Al-Tanwir
No.
194 - Edisi: 12 Juli 2001/22 Jumadil Awwal 1422 H
Ust.
Miftah Fauzi Rakhmat
Alkisah,
suatu masa, ketika zaman tak bermakna. Tuhan ciptakan alam semesta. Di
‘Arasy-Nya yang agung, jutaan malaikat bertasbih, memuja, dan mensucikan-Nya, “Subhâna
man azharal jamîl wa sataral qabîh. Mahasuci Dia yang menampakkan yang
indah dan menyembunyikan yang buruk.” Begitu terdengar para malaikat
mengulang-ulang kalimat suci. Allah, Allah, Allah.
Begitulah,
hingga tiba suatu saat, ketika waktu belum terungkap. Tuhan yang Mahamulia,
berkata pada para malaikat-Nya, “Akan Aku jadikan seorang khalifah di muka
bumi.” Serentak malaikat bertanya, “Tuhanku, akankah Kaujadikan di sana,
seorang makhluk yang berbuat keji, yang menganiaya dirinya dan menumpahkan
darah sesamanya? Padahal kami memuliakan-Mu, memuji-Mu dan mensucikan-Mu?” Maka
Tuhan berkata, “Aku lebih mengetahui dari apa yang kalian tidak mengetahuinya.”
Maka
diciptalah makhluk bumi pewaris khalifah Ilahiah. Ialah manusia yang pertama.
Tuhan memanggilnya Adam. Dihadapkannya ia pada para malaikat. Tuhan Yang
Mahaagung berkata, “Malaikatku, ungkapkan pada-Ku, rahasia-rahasia nama.”
Malaikat tunduk dan berkata, “Mahasuci
Engkau Tuhan kami, tidak kami ketahui
apa pun melainkan pada Engkau seluruh ilmunya.” Lalu Tuhan berkata pada Adam,
“Wahai Adam, tunjukkan pada malaikat-Ku, rahasia nama yang engkau ketahui.”
Maka Adam pun menyebutkan rahasia nama yang telah Tuhan ajarkan kepadanya.
Seketika itu juga, setelah Adam selesai bercerita, Tuhan Yang Mahakasih,
berkata, “Wahai malaikat-Ku, tunduk dan sujudlah kalian kepada Adam.” Serentak
para malaikat, yang telah menyembah Tuhan ribuan tahun lamanya, yang telah
menghabiskan usia dalam ketakwaan dan kesucian, yang telah dekat kedudukannya,
sehingga sampai di ‘Arasy Tuhan, sujud dan tunduk pada makhluk baru penghuni
alam, yang dicipta dari tanah, manusia pertama; Adam ‘alaihis salâm.
Mahasuci
Allah. Segala yang dikehendaki-Nya terjadilah. Makhluk yang dicipta dari tanah,
kini menjadi khalifah. Makhluk yang mengetahui rahasia Tuhan menjadikan
malaikat sujud kepadanya. Apakah gerangan rahasia yang diungkap Adam, hingga
menjadikannya begitu mulia, bahkan di hadapan para malaikat sekalipun?
Zamakhsyari, Jalaluddin Al-Suyuthi dan Fakhr Al-Razi, tiga orang ulama besar
abad pertengahan, menulis dalam tafsir mereka: Nama yang diungkap Adam adalah
nama orang-orang suci yang kemudian dilahirkan dari keturunannya. Merekalah
Muhammad, Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain. Lima orang suci keturunan Adam ‘alaihimus
salâm.
Tetapi
ternyata ada yang abai. Di antara malaikat ada yang lalai, dengan sengaja
berani membangkang Tuhan. Ialah Iblis. Manakala Tuhan Yang Esa memerintahkan
malaikat untuk sujud pada manusia pertama. Iblis dengan angkuh berkata,
“Tuhanku, Kau suruh aku sujud kepadanya, sedangkan ia terbuat dari tanah,
sementara aku Kau ciptakan dari api. Tidak akan sekalipun aku sujud kepadanya!”
Maka terusirlah iblis dari naungan ‘Arasy Allah. Ia, yang beribadah kepada
Tuhan selama ribuan tahun, karena pembangkangan atas perintah Ilahiah, jatuh,
dari malaikat jadi makhluk yang paling dilaknat. Bukankah ini pelajaran bagi
manusia, yang diangkat Tuhan jadi khalifah-Nya dibumi. Karena satu
pembangkangan, Iblis terusir dari surga Tuhan. Karena berkata “Tidak!” pada
perintah Tuhan, ia menjadi celaan sepanjang zaman.
Namun
Iblis berhati baja. Ia terima hukuman Tuhan. Dengan congkak, lagi-lagi ia
berkata, “Tuhanku, penuhi permintaanku. Panjangkan usiaku, hingga hari semua
anak Adam kembali kepada-Mu. Akan aku palingkan mereka dari sisi-Mu. Akan aku
goda mereka dari ibadah kepada-Mu. Akan aku goyangkan keimanan mereka. Akan aku
tiupkan prasangka dan bisik dosa.” Tuhan Maha Pengampun berkata, “Aku penuhi
keinginanmu. Kau akan kekal hingga hari mereka dibangkitkan.”
Bukankah
ada pelajaran bagi manusia. Tuhan, Yang Disanjung dan Dipuja, mengabulkan
permohonan seorang makhluk yang paling terkutuk. Ia menjawab permintaan hamba
yang terusir, yang lalai, abai, membangkang dan kufur. Maka apalagi bagi
manusia; sang khalifah Tuhan di muka bumi. Ia boleh lalai, ia mungkin abai. Ia
lupa dan tenggelam dalam dosa. Tapi Tuhan Sang Maha Kekasih, tidak akan pernah
meninggalkannya.
Tuhanlah
yang berulang kali menyeru kedekatan-Nya pada hamba-Nya. Dialah yang tak
henti-henti merindukan kembali hamba kepada-Nya.
***
Kemudian
diciptalah bagi Adam seorang Hawa, pasangan untuk menemaninya dalam ibadah dan
doa. “Sejahteralah kamu bersamanya,” firman Tuhan Yang Esa. Adam adalah bapak
manusia. Tuhan ciptakan baginya bumi dengan segala yang ada di atasnya—samudera
luas, bukit tinggi, rimba belantara—untuk kebahagiaan Adam dan anak cucunya,
untuk kebahagiaan umat manusia. Diedarkan Allah mentari, rembulan, dan
gemintang; diturunkan-Nya hujan, ditumbuhkan-Nya pepohonan, dan disirami-Nya
tetanaman; semuanya untuk kebahagiaan manusia.
Tetapi
Tuhan Yang Mahatahu, memberikan lebih daripada itu. Diketahuinya getar dada kerinduan
hati. Tuhan tahu, betapa sering kita memerlukan seseorang yang mau mendengar,
bukan saja kata yang diucapkan; melainkan juga jeritan hati yang tidak
terungkapkan; yang mau menerima segala perasaan—tanpa pura-pura, prasangka dan
pamrih. Karena itu, diciptakannya seorang kekasih. Tuhan tahu, pada saat kita
diharu-biru, dihempas ombak, diguncang badai, dan dilanda duka, kita memerlukan
seseorang yang mampu meniupkan kedamaian, mengobati luka, menopang tubuh lemah,
dan memperkuat hati—tanpa pura-pura, prasangka dan pamrih. Karena itu,
diciptakannya seorang kekasih. Tuhan tahu, kadang-kadang kita berdiri
sendirian, lantaran keyakinan atau mengejar impian. Kita memerlukan seseorang
yang bersedia berdiri di samping kita—tanpa pura-pura, prasangka dan pamrih.
Karena itu, diciptakannya seorang kekasih.
Maka
demikianlah tercipta Hawa bagi Adam. Kekasih untuk menemaninya dalam suka dan
duka, dalam ujian dan impian. Bagi pasangan insan pertama, Tuhan berikan
kenikmatan surga. “Makan dan minumlah dari apa yang tersedia. Asal jangan
kalian dekati pohon di sana, supaya kalian tidak termasuk orang yang menzalimi
dirinya,” firman Tuhan pada mereka. Namun Iblis mulai berulah. Ia dekati
sepasang insan yang tengah dimabuk cinta. Pada Hawa ia bisikkan: pohon itu akan
membawa kalian pada keabadian cinta; “Pohon itu akan membuat kalian kekal di
taman ini.” Maka Hawa pun tergoda, maka Adam pun terlupa. Berdua mereka langgar
amanat Tuhan.
Bukankah
ada pelajaran bagi manusia, ketika mereka jatuh cinta, betapa sering hati, perasaan,
dan emosi, mengalahkan nalar, pikiran, dan logika.
Sungguh,
ada hikmah pada cerita-cerita manusia terdahulu….
***
Kisah
Adam berlanjut pada hikmah antara penciptaan manusia, Iblis, surga dan neraka:
Alkisah suatu masa, ketika manusia baru dicipta. Malaikat yang berjuta serentak
mengajukan tanya: Tuhan kami, akankah Kauciptakan di bumi, makhluk yang
berbuat nista, merusak dan menumpahkan darah? Padahal kami menyucikan-Mu,
menyembah-Mu dan memuji-Mu? Allah Yang Mahakasih berkata: Aku lebih mengetahui
apa-apa yang tidak kalian ketahui. (QS. Al-Baqarah; 30)
Ada
hikmah di balik setiap cerita. Allah Yang Mahakuasa membiarkan malaikat-Nya
bertanya. Allah Yang Mahasegala memberikan ruang untuk bicara. Dia yang bisa
melakukan apa saja, memanggil para malaikat untuk bersama-sama menyaksikan
sebuah awal dari sebuah kehidupan. Padahal Dia Mahasegala. Sekiranya Dia
kehendaki, Allah akan jadikan Adam tanpa harus mengajak malaikat bicara, atau
menghadapkan Adam pada mereka. Namun ada hikmah di balik setiap cerita.
Even
Angels Ask.
Bahkan para malaikat pun bertanya. Marilah kita bayangkan, marilah kita
terbangkan imajinasi kita pada pertemuan agung antara Allah dan para malaikat.
Malaikat yang sekian ribu tahun menyaksikan kebesaran Allah dan tak pernah
sekalipun meragukan kekuasaan-Nya, masih berani mempertanyakan “kebijakan”
Allah untuk menciptakan manusia sebagai khalifah-Nya. Tuhan Yang Mahakasih
memberikan petunjuk bagaimana seharusnya kita bersikap bahkan dengan mereka
yang keberadaannya sering kita abaikan. Betapa sering kita mengambil keputusan,
tanpa mempertimbangkan pendapat rekan dan kawan. Betapa banyak kita berbuat,
dengan mengesampingkan perasaan kerabat. Tak terhitung jumlah kita bergerak,
tanpa peduli keluarga dekat dan sanak.
Dalam
diskusi, betapa sering kita menutup diri: meyakini bahwa pendapat pribadilah
yang paling teruji. Betapa banyak kita menutup mata, bahwa masih ada yang
tersisa dari fakta. Tak terhitung jumlah kita berbicara tanpa memberi
kesempatan yang lain untuk bersuara. Even Angels Ask. Dalam sebuah
peristiwa mahadahsyat, Tuhan yang Mahaberbuat masih mengajak para malaikat-Nya
dalam sebuah pengambilan keputusan, yang akan mengubah roda sejarah alam
semesta. Bukankah pada hikmah itu, kita harus bercermin diri?
***
Ada
hikmah di balik setiap cerita. Alkisah, malaikat berkata pada Allah, seolah
mempertanyakan keputusan-Nya: Akankah Kaujadikan di muka bumi, makhluk yang
berbuat nista, merusak, dan saling menumpahkan darah? Apa yang menyebabkan
malaikat berkata demikian? Adakah ilmu yang Tuhan telah berikan pada mereka?
Ataukah pernah di bumi ini hidup makhluk yang berbuat nista, merusak, dan
saling menumpahkan darah?
Kisah
yang dimuat dalam Al-Quran ini membagi pendapat para ahli tafsir ke dalam dua.
Pertama, memang pernah ada makhluk yang tinggal di muka bumi ini sebelum Adam
diturunkan. Kita boleh menyebut makhluk itu apa saja: homo erektus, homo
sapiens, homo ludens, atau hanya sekadar binatang melata. Tapi mereka berbuat
nista, merusak, dan menumpahkan darah, sehingga bumi tak terkelola, dan Tuhan
azab mereka dengan segera, sehingga tak tersisa sedikitpun dari mereka. Kedua,
para malaikat diberi tahu dari pengetahuan Allah Yang Mahasempurna, bahwa suatu
saat, kelak di muka bumi, ada di antara keturunan Adam yang berbuat nista,
merusak, dan saling menumpahkan darah. Seolah sebuah garisan cerita dipaparkan
pada skenario pertama.
Bukankah
itu semestinya jadi peringatan bagi anak-anak Adam. Berbuat nista, merusak, dan
saling menumpahkan darah adalah perbuatan yang bukan saja bertentangan dengan
peribadatan untuk menyucikan, menyembah dan memuja Allah Swt. Tetapi juga
adalah perbuatan yang dengan itu azab Tuhan turun dengan cepat kepada kita. Di
bumi ini, hampir sulit tersisa, sepetak tanah, yang disitu darah suci tak
tertumpah. Di bumi ini, hampir sulit tersisa, akhlak manusia yang tidak
dibumbui nista. Di bumi ini, hampir sulit terasa, mencari manusia yang bukan
saja tidak merusak bumi, tetapi menjaganya.
Ada, ada
dan masih ada…sisa-sisa segelintir keturunan Adam yang dibanggakan Tuhan di
hadapan para malaikat-Nya. Lebih banyak dari keturunan Adam itu termasuk dalam
orang-orang yang berbuat nista, merusak, dan menumpahkan darah. Di manakah Anda
berpijak? Di tempat tercela yang segera mendatangkan amarah, siksa, dan murka?
Di sudut terpencil muka bumi untuk menyembunyikan diri dari perbuatan keji?
Apakah Anda berpijak pada golongan makhluk yang dikatakan malaikat sebagai
pembuat nista, kerusakan, dan penumpah darah? Ataukah Anda berdiri sebagai
segelintir akhir dari keturunan Adam yang masih layak Tuhan banggakan di
hadapan para malaikat-Nya? yang dengan itu Tuhan perintahkan para malaikat
untuk sujud pada-Nya? Yang selalu berbuat kebajikan, menjaga bumi, dan
menghormati kesucian darah manusia?
***
Ada
hikmah di balik setiap cerita. Alkisah ketika Adam dicipta, di hadapan malaikat
dan penghuni surga. Serentak Tuhan Yang Mahakasih memerintahkan para malaikat
untuk sujud pada Adam. Semua menaati perintah Ilahi, kecuali Iblis yang abai
dan keji. Iblis, jin yang beribadat menyembah Allah ribuan tahun, hingga sampai
derajat malaikat, harus terhempas dari kesucian, harus terusir dari kehormatan,
harus terdepak dari keagungan, karena abai dan membangkang perintah Tuhan.
Ketika pada Iblis, Tuhan bertanya: Apa gerangan yang membuatmu enggan untuk
sujud pada Adam? Iblis yang sudah terusir berkata: Tuhanku, Kauciptakan
dia dari tanah dan Kauciptakan dari api. Tentulah apa yang diciptakan dari api,
lebih utama dari apa yang diciptakan dari tanah.
Iblis
pun terusir. Para ulama menyebutkan sebab terusirnya Iblis adalah takabur:
memandang diri lebih utama dari yang lain. Karena itu, terlarang bagi kita
untuk memandang diri lebih terhormat dari yang lain. Entah itu karena derajat,
pangkat atau martabat. Entah itu karena silsilah, golongan darah, atau terah.
Semua manusia adalah sama di sisi Tuhan, kecuali karena ketakwaan dan
kesalihan. Tak berbeda orang Arab dan ‘Ajam kecuali karena iman dan takwa.
Adalah sama keturunan bangsawan dan budak belian, kecuali karena iman dan
takwa. Mereka yang memandang diri lebih dari yang lain, telah menyatakan diri
bergabung bersama kafilah Iblis, yang bersama-sama bergerak, menjauhi surga,
mengusir diri dari tempat kembali yang sempurna, menuju kehancuran, dan siksa
neraka.
Tapi ada
hikmah di balik setiap cerita. Iblis bukan saja terusir dari surga karena ia
memandang diri lebih utama. Tapi lebih dari itu, ia terusir dari hadirat Allah,
karena melalaikan perintah-Nya. Satu perintah saja untuk sujud. Satu kesempatan
sekali saja untuk meratakan dahi…itupun terlalu berat untuk Iblis penuhi.
Akibatnya, ia merana hingga hari manusia dibangkitkan. Ia terusir dari surga
hingga hari keabadian. Tidakkah kita merenung? Betapa sering perintah Tuhan
kita abaikan? Bukan saja perintah untuk sujud, meratakan dahi walau sekali?
Terlalu banyak sujud kita yang terbuang? Terlalu sering rukuk kita yang
menghilang? Betapa banyak kumandang adzan, betapa sedikit salat jamaah di
masjid Tuhan? Betapa besar harta terlimpah, betapa sulit zakat tercurah?
Betapa
sering kita bahagia, betapa sedikit kita berduka, betapa kecil rasa syukur
kita.
Akankah
kita menjadi pengikut di balik kafilah Iblis yang bergerak menuju neraka?
Ataukah
kita bertaubat dan mengagungkan setiap perintah Tuhan dan tidak pernah
mengecilkannya. Sesungguhnya sebesar-besarnya dosa adalah menganggap kecil
maksiat dan nista yang kita lakukan. (Bersambung)
Ditranskrip
dari program The Holyman Stories yang disiarkan Radio Ramako Magic
106.15 FM Jakarta, setiap Kamis Malam, pukul 20.30.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar