawa Barat harus mampu mendirikan bangunan
politik yang kokoh bagi mulusnya kepentingan masyarakat Jawa Barat di tingkat
nasional. Sebab, dengan jumlah pemilih lebih dari 26 juta akan tidak berarti
apabila secara politik masyarakat Jawa Barat tetap termarjinalkan.
Keraguan yang muncul di sebagian masyarakat Jawa Barat
terhadap komitmen AG dalam memperjuangakan kepentingan masyarakat Jawa Barat di
level nasional menjadi sebuah hal yang lumrah di alam demokrasi, apalagi yang
bersangkutan banyak menghabiskan waktunya untuk mengabdi ke bangsa dan negara
selama aktif di ketentaraan. Namun, demokrasi juga membuka ruang bagi
pembangunan kesepakatan baru antara pemimpin dengan rakyatnya dalam bentuk
kontrak sosial. Kontrak sosial ini merupakan bentuk dari pertanggungjawaban dan
pembangunan komitmen pemimpin kepada konstituennya.
Ada lima syarat penting yang harus digarisbawahi dalam
kontrak sosial tersebut. Pertama, AG harus mampu memperjuangkan aspirasi dan
kepentingan Ki Sunda di pusat. Sebaliknya, Ki Sunda juga akan memberikan
dukungan politik kepada AG dalam pemilihan presiden. Kedua, AG harus memberikan
peluang dan ruang yang lebih bagi aktualisasi politik masyarakat Jawa Barat.
Ketiga, AG harus berada di jalur politik yang santun, sopan, anti KKN, tidak
otoriter dan tidak mengembangkan pola kepemim-pinan militeristik serta
sikap-sikap yang merupakan cermin dari kesantunan Ki Sunda. Apabila AG keluar
dari jalur politik tersebut sama saja prilaku politik AG tidak berbeda dengan
elite politik masa Orba dari Jawa Barat yang memarjinalkan Ki Sunda dari
pergaulan politik nasional dengan prilaku politik yang tidak mencerminkan
sikap-sikap luhur Ki Sunda.
Keempat, AG harus tetap mengedepankan semangat kebangsaan
dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sehingga pemahaman
kepentingan masyarakat Jawa Barat tetap ternaungi dalam semangat kebangsaan
yang mengacu pada kemajemukan dan pluralisme. Kelima, memba-ngun
"pengkaderan" politik dengan memberi kesempatan untuk tampil di
pentas nasional kepada figur-figur politik dari Jawa Barat. "Pengkaderan"
politik ini menjadi penting untuk dilakukan karena akan me-nyinambungkan peran
dan eksistensi politik masyarakat Jawa Barat dengan adanya figur-figur politik
yang mumpuni.
Ikon politik Sunda
Identifikasi kepolitikan Jawa Barat identik dengan adanya
ikon-ikon politik yang menjadi perso-nifikasi Ki Sunda dalam pentas nasional.
Iwa Kusumasumantri, dan Otto Iskandar Dinata menjadi ikon politik pada masa
pergerakan nasional hingga awal kemerdekaan, Djuanda menjadi ikon politik pada
saat Soekarno berkuasa. Sementara masa pemerintahan Soeharto ada beberapa figur
politik yang menjadi ikon politik yakni; Sanusi Har-djadinata, Muctar
Kusumaatmaja, Umar Wirahadikusuma, Sarwono Kusumaatmaja, Yogie S.M, hingga
Ginanjar Kartasasmita. Figur-figur politik tersebut menjadi personifikasi Ki
Sunda pada kekuasaan Soeharto selama 32 tahun. Pada masa Orba inilah sejatinya
ikon politik yang ada tereduksi dan menjadi kaki tangan kekuasaan yang
otori-ter. Sehingga secara substantif, Ki Sunda mengalami marjinalisasi oleh
tingkah pola figur-figur politik tersebut yang jauh dari sikap-sikap luhur Ki
Sunda.
Jatuhnya kekuasaan Soeharto dan Orde Baru, berganti menjadi
Orde Reformasi tak membuat figur-figur politik yang berasal dari Jawa Barat
bangkit dan terlibat dalam dinamika politik nasional. Marjinalisasi politik
yang terjadi begitu membekas di hati Ki Sunda, sehingga kemunculan figur-figur
politik yang merupakan representasi dari masyarakat Jawa Barat dipandang sinis
dan hanya akan memanfaatkan masyarakat Jawa Barat untuk ambisi dan kepentingan
politiknya semata, tak terkecuali AG. Ketiadaan figur politik dari Jawa Barat
ini pulalah yang telah menurunkan posisi tawar masyarakat Jawa Barat terhadap
pusat. Hal ini bahkan terkait pula dengan minimnya figur-figur politik dari
Jawa Barat yang duduk di kabinet.
Namun, sebagai sebuah entitas etnis yang memiliki jumlah
penduduk yang besar, Jawa Barat harus memiliki figur-figur politik yang dapat
memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya di tingkat nasional. Selain itu,
adanya ikon politik yang mampu menjadi panutan bagi masyarakat Jawa Barat
menjadi penting untuk dimunculkan. Ada empat prasyarat bagi figur-figur politik
untuk dapat menjadi ikon politik Jawa Barat. Pertama, figur tersebut harus
memiliki komitmen untuk membangun dan mengembangkan segenap potensi yang ada di
Jawa Barat ke arah yang positif. Dalam penger-tian bahwa figur tersebut mampu
melakukan kerja-kerja politik bagi kepentingan masyarakat Jawa Barat.
Kedua, figur tersebut merupakan representasi dari
masyarakat Jawa Barat yang memiliki sifat-sifat luhur Ki Sunda, sehingga figur
tersebut harus memiliki sifat dan perilaku politik yang santun, anti KKN, tidak
otoriter, terbuka, dan memberikan contoh yang baik bagi masyarakat Jawa Barat.
Ketiga, figur tersebut merupakan pribadi yang cakap dan
mampu me-ngartikulasikan kepentingan masyarakat Jawa Barat di mana pun berada,
termasuk di pemerintahan. Kepentingan masyarakat Jawa Barat juga terepresentasi
dengan duduknya figur-figur yang cakap di kabinet. Asumsi politik bahwa dengan
duduknya figur politik di kabinet, maka secara implisit, kepentingan masyarakat
Jawa Barat terakomodasikan.
Keempat, figur tersebut memiliki komitmen untuk meneruskan
reformasi, penegakan hukum dan hak asasi manusia (HAM), serta menjunjung tinggi
demokrasi, dengan meneruskan liberalisasi lembaga-lembaga politik dan melakukan
sti-muli partisipasi politik masyarakat, khususnya masyarakat Jawa barat ke
arah yang lebih baik.
Dari empat prasyarat tersebut, AG memiliki peluang lebih
besar untuk memosisikan diri sebagai ikon politik Jawa Barat. Ada tiga alasan
yang menguatkan posisi AG sebagai ikon politik Jawa Barat yang baru. Pertama,
kesempatan dan peluang politik yang relatif besar dimiliki oleh AG dalam
dinamika politik. Kesempatan tersebut dibuktikan dengan maju-nya AG menjadi
salah satu pasangan capres-cawapres. Kedua, AG adalah figur yang dikenal luas,
baik tingkat nasional maupun daerah. Sehingga figuritas AG relatif memiliki
integritas moral politik yang tinggi, karena merupakan salah satu elite politik
yang mempunyai komitmen yang tinggi terhadap kelangsungan negara kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
Ketiga, komitmen AG terhadap penegakan hukum dan HAM, sikap
anti KKN, seorang demokrat dan reformis, serta mengakui otoritas pemerintahan
sipil. Hal tersebut dibuktikan oleh AG dengan mengakui kepemimpinan Wahid dan
Megawati sebagai personifikasi pemerintahan sipil. Sehingga tak ada alasan
untuk menolak AG sebagai ikon politik Sunda yang baru, ditambah pula akan makin
baik apabila AG mau terikat kontrak sosial dengan masyarakat Jawa Barat yang
diaju kan dengan syarat-syarat tersebut diatas.***
Penulis pengajar
di Universitas Padjadjaran, Bandung. Peneliti "Centre for Defense and
Security Studies" (CedeSS), Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar