Muhammad Al-Fayyadl
Ketika Marx bicara lantang tentang
kapitalisme, diam-diam dia sedang merancang konsep seni sosialis, yang—kendati
gagal menjadi kenyataan—banyak mendapat aplaus generasi sesudahnya. Contohnya
saja, Georg Lukacs. Namun, apa pun alasannya, dunia pemikiran Marxis yang
berhubungan dengan seni, kemudian seolah dibalut kontroversi panjang yang tak
pernah usai. Di saat kapitalisme meruyak ke sendi-sendi kehidupan, masihkah
seni Marxis relevan—atau bahkan kita butuhkan?
Pertama
kali, ingatan kita pasti tertuju pada konflik “laten” antara Manikebu dan
Manipol. Dasawarsa 1960-an menyaksikan betapa persinggungan ekstrem
antar-ideologi telah menghantarkan suatu pertarungan sengit yang bermuara pada
paham kesenian. Komunisme, di saat jayanya itu, menjadi motor utama penggerak
keyakinan bahwa seni haruslah berada di bawah otoritas politik. Seni sekaligus
merupakan cerminan dari kekuasaan yang mengungkungi, mensubordinasi, dan
memperalatnya. Karena itu, estetika bukanlah barang langka yang harus tunduk
pada keinginan sekelompok elite budaya—karena ia mesti membaur dalam perjuangan
kaum proletar, yang tak lain adalah rakyat Indonesia sendiri.
Namun,
lebih dari sekadar pergulatan ideologis, konflik tersebut lalu seakan
menyisakan luka sejarah yang kemudian meretas jalan panjang dunia kesastraan
Indonesia ke arah kebuntuan akut. Polarisasi antara dua elemen di atas memicu
realitas buram yang berlanjut pada wilayah “kekuasaan”—sebuah entitas yang tak
berdiri sendiri: di atas kepentingan politislah segala keputusan menjadi final,
dan seseorang yang terlibat di dalamnya tak pernah lagi netral.
Satu
misal yang dapat dibaca adalah kecenderungan stigmatisasi dan ekslusi oleh
sastrawan Manipol terhadap sastrawan Manikebu. Di awal 1960-an, di tengah
gencarnya proyek membabi-buta itu, harian Bintang
Timur, dengan rubrik budayanya, Lentera,
melancarkan kritik yang benar-benar menyudutkan para penandatangan Manikebu:
sebagai “yang harus dibabat”. Sebuah klise yang sinis, bukan? Dalam konteks
ini, dipelopori Pramoedya Ananta Toer, Manipol membuka suatu gerak baru bagi
“filsafat” sastra: bahwa kritik adalah sesuatu yang absah demi tegaknya
ideologi dan langgengnya proses ideologisasi.
Di
masa itu, bentrok antar-ideologi tak terhindarkan menjadi kewajaran dan
kekhawatiran. Tapi, justru di sinilah, ideologi mengambil bentuknya yang paling
eksesif—ditunjukkan oleh dua hal. Pertama, ketika ideologi mendekati wilayah
sentrum kekuasaan, yang terjadi adalah monopoli dan pengucilan atas mereka yang
dianggap tak sependapat. Dalam percaturan politik kala itu, potret kekuasaan,
dengan dingin, ditampilkan Soekarno—dan begitu pula, ideologi, seolah tak
memberi ampun, menggunakan otoritasnya untuk membungkam: komunisme-sosialisme.
Catatan politik Iwan Simatupang, dengan getir, mendeskripsikan betapa Soekarno
tak lagi menaruh perhatian besar akan terpecahnya masa depan kebudayaan bangsa,
di tengah berkecamuknya ancaman revolusi. Ia, ironisnya, kemudian memilih
menggunakan kekuasaan untuk sebuah akibat yang tak nyaman: represi. Dan kedua,
ketika ideologi menjauh dari kekuasaan, ujung-ujungnya adalah sikap kontra dan
resistensi. Sejarah menunjukkan, inilah yang harus dialami Pram—dan kelompok
Manipol—di rezim Orba.
Dari
situ, dapat ditangkap dua realitas berbeda, yang tak sepenuhnya bertemu. Namun,
yang menarik, masa-masa revolusi telah membuat dunia kesastraan kita berada
dalam titik persaingan yang tak sehat. Goenawan Mohamad, salah seorang eksponen
yang terlibat, lalu berkata: di potongan sejarah yang menyakitkan itu, kita
temukan sebuah kegamangan, sikap “apokaliptik” yang tidak lagi berbicara
menurut akal sehat dan hati nurani, tetapi lebih sebagai frustasi politik yang
acak, intoleran, dan menang-kalah. Alternatifnya lalu jelas: seseorang sastrawan
harus memilih untuk berkonfrontasi dan menghindari—sejauh mungkin—rekonsiliasi.
Pram,
yang hidup sebatang kara di pulau Buru, tak pernah menyadari bahwa intoleransi
adalah sesuatu yang mustahil abadi. Ia utopis, dan karenanya cuma menyisakan
harapan yang tak pernah terwujud selamanya. Intoleransi melahirkan
radikalisasi, untuk selanjutnya dihadapi dengan reaksi. Radikalisme, demikian
saya menyebutnya, mungkin sikap yang tak bijak. Dalam sebuah perbincangan
singkat, Pram ditanya tentang mengapa ia tak memaafkan Manikebu—dan menyebut
mereka sebagai “pengkhianat”. Ia lalu menjawab: “karena mereka memecah kesatuan
untuk menghadapi Barat”—sehingga “merongrong” Soekarno. Apa yang dituturkan
lalu menjadi keniscayaan bahwa kekuasaan selalu dijustifikasi demi sebuah
pembelaan. Padahal, kita mesti tahu, radikalisme atas nama kekuasaan boleh jadi
bakal memicu suatu haluan sikap yang, di masa kini, sulit dimengerti. Karena
itu, wajar bila anggapan bahwa mazhab Manikebu menyalahi spirit kebudayaan,
seperti disebut Pram, sama membingungkannya dengan anggapan bahwa, sebuah
kelompok yang berbeda pandangan mesti dihabisi secara radikal—entah lewat
pertarungan politis atau semacamnya.
Saya
kira, potret radikalisme estetika kiri cukup menghunjam pada dua tataran sekaligus:
pada tingkat diskursus dan realitas historis. Pada dataran wacana, radikalisme
estetika kiri tercermin dari penolakannya atas humanisme borjuis, yang cuma
mengekor selera borjuasi tanpa berani memilah bahwa rakyat juga punya selera.
Di sinilah, politik “rasa” (taste)
memainkan perannya. Secara kasuistik, upaya Lekra dan sejumlah mazhab estetik
kiri di Nusantara untuk menggusur “kaum kontrarevolusioner”, justru dilakukan
awal kali melalui perdebatan dan polemik pada tataran wacana. Para pendukung
estetika kiri menyerang humanisme universal, karena berdalih bahwa humanisme
memiliki latar belakang sosialnya sendiri: ia tak pernah berada dalam
integralitas, karena sifatnya partikularistik dan tergantung pada kontsruk
sosial. Maka, ketika muncul klaim universalisme, serta-merta estetika kiri
menolak mentah.
Sedangkan,
dari jalur kedua, estetika kiri berhasil menggerakkan sebuah great movement, yang di Indonesia
benar-benar menyerupai semacam adegan menegangkan (“pembabatan total”—dalam
bahasa Pram) antara pemelopor sastra politis dan non-politis. Kutipan Pram,
yang diperolehnya dari Maxim Gorky: “if
the enemy does not surrender, he must destroyed”, bahwa sastra yang tak
mengalah untuk diperbudak politik harus dimusnahkan, memang mencetuskan sikap
antitesis: sastra yang tunduk pada kekerasan. Di sinilah, humanisme sosialis
yang dikoarkan Pram menjadi gaung kosong yang tak berarti. Dan, jangan lupa,
sikap humanitarianistik Pram, lewat tokoh Minke dalam roman-roman kesohornya
itu, justru bertolak belakang dengan praksis yang dianut Pram: bahwa tak semua
humanisme benar. Ada kriteria dan karakter yang membedakannya.
Nah,
masalahnya kemudian: dengan sejumlah alasan di atas, pantaskah kita mengkaji
kembali posisi estetika kiri di kancah sastra Indonesia kontemporer? Saya
melihat, momen-momen historis antara Manikebu dan Manipol tetap menggurat dalam
akar kesadaran kita. Itu artinya, melupakan sejarah adalah sesuatu yang tak
mungkin—karena kita selalu terjepit di bawah bayang-bayang ideologi pasar yang
acap dehumanistik: kapitalisme. Di saat-saat inilah, estetika kiri jadi tawaran
bagus untuk memecah kebuntuan sistem mekanis “pasar”, yang membuat kita
linglung: jangan-jangan pikiran kita sedang digiring untuk mencintai iklan dan
mengonsumsi permen karet.
Kiri: Mencari Oase Segar
Saya sempat membayangkan: bila tahun 1950-60-an adalah era pergulatan dan resistensi antara dua mazhab sastra, maka di era 1970-an ke belakang, resistensi itu surut, dan justru mengangkat sastrawan Manikebu ke puncak perkembangan sastra. Berbalik dengan itu, sastrawan kiri mengalami masa penantian yang pedih dan pahit—tapi mereka tabah. Bagi mereka, yang penting: larangan penguasa untuk berkarya tidak menghalangi inspirasi dalam melancarkan kritik dan counter-hegemony kekuasaan. Dan, bukankah kita tahu, kekuasaan, di era Orba, begitu kokoh mencengkeram sendi kehidupan, termasuk dengan diluncurkannya sistem ekonomi “pembangunan” (developmentalism) yang ambisius? Estetika kiri, dalam tiga dekade terakhir, memang tak ubahnya hantu yang mengganggu penguasa. Tapi, bukan berarti tanpa pesona. Di tahun 1980, novel Pram, Bumi Manusia, terbit—dan segera publik mengetahui bahwa pengarangnya bukan orang sembarang. Malah, seperti pengakuan Ignas Kleden, di Jerman orang dengan bangga berkata: “Pramoedya ist ein Begriff”—Pramoedya bukan sekadar nama, tetapi sebuah pengertian: konsepsi (Tempo, 10/5/1999).
Saya sempat membayangkan: bila tahun 1950-60-an adalah era pergulatan dan resistensi antara dua mazhab sastra, maka di era 1970-an ke belakang, resistensi itu surut, dan justru mengangkat sastrawan Manikebu ke puncak perkembangan sastra. Berbalik dengan itu, sastrawan kiri mengalami masa penantian yang pedih dan pahit—tapi mereka tabah. Bagi mereka, yang penting: larangan penguasa untuk berkarya tidak menghalangi inspirasi dalam melancarkan kritik dan counter-hegemony kekuasaan. Dan, bukankah kita tahu, kekuasaan, di era Orba, begitu kokoh mencengkeram sendi kehidupan, termasuk dengan diluncurkannya sistem ekonomi “pembangunan” (developmentalism) yang ambisius? Estetika kiri, dalam tiga dekade terakhir, memang tak ubahnya hantu yang mengganggu penguasa. Tapi, bukan berarti tanpa pesona. Di tahun 1980, novel Pram, Bumi Manusia, terbit—dan segera publik mengetahui bahwa pengarangnya bukan orang sembarang. Malah, seperti pengakuan Ignas Kleden, di Jerman orang dengan bangga berkata: “Pramoedya ist ein Begriff”—Pramoedya bukan sekadar nama, tetapi sebuah pengertian: konsepsi (Tempo, 10/5/1999).
Dan,
seperti kita sadari, estetika kiri juga berawal dari sebuah spirit kritisisme
pada kekuasaan. Jauh hari, sebelum Pram lahir, di tahun 1846, Marx menulis buku
German Ideology, dan di sana ia
dengan apik mempersoalkan fungsi seni dalam masyarakat yang digerogoti
kapitalisme. Kehidupan kapitalistik telah menciptakan sebuah harapan dan
pengandaian akan tergapainya modernisme, namun dengan latar belakang industrial
yang megah. Tapi, masalahnya: kapitalisme juga berandil besar menjebak
masyarakat borjuis dalam kenikmatan material, yang menjauhkan mereka dari
aktivitas estetik, yaitu merenung dan menghayati karya seni secara par excellence. Estetika justru dimodifikasi
agar sesuai dengan kebutuhan produksi dan pabrik: dan di sanalah seni dibeli.
Marx lalu menyimpulkan: estetik yang lahir dari rahim kapitalisme, sarat dengan
kepalsuan yang ditutup-tutupi, namun tak pernah meyakinkan.
Konsep
itu kemudian dipakai Marx untuk mengungkap tendensi-tendensi karya sastra. Marx
sempat menganilisis novel Eugene Sue, Les
Mysteres de Paris, yang disebutnya merepresentasikan motivasi prasangka
ideologis kaum borjuis. Dan dia lalu berharap, seandainya dekonstruksi ini bisa
terus dilakukan, bukan tak mustahil masyarakat utopis yang diidamkan terwujud:
yang menikmati seni sebagai basis membangun kesadaran kritis dan mengukuhkan
estetika yang membawa manusia ke dalam labirin eksistensial dan penemuan
hakikat kedirian.
Kritik
seni Marxian mungkin bisa diukur dari sejauh mana konsepsi Marx mempengaruhi
pemikir sesudahnya. Epistemologi yang dibangun Marx, bahwa seni (dan sastra)
mesti sejalan dengan struktur dan realitas sosial, merupakan benih awal
tumbuhnya aliran realisme sastra dalam psikologi Marxisme. Itu yang lalu
ditunjukkan dengan kehadiran Lukacs. Dalam bukunya yang bersejarah, History and Class Consciousness
(1919-22), Lukacs, dengan lantang, mempromosikan perlunya kesadaran massif
dalam membangun sejarah dan seni. Perlu menggalang aksi-aksi kolektif yang
mengarah pada pemahaman aktual realitas sosial, dan melihatnya dalam konteks
perjuangan melawan kapitalisme. Bagi Lukacs, hal ini harus disikapi sebagai
komitmen membongkar fetisisme estetik yang menumpulkan semangat kritis dalam
seni dan sastra. Lewat realisme, sastra diajak memasuk ruang hingar-bingar
pabrik dan, demikian pula, realitas sosial yang pahit. Ia harus merefleksi. Di
sini, estetika berfungsi dalam dua area: mental-kognitif dan sosial-reaktif.
Dari kedua pola fungsi ini, estetika kiri mengalami pencapaiannya justru pada
wilayah mental-kognitif. Sebab, inilah yang kelak meretas jalan menuju wacana
kritik kapitalisme dan peneguhan humanisasi dari serbuan komoditas yang
materialistik.
Saya
menilai, kebutuhan untuk membicarakan realisme di masa kini, terletak pada
kenyataan bahwa kita belum mempunyai pisau kritik yang tajam, untuk membedah
ketimpangan sosial selama ini, kecuali lewat tawaran-tawaran Marxian itu.
Karenanya, menjadi wajar bila konsep-konsep Lukacs masih laku di “pasaran”
sastra dewasa ini. Pada tingkat wacana itu, estetika kiri menyumbang besar bagi
terbentuknya sikap partisipatoris sastrawan dalam relasinya bersama dunia. Ia
ikut merasa bahwa sastra bukanlah “menara gading” yang sepi dari realitas sosial—karena
perubahan dan transformasi sosial adalah nuansa yang juga melibatkan sastra.
Kalau
ini dipahami betul, kita tak akan pernah khawatir estetika kiri terjatuh dalam
radikalisme. Mengapa? Alasan utamanya: bahwa radikalisme estetika kiri
sebenarnya dipicu oleh praktik dan interpretasi berlebihan terhadap konsep seni
Marxian. Artinya, selama masih konseptual, estetika kiri tak berpretensi pada
sikap radikal—alih-alih mendorong kita untuk selalu kritis menghadapi kekuasaan
dan dominasi. Lebih-lebih, di zaman sekarang.
Dan,
tak ada yang perlu ditakutkan atas estetika kiri. Memang, kita menyadari,
mewujudkan “kiri” dalam artian sesungguhnya, adalah barang langka, setelah
ambruknya komunisme di Soviet dan kemunculan “Kiri-Baru” (New Left), yang agak
persis dengan gagasan “Post-Marxism”. Sejumlah pemikir pasca-Lukacs, yang hidup
dua puluh tahun kemudian—Theodor W Adorno, Max Horkheimer, Walter
Benjamin—harus diakui, membawa estetika kiri ke arah yang tak terduga:
pembebasan seni dari konformisme dunia industri. Kendati Adorno dan Benjamin
tak sepakat untuk mempertahankan seni dari politik, toh keduanya cukup
realistis: melihat industrialisme sebagai realitas tak terpungkiri.
Namun,
dari sana, kita pun tetap disuguhi kritik bahwa kapitalisme, bahkan dalam bentuk
paling demokratis (ingat teori Novak tentang democratic capitalism), tak pernah sejalan dengan substansi
seni-sastra sebagai estetika otonom yang menolak komodifikasi. Itu artinya,
kapitalisme cuma mereduksi dan membunuh kreativitas seniman untuk menyalurkan
hasratnya menurut pertimbangan akal sehat—dan bukannya semata pemenuhan materi.
Karena itu, watak kapitalistik bakal terus menguasai dunia, kalau kita
membiarkan seni-sastra terjerat dalam sirkulasi pasar, tempat pelbagai libido
ekonomi menanamkan investasinya. Kritik “Neo-Kiri”—juga Derrida dan
Habermas—berada dalam kerangka ini.
Antara Kritik dan Radikalisme: Kiri sebagai
Refleksi
Menjadi “kiri”, kini, tak lagi seheroik dulu. Dalam dunia yang tergagap dengan sekian kemajuan teknologi yang menakjubkan, manusia seolah disihir untuk berebut secercah kebanggaan dari tangan mesin. Kenyataan bahwa kapitalisme digerakkan tenaga mesin, dengan sendirinya menohok jantung eksistensial umat manusia, yang tak rela dirinya kehilangan jati-diri. Karena itu, rasionalitas teknologi yang disokong kapitalisme, kata Herbert Marcuse dalam One-Dimensional Man, hanya menawarkan kebutuhan-kebutuhan palsu (false need), yang ironisnya digemari manusia modern.
Menjadi “kiri”, kini, tak lagi seheroik dulu. Dalam dunia yang tergagap dengan sekian kemajuan teknologi yang menakjubkan, manusia seolah disihir untuk berebut secercah kebanggaan dari tangan mesin. Kenyataan bahwa kapitalisme digerakkan tenaga mesin, dengan sendirinya menohok jantung eksistensial umat manusia, yang tak rela dirinya kehilangan jati-diri. Karena itu, rasionalitas teknologi yang disokong kapitalisme, kata Herbert Marcuse dalam One-Dimensional Man, hanya menawarkan kebutuhan-kebutuhan palsu (false need), yang ironisnya digemari manusia modern.
Kritik
Marcuse itu harus ditempatkan sebagaimana layaknya pemikir estetik kiri lainnya
berbicara. Fungsi kritik yang dilontarkan penganut estetika kiri kini menemui
signifikansinya, terutama untuk menggarap kritik sosial dan protes kekuasaan.
Ambil misal, seseorang belum tentu berhasil bersikap subversif pada penguasa, kalau
ia tidak pernah belajar realisme Bertolt Brecht, dan mencobanya di antara
sekian kepungan realitas sosial yang sewenang-wenang. Lewat realisme, yang
“kiri” ini, kesempatan untuk menyuarakan kepedihan sosial akan lebih terasa,
sebab dari sinilah, proses pembelajaran dan penghayatan mendalam atas realitas
menjadi bagian inheren dalam seni dan sastra. Dan, saya menjamin, selama kritik
sosial itu berlangsung menurut konsep-konsep yang digariskan pemikir estetik
kiri tadi—terutama Lukacs—seseorang tak perlu takut estetika kiri mengejawantah
menjadi radikalisasi, yang ujung-ujungnya menyebabkan terjadinya fragmentasi
kebudayaan, seperti pada kasus kontra-Manikebu di atas.
Berangkat
dari kutipan Gorky, seperti diikuti Pram, saya punya kesimpulan bahwa interpretasi
dan konteks sosial-politik seorang sastrawanlah yang berperan dalam
radikalisasi kesenian. Dan, di Indonesia, Pram mungkin sosok penafsir realisme
sosialis—kendati mengaku tak paham benar—yang terperosok dalam kekalutan
suasana revolusi, dan ini justru membuatnya antipati terhadap kelompok seni
lainnya yang tak sependapat. Dengan kata lain, dalam keadaan tertentu, seorang
sastrawan berintegritas pun bukan tak mungkin gampang mengecap salah pihak
lain, dan menganggap dirinya benar (truth
claim)—dan karenanya menghilangkan arti sebuah kesantunan dan keberagaman.
Dan, seandainya Pram mau sedikit bersabar memahami estetika kiri secara utuh
dan menyeluruh, tentu ia tak akan terjebak dalam pandangan hitam-putih, yang
akhirnya menyudutkan dia dalam stigma dan luka sejarah.
Di
antara kritik sosial dan radikalisme praksis, dua fenomena yang identik dengan
perjalanan estetika kiri di panggung sejarah, tersimpan kearifan: agar kita mau
melihat estetika kiri sebagai wujud dari visi bahwa seni adalah pembebasan (the art of redemption), penyucian
eksistensial manusia dari cekaman alienasi dan keterasingan. Dengan begitu,
saya kira, kita telah mampu melangkahi tapakan sejarah yang pahit, dan
membangun masa depan yang lebih obyektif. Fragmentasi mazhab-mazhab kebudayaan,
dalam jangka waktu yang lama, seperti diakui Takdir Alisjahbana, harus tetap
mengikutsertakan seni dan sastra dalam reconstructie
arbeid, kerja pembangunan, rekonstruksi sosial, dan modernisasi masyarakat.
Bandul ambiguitas yang melilit dunia kebudayaan kita dalam lima dasawarsa
terakhir, memunculkan pertanyaan serius: benarkah “proyek” nasionalisme
kebudayaan yang kita banggakan benar-benar menyentuh aspek kemanusiaan?
Padahal, bukankah kemanusiaan (humanity/)
sebagai asas mendasar dalam kehidupan berbudaya, selama ini dipertaruhkan,
diperebutkan, dan dikoyak oleh perpecahan yang terjadi pada masa-masa revolusi
itu?
Saya
berpendapat, bukan saatnya estetika kiri dikucilkan dari wacana publik luas.
Apalagi, demokratisasi tengah menjalari kisi-kisi kehidupan sosial-politik, dan
post-modernisme kini berancang-ancang untuk menuai harapan: di masa ini,
rekonsiliasi dan pluralisme adalah upaya terakhir menyelamatkan muka estetika
kiri dari stigmatisasi, dan sebaliknya, estetika “kanan”—yang mengklaim bahwa seni
dan sastra lepas dari konstruk sosial—dari sikap apriori. Konvergensi dan
titik-temu adalah solusi terakhir yang masih tersisa, setidaknya bagi kita,
yang sehari-hari menikmati sastra tanpa reserve dan pergulatan. Dan, sejarah
masih tetap di sana, meski sarkasme dan kekerasan budaya telah sirna
Tidak ada komentar:
Posting Komentar