Jumat, 30 Januari 2015

PESANTREN DAN TRANSFORMASI GLOBAL


Oleh
Z4inuddin


I.       Pendahuluan
Sudah menjadi rahasia umum bahwa pelaksanaan pendidikan di Indonesia adalah merupakan tanggung jawab seluruh komponen bangsa. Masyarakat harus ikut terlibat dalam upaya menghidupkan kecerdasan bangsa ini, tidak hanya dari segi materi dan moril saja, namun masyarakat juga harus mampu memberikan sumbangsih yang signifikan dalam penyelenggaraan pendidikan. Tujuan semacam inilah yang kemudian memberikan roh-dasar bagi berdirinya lembaga-lembaga pendidikan, baik negeri maupun swasta, sebagai wujud dari penyelenggaraan pendidikan masyarakat.
Salah satu lembaga pendidikan yang hendak dibahas dalam tulisan ini adalah pesantren yang merupakan Indonesian Indeginous Culture dan Indonesian Indeginous System of Education, yang hanya ada di Indonesia dan tidak di negara lain.

II.    Pesantren: Perjalanan Historis
Lembaga Pendidikan Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua khas Indonesia yang secara khusus menitik-beratkan pada pendidikan agama Islam dalam segala aspeknya. Awal berdirinya pendidikan Pesantren hampir dapat dipastikan sejalan dengan masuknya Agama Islam dan penyebaran Islam di Indonesia atau sekitar 600 tahun yang lalu.

Pesantren juga memposisikan dirinya sebagai kekuatan moral dan tempat masyarakat bertanya, berkonsultasi, meminta nasehat dan do’a didalam memecahkan berbagai problem kehidupan yang dihadapi, baik dalam rangka bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Disisi lain, Pesantren juga berfungsi sebagai tempat berlindungnya masyarakat ketika terancam, terkena musibah dan ketika tidak dapat memecahkan problem yang dihadapi.
Dalam perjalanannya, ternyata Pesantren tidak hanya membatasi dirinya mendidik masyarakat, tapi banyak pula menangani berbagai hal yang berkaitan dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakatnya. Di zaman sebelum penjajahan Belanda, Pesantren lebih menitik-beratkan sebagai pusat penyebaran Islam dan tempat mendidik/mencerdaskan masyarakat. Pada zaman penjajahan ini pula, Pesantren tidak hanya melakukan kegiatan mendidik masyarakat, tapi juga berperan sebagai tempat berlatih, berhimpun dan berlindungnya para pejuang serta bersama-sama pejuang melawan dan mengusir penjajah dari Bumi Nusantara, guna mencapai kemerdekaan dan demi mempertahankan tegaknya Agama Islam, menjaga keutuhan dan keselamatan Ummat Islam dari kezaliman penjajah.
Di zaman kemerdekaan, peran dan kontribusi pesantren sebagai kekuatan moral sangat besar didalam mengisi kemerdekaan melalui kegiataan pendidikan guna mencerdaskan masyarakat, disamping berperan juga sebagai Motivator, Mediator, Katalisator, dan Stabilisator Pembangunan di dalam membantu suksesnya program-program pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Bahkan di era reformasi ini, banyak aktifis Pesantren yang ambil bagian dalam kegiatan, Politik Praktis mengisi jabatan di Eksekutif dan Legislatif.
Mukernas V RMI (Rabithah al-Ma’hadiyah al-Islamiyah) No. 03/Mukernas V/1996  meneguhkan komitmen eksistensi pesantren sebagai berikut,
  1. Bahwa pada dasarnya pondok pesantren adalah lembaga tafaqquh fid-din, yang mengemban misi meneruskan risalah Nabi Muhammad SAW. sekaligus melestarikan ajaran Islam yang berhaluan Ahlu as-Sunnah wal al-Jama’ah ’ala Thariqoh Madzahib al-Arba’ah.
  2. Bahwa berdasarkan sejarahnya, pondok pesantren sesungguhnya mempunyai tiga peran dan fungsi yang dilaksanakan secara serentak  dengan dijiwai watak kemandirian dan semangat kejuangan, yakni:
a.      Sebagai lembaga pendidikan dan pengembangan ajaran Islam, pondok pesantren ikut bertanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mempersiapkan sumber daya manusia Indonesia yang memiliki ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang handal, serta dilandasi dengan iman dan takwa yang kokoh.
b.      Sebagai lembaga perjuangan dan dakwah Islamiyah, bertanggung jawab mensyi’arkan agama Allah dalam rangka izzul Islam wa al-muslimien sekaligus ikut berpartisipasi aktif dalam membina kehidupan ummat beragama serta meningkatkan kerukunan antar ummat beragama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
c.       Sebagai lembaga pemberdayaan dan pengabdian masyarakat, pondok pesantren berkewajiban mendarma-baktikan peran, fungsi dan potensi yang dimilikinya guna memperbaiki kehidupan serta memperkokoh pilar-pilar eksistensi masyarakat Indonesia yang adil, beradab, sejahtera, dan demokratis, berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

Berdasarkan alur sejarahnya, tujuan konkret berdirinya pesantren dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori berikut, (1) Menyiapkan santri mendalami dan menguasai ilmu agama Islam atau lebih dikenal (Muttafaquh fiddien). Dengan tujuan ini, pesantren berharap agar santri dapat menjadi kader-kader ulama yang turut ikut serta dalam mencerdaskan bangsa Indonesia. (2) Mendakwahkan dan menyebarluaskan agama Islam. Karena, para santri diyakini oleh masyarakat sudah mempunyai bekal keagamaan. Jadi, dengan tujuan ini pesantren berharap agar santri dapat mengamalkan ilmu yang ia dapat dari pesantren dan mendakwahkan serta menyebarluaskan agama Islam atas kemampuan santri itu sendiri. (3) Sebagai benteng pertahanan umat dalam bidang akhlak. Sejalan dengan hal inilah, materi yang diajarkan di pondok pesantren semua terdiri dari materi agama yang langsung digali dari kitab-kitab klasik yang berbahasa Arab. (4) Berupaya mengembangkan dan meningkatkan pengembangan masyarakat di berbagai sektor kehidupan.

III. Transformasi Global
Proses transformasi global yang dipicu oleh kekuatan sains, teknologi, informasi, dan transportasi, serta dengan akan diberlakukannya pasar bebas (free market) telah membawa dampak yang sangat luas terhadap wacana kehidupan masyarakat. Perubahan sosial yang terjadi selama ini telah menyentuh berbagai bidang kehidupan masyarakat, terutama masuknya nilai-nilai dan paradigma Barat ke dalam negara-negara berkembang telah mempengaruhi konstalasi teologis masyarakat yang dulunya taat beribadah menjadi masyarakat yang jauh dari nilai-nilai agama. Hal ini sangat berlawanan arah dengan norma dan pedoman tingkah laku bangsa Indonesia yang secara sosio-historis merupakan pemeluk agama yang taat.
Penetrasi budaya yang sarat dengan nilai-nilai Barat telah menjadikan arus informasi menjadi satu arah, dimana dalam kenyataannya, gagasan-gagasan yang ditelurkan mudah diomongkan ketimbang direalisasikan. Sehingga para penghuni dunia ketiga hanya dibanjiri informasi searah yaitu dari Barat, kemudian kesan yang didapat dari fenomena ini adalah bahwa dunia ketiga merupakan dunia yang penuh dengan kekerasan, kelaparan dan kebodohan. Sedangkan dunia Barat adalah dunia yang gemerlap, beradab, mewah, dan terpelajar. Seolah-olah keberadaan dunia ketiga telah berada dalam kendali dan cengkeraman tangan-tangan Barat. Hal ini terbukti dengan sikap pemerintah yang selalu bergantung kepada bantuan IMF yang dikendalikan oleh orang-orang Eropa.
Globalisasi yang menggelinding telah menampilkan corak hubungan antara negara-negara maju dan negara berkembang yang masih ditandai oleh polarisasi kuat-lemah (superior-inferior). Hal ini bisa menyebabkan terjadinya transformasi budaya yang timpang, sehingga pada akhirnya menimbulkan ”keterkejutan budaya” (cultural shock) terhadap bangsa yang lemah ketahanan budayanya. Sebagai dampaknya, bangsa tersebut mengalami kegamangan budaya yang kemudian terjebak ke dalam persepsi menghebatkan budaya bangsa lain khususnya Barat.

IV. Transformasi Moral: Ikhtiar Resistensif atas Dampak Globalisasi
Dapat ditarik beberapa point penting yang harus mendapat perhatian lebih banyak, mengingat efek industrialisasi dan globalisasi terhadap budaya masyarakat, yaitu:
  1. Pemberdayaan.
Perubahan masyarakat agraris menjadi masyarakat industri akan menimbulkan – paling tidak – beberapa krisis dalam masyarakat, diantaranya: pertama, perasaan tertinggal atau tersisih karena tidak dapat mengikuti perubahan; kedua, perasaan tidak mendapat tempat dalam tatanan sosial; dan ketiga, perasaan kehilangan pegangan dan identitas. Akibatnya, masyarakat dengan sendirinya akan menjadi manusia-manusia dengan watak individualisme, konsumerisme dan sekulerisme yang pada hakikatnya tidak sesuai dengan tradisi dan tata nilai budaya masyarakat ketimuran.
Perubahan adalah satu unsur budaya. Perubahan adalah implikasi logis dan konsekuensi praktis dari “kreativitas”. Dan jika ini dipremiskan menjadi demikian, tanpa ada kreatifitas, tidak ada perubahan. Al-Qur’an menginformasikan kepada kita bahwa manusia diberi peluang yang amat longgar untuk menciptakan perubahan-perubahan bagi mereka.
Pembangunan yang kita harapkan bisa kita lakukan mulai sekarang dan tidak boleh ditunda-tunda lagi ialah perubahan yang menjurus kepada reformasi, perbaikan yang dikenal dalam Bahasa Arab dengan istilah Al-Ishlah (ÇáĹŐáÇÍ ) yang sesungguhnya merupakan inti misi para Rasul. Dalil ayat Al-Qur'an :
Ĺä ĂŃíĎ ĹáÇ ÇáĹŐáÇÍ ăÇ ÇÓĘŘÚĘ ćăÇ ĘćÝíŢí ĹáÇ ČÇááĺ Úáíĺ ĘćßáĘ ćĹáíĺ ĂäíČ (ÇáĺćĎ :88)
Karenanya, pemberdayaan masyarakat disini diarahkan pada proses penanaman dan penghayatan iman dan takwa oleh masing-masing individu dan kelompok masyarakat disamping penciptaan kemampuan hidup (life skill) masyarakat dalam merespon dampak-dampat riil industrialisasi tersebut.
   
  1. Pendidikan.
Rasulullah pernah bersabda bahwa kejayaan dunia hanya dengan ilmu, kejayaan akhirat hanya dengan ilmu dan kejayaan dunia dan akhirat sekaligus juga dengan ilmu. Karenanya, pendidikan sebagai latar-depan gerak maju sebuah peradaban umat manusia haruslah benar-benar digalakkan demi terciptanya sebuah komunitas manusia yang capable dan akseptable.
Dalam upaya pendidikan, disamping pengokohan dan pendalaman akidah akhlak karimah (iman dan takwa), hendaknya masyarakat juga diarahkan pada aspek penguasaan tekhnologi dan informasi. Upaya ini diharapkan mampu menjadi daya filterisasi atas setiap budaya yang masuk yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama dan etika kultural kita.
Konkretnya, beberapa upaya konkret yang dapat dilakukan diantaranya:
a.      Meningkatkan kesadaran terhadap pentingnya pendidikan anak usia sekolah baik di lingkungan sekolah, madrasah maupun pesantren agar bisa mengejar ketinggalan dalam bidang yang amat fatal ini. Dan memberikan dukungan moral-materiil sepenuhnya bagi lembaga pendidikan yang ada, terutama pesantren, agar bisa meningkatkan kemampuan dan kapabilitasnya dalam melaksanakan misi sucinya.
b.      Menyiapkan sarana dan prasarana pelatihan dan lembaga pendidikan kejuruan di setiap kabupaten serta meningkatkan kualitas kinerja yang ada sesuai dengan tuntutan proyek yang yang direncanakan.
c.       Perlunya diintensifkan usaha peningkatan kemampuan leadership dan manajemen pelaku pembangunan dari berbagai sektor sehingga bisa mengantisipasi persaingan global dan era ekonomi bebas dengan tetap mempertahankan jati diri yang agamis dan mulia berlandaskan Iman dan Taqwa.

Beberapa tawaran diatas memang-lah harus menjadi agenda penting sebuah pesantren yang nota bene-nya sebagai Indonesian Indeginous System of Education, dengan peran aktifnya sebagai motivator, innovator dan dinamisator masyarakat pasca kemerdekaan Indonesia dan gerakan pembangunan yang berkesinambungan.



V.    Penutup
Dengan beberapa tawaran ini, agaknya pesantren masih harus berjuang serius untuk mampu memberikan respon yang tepat terhadap dampak-dampak global. Akan tetapi, upaya itu semua akan terasa sangatlah lambat jika tidak ada bantuan dan dukungan dari semua pihak. Semoga tawaran-tawaran dapat membantu  pesantren menemukan ruang yang cukup cerah untuk menatap dan memaknai masa depannya dengan baik dan benar. Amien ya rabbal ‘alamien.


REFERENSI

Din Syamsuddin, Agenda Perkembangan SDM menghadapi tantangan Abad 21: Peran Generasi Muda Islam, makalah disampaikan dalam peringatan kesyukuran 45 tahun Al-Amien Prenduan, 27 Desember 1996.
H. M. Irsjad Djaweli, Pembaruan Kembali Pendidikan Islam, dalam Ali Nurdin dan Herman Fauzi (ed.), (Jakarta: Yayasan Karsa Utama Mandiri dan Pengurus Besar Mathla’ul Anwar, 1998)
Jalaluddin Rahmat, Generasi Muda di Tengah Arus Perkembangan Informasi, dalam Idy Subandi Ibrahiem (ed.), Ecstacy Gaya Hidup, (Jakarta: Mizan, 1997).
Sutomo Djokosujoso, Aktualisasi Pendidikan Islam dalam Era PJPT II, makalah disampaikan dalam seminar sehari di TMI Al-Amien Prenduan, 25 Juli 1993.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar