Jumat, 30 Januari 2015

Hikmah Kisah Adam


Al-Tanwir
No. 194 - Edisi: 12 Juli 2001/22 Jumadil Awwal 1422 H

Ust. Miftah Fauzi Rakhmat

Alkisah, suatu masa, ketika zaman tak bermakna. Tuhan ciptakan alam semesta. Di ‘Arasy-Nya yang agung, jutaan malaikat bertasbih, memuja, dan mensucikan-Nya, “Subhâna man azharal jamîl wa sataral qabîh. Mahasuci Dia yang menampakkan yang indah dan menyembunyikan yang buruk.” Begitu terdengar para malaikat mengulang-ulang kalimat suci. Allah, Allah, Allah.

Begitulah, hingga tiba suatu saat, ketika waktu belum terungkap. Tuhan yang Mahamulia, berkata pada para malaikat-Nya, “Akan Aku jadikan seorang khalifah di muka bumi.” Serentak malaikat bertanya, “Tuhanku, akankah Kaujadikan di sana, seorang makhluk yang berbuat keji, yang menganiaya dirinya dan menumpahkan darah sesamanya? Padahal kami memuliakan-Mu, memuji-Mu dan mensucikan-Mu?” Maka Tuhan berkata, “Aku lebih mengetahui dari apa yang kalian tidak mengetahuinya.”

Maka diciptalah makhluk bumi pewaris khalifah Ilahiah. Ialah manusia yang pertama. Tuhan memanggilnya Adam. Dihadapkannya ia pada para malaikat. Tuhan Yang Mahaagung berkata, “Malaikatku, ungkapkan pada-Ku, rahasia-rahasia nama.” Malaikat tunduk dan berkata, “Mahasuci
Engkau Tuhan kami, tidak kami ketahui apa pun melainkan pada Engkau seluruh ilmunya.” Lalu Tuhan berkata pada Adam, “Wahai Adam, tunjukkan pada malaikat-Ku, rahasia nama yang engkau ketahui.” Maka Adam pun menyebutkan rahasia nama yang telah Tuhan ajarkan kepadanya. Seketika itu juga, setelah Adam selesai bercerita, Tuhan Yang Mahakasih, berkata, “Wahai malaikat-Ku, tunduk dan sujudlah kalian kepada Adam.” Serentak para malaikat, yang telah menyembah Tuhan ribuan tahun lamanya, yang telah menghabiskan usia dalam ketakwaan dan kesucian, yang telah dekat kedudukannya, sehingga sampai di ‘Arasy Tuhan, sujud dan tunduk pada makhluk baru penghuni alam, yang dicipta dari tanah, manusia pertama; Adam ‘alaihis salâm.

Mahasuci Allah. Segala yang dikehendaki-Nya terjadilah. Makhluk yang dicipta dari tanah, kini menjadi khalifah. Makhluk yang mengetahui rahasia Tuhan menjadikan malaikat sujud kepadanya. Apakah gerangan rahasia yang diungkap Adam, hingga menjadikannya begitu mulia, bahkan di hadapan para malaikat sekalipun? Zamakhsyari, Jalaluddin Al-Suyuthi dan Fakhr Al-Razi, tiga orang ulama besar abad pertengahan, menulis dalam tafsir mereka: Nama yang diungkap Adam adalah nama orang-orang suci yang kemudian dilahirkan dari keturunannya. Merekalah Muhammad, Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain. Lima orang suci keturunan Adam ‘alaihimus salâm.

Tetapi ternyata ada yang abai. Di antara malaikat ada yang lalai, dengan sengaja berani membangkang Tuhan. Ialah Iblis. Manakala Tuhan Yang Esa memerintahkan malaikat untuk sujud pada manusia pertama. Iblis dengan angkuh berkata, “Tuhanku, Kau suruh aku sujud kepadanya, sedangkan ia terbuat dari tanah, sementara aku Kau ciptakan dari api. Tidak akan sekalipun aku sujud kepadanya!” Maka terusirlah iblis dari naungan ‘Arasy Allah. Ia, yang beribadah kepada Tuhan selama ribuan tahun, karena pembangkangan atas perintah Ilahiah, jatuh, dari malaikat jadi makhluk yang paling dilaknat. Bukankah ini pelajaran bagi manusia, yang diangkat Tuhan jadi khalifah-Nya dibumi. Karena satu pembangkangan, Iblis terusir dari surga Tuhan. Karena berkata “Tidak!” pada perintah Tuhan, ia menjadi celaan sepanjang zaman.

Namun Iblis berhati baja. Ia terima hukuman Tuhan. Dengan congkak, lagi-lagi ia berkata, “Tuhanku, penuhi permintaanku. Panjangkan usiaku, hingga hari semua anak Adam kembali kepada-Mu. Akan aku palingkan mereka dari sisi-Mu. Akan aku goda mereka dari ibadah kepada-Mu. Akan aku goyangkan keimanan mereka. Akan aku tiupkan prasangka dan bisik dosa.” Tuhan Maha Pengampun berkata, “Aku penuhi keinginanmu. Kau akan kekal hingga hari mereka dibangkitkan.”

Bukankah ada pelajaran bagi manusia. Tuhan, Yang Disanjung dan Dipuja, mengabulkan permohonan seorang makhluk yang paling terkutuk. Ia menjawab permintaan hamba yang terusir, yang lalai, abai, membangkang dan kufur. Maka apalagi bagi manusia; sang khalifah Tuhan di muka bumi. Ia boleh lalai, ia mungkin abai. Ia lupa dan tenggelam dalam dosa. Tapi Tuhan Sang Maha Kekasih, tidak akan pernah meninggalkannya.
Tuhanlah yang berulang kali menyeru kedekatan-Nya pada hamba-Nya. Dialah yang tak henti-henti merindukan kembali hamba kepada-Nya.
***
Kemudian diciptalah bagi Adam seorang Hawa, pasangan untuk menemaninya dalam ibadah dan doa. “Sejahteralah kamu bersamanya,” firman Tuhan Yang Esa. Adam adalah bapak manusia. Tuhan ciptakan baginya bumi dengan segala yang ada di atasnya—samudera luas, bukit tinggi, rimba belantara—untuk kebahagiaan Adam dan anak cucunya, untuk kebahagiaan umat manusia. Diedarkan Allah mentari, rembulan, dan gemintang; diturunkan-Nya hujan, ditumbuhkan-Nya pepohonan, dan disirami-Nya tetanaman; semuanya untuk kebahagiaan manusia.

Tetapi Tuhan Yang Mahatahu, memberikan lebih daripada itu. Diketahuinya getar dada kerinduan hati. Tuhan tahu, betapa sering kita memerlukan seseorang yang mau mendengar, bukan saja kata yang diucapkan; melainkan juga jeritan hati yang tidak terungkapkan; yang mau menerima segala perasaan—tanpa pura-pura, prasangka dan pamrih. Karena itu, diciptakannya seorang kekasih. Tuhan tahu, pada saat kita diharu-biru, dihempas ombak, diguncang badai, dan dilanda duka, kita memerlukan seseorang yang mampu meniupkan kedamaian, mengobati luka, menopang tubuh lemah, dan memperkuat hati—tanpa pura-pura, prasangka dan pamrih. Karena itu, diciptakannya seorang kekasih. Tuhan tahu, kadang-kadang kita berdiri sendirian, lantaran keyakinan atau mengejar impian. Kita memerlukan seseorang yang bersedia berdiri di samping kita—tanpa pura-pura, prasangka dan pamrih. Karena itu, diciptakannya seorang kekasih.
Maka demikianlah tercipta Hawa bagi Adam. Kekasih untuk menemaninya dalam suka dan duka, dalam ujian dan impian. Bagi pasangan insan pertama, Tuhan berikan kenikmatan surga. “Makan dan minumlah dari apa yang tersedia. Asal jangan kalian dekati pohon di sana, supaya kalian tidak termasuk orang yang menzalimi dirinya,” firman Tuhan pada mereka. Namun Iblis mulai berulah. Ia dekati sepasang insan yang tengah dimabuk cinta. Pada Hawa ia bisikkan: pohon itu akan membawa kalian pada keabadian cinta; “Pohon itu akan membuat kalian kekal di taman ini.” Maka Hawa pun tergoda, maka Adam pun terlupa. Berdua mereka langgar amanat Tuhan.

Bukankah ada pelajaran bagi manusia, ketika mereka jatuh cinta, betapa sering hati, perasaan, dan emosi, mengalahkan nalar, pikiran, dan logika.
Sungguh, ada hikmah pada cerita-cerita manusia terdahulu….
***
Kisah Adam berlanjut pada hikmah antara penciptaan manusia, Iblis, surga dan neraka: Alkisah suatu masa, ketika manusia baru dicipta. Malaikat yang berjuta serentak mengajukan tanya: Tuhan kami, akankah Kauciptakan di bumi, makhluk yang berbuat nista, merusak dan menumpahkan darah? Padahal kami menyucikan-Mu, menyembah-Mu dan memuji-Mu? Allah Yang Mahakasih berkata: Aku lebih mengetahui apa-apa yang tidak kalian ketahui. (QS. Al-Baqarah; 30)

Ada hikmah di balik setiap cerita. Allah Yang Mahakuasa membiarkan malaikat-Nya bertanya. Allah Yang Mahasegala memberikan ruang untuk bicara. Dia yang bisa melakukan apa saja, memanggil para malaikat untuk bersama-sama menyaksikan sebuah awal dari sebuah kehidupan. Padahal Dia Mahasegala. Sekiranya Dia kehendaki, Allah akan jadikan Adam tanpa harus mengajak malaikat bicara, atau menghadapkan Adam pada mereka. Namun ada hikmah di balik setiap cerita.

Even Angels Ask. Bahkan para malaikat pun bertanya. Marilah kita bayangkan, marilah kita terbangkan imajinasi kita pada pertemuan agung antara Allah dan para malaikat. Malaikat yang sekian ribu tahun menyaksikan kebesaran Allah dan tak pernah sekalipun meragukan kekuasaan-Nya, masih berani mempertanyakan “kebijakan” Allah untuk menciptakan manusia sebagai khalifah-Nya. Tuhan Yang Mahakasih memberikan petunjuk bagaimana seharusnya kita bersikap bahkan dengan mereka yang keberadaannya sering kita abaikan. Betapa sering kita mengambil keputusan, tanpa mempertimbangkan pendapat rekan dan kawan. Betapa banyak kita berbuat, dengan mengesampingkan perasaan kerabat. Tak terhitung jumlah kita bergerak, tanpa peduli keluarga dekat dan sanak.

Dalam diskusi, betapa sering kita menutup diri: meyakini bahwa pendapat pribadilah yang paling teruji. Betapa banyak kita menutup mata, bahwa masih ada yang tersisa dari fakta. Tak terhitung jumlah kita berbicara tanpa memberi kesempatan yang lain untuk bersuara. Even Angels Ask. Dalam sebuah peristiwa mahadahsyat, Tuhan yang Mahaberbuat masih mengajak para malaikat-Nya dalam sebuah pengambilan keputusan, yang akan mengubah roda sejarah alam semesta. Bukankah pada hikmah itu, kita harus bercermin diri?
***
Ada hikmah di balik setiap cerita. Alkisah, malaikat berkata pada Allah, seolah mempertanyakan keputusan-Nya: Akankah Kaujadikan di muka bumi, makhluk yang berbuat nista, merusak, dan saling menumpahkan darah? Apa yang menyebabkan malaikat berkata demikian? Adakah ilmu yang Tuhan telah berikan pada mereka? Ataukah pernah di bumi ini hidup makhluk yang berbuat nista, merusak, dan saling menumpahkan darah?

Kisah yang dimuat dalam Al-Quran ini membagi pendapat para ahli tafsir ke dalam dua. Pertama, memang pernah ada makhluk yang tinggal di muka bumi ini sebelum Adam diturunkan. Kita boleh menyebut makhluk itu apa saja: homo erektus, homo sapiens, homo ludens, atau hanya sekadar binatang melata. Tapi mereka berbuat nista, merusak, dan menumpahkan darah, sehingga bumi tak terkelola, dan Tuhan azab mereka dengan segera, sehingga tak tersisa sedikitpun dari mereka. Kedua, para malaikat diberi tahu dari pengetahuan Allah Yang Mahasempurna, bahwa suatu saat, kelak di muka bumi, ada di antara keturunan Adam yang berbuat nista, merusak, dan saling menumpahkan darah. Seolah sebuah garisan cerita dipaparkan pada skenario pertama.

Bukankah itu semestinya jadi peringatan bagi anak-anak Adam. Berbuat nista, merusak, dan saling menumpahkan darah adalah perbuatan yang bukan saja bertentangan dengan peribadatan untuk menyucikan, menyembah dan memuja Allah Swt. Tetapi juga adalah perbuatan yang dengan itu azab Tuhan turun dengan cepat kepada kita. Di bumi ini, hampir sulit tersisa, sepetak tanah, yang disitu darah suci tak tertumpah. Di bumi ini, hampir sulit tersisa, akhlak manusia yang tidak dibumbui nista. Di bumi ini, hampir sulit terasa, mencari manusia yang bukan saja tidak merusak bumi, tetapi menjaganya.

Ada, ada dan masih ada…sisa-sisa segelintir keturunan Adam yang dibanggakan Tuhan di hadapan para malaikat-Nya. Lebih banyak dari keturunan Adam itu termasuk dalam orang-orang yang berbuat nista, merusak, dan menumpahkan darah. Di manakah Anda berpijak? Di tempat tercela yang segera mendatangkan amarah, siksa, dan murka? Di sudut terpencil muka bumi untuk menyembunyikan diri dari perbuatan keji? Apakah Anda berpijak pada golongan makhluk yang dikatakan malaikat sebagai pembuat nista, kerusakan, dan penumpah darah? Ataukah Anda berdiri sebagai segelintir akhir dari keturunan Adam yang masih layak Tuhan banggakan di hadapan para malaikat-Nya? yang dengan itu Tuhan perintahkan para malaikat untuk sujud pada-Nya? Yang selalu berbuat kebajikan, menjaga bumi, dan menghormati kesucian darah manusia?
***
Ada hikmah di balik setiap cerita. Alkisah ketika Adam dicipta, di hadapan malaikat dan penghuni surga. Serentak Tuhan Yang Mahakasih memerintahkan para malaikat untuk sujud pada Adam. Semua menaati perintah Ilahi, kecuali Iblis yang abai dan keji. Iblis, jin yang beribadat menyembah Allah ribuan tahun, hingga sampai derajat malaikat, harus terhempas dari kesucian, harus terusir dari kehormatan, harus terdepak dari keagungan, karena abai dan membangkang perintah Tuhan. Ketika pada Iblis, Tuhan bertanya: Apa gerangan yang membuatmu enggan untuk sujud pada Adam? Iblis yang sudah terusir berkata: Tuhanku, Kauciptakan dia dari tanah dan Kauciptakan dari api. Tentulah apa yang diciptakan dari api, lebih utama dari apa yang diciptakan dari tanah.
Iblis pun terusir. Para ulama menyebutkan sebab terusirnya Iblis adalah takabur: memandang diri lebih utama dari yang lain. Karena itu, terlarang bagi kita untuk memandang diri lebih terhormat dari yang lain. Entah itu karena derajat, pangkat atau martabat. Entah itu karena silsilah, golongan darah, atau terah. Semua manusia adalah sama di sisi Tuhan, kecuali karena ketakwaan dan kesalihan. Tak berbeda orang Arab dan ‘Ajam kecuali karena iman dan takwa. Adalah sama keturunan bangsawan dan budak belian, kecuali karena iman dan takwa. Mereka yang memandang diri lebih dari yang lain, telah menyatakan diri bergabung bersama kafilah Iblis, yang bersama-sama bergerak, menjauhi surga, mengusir diri dari tempat kembali yang sempurna, menuju kehancuran, dan siksa neraka.

Tapi ada hikmah di balik setiap cerita. Iblis bukan saja terusir dari surga karena ia memandang diri lebih utama. Tapi lebih dari itu, ia terusir dari hadirat Allah, karena melalaikan perintah-Nya. Satu perintah saja untuk sujud. Satu kesempatan sekali saja untuk meratakan dahi…itupun terlalu berat untuk Iblis penuhi. Akibatnya, ia merana hingga hari manusia dibangkitkan. Ia terusir dari surga hingga hari keabadian. Tidakkah kita merenung? Betapa sering perintah Tuhan kita abaikan? Bukan saja perintah untuk sujud, meratakan dahi walau sekali? Terlalu banyak sujud kita yang terbuang? Terlalu sering rukuk kita yang menghilang? Betapa banyak kumandang adzan, betapa sedikit salat jamaah di masjid Tuhan? Betapa besar harta terlimpah, betapa sulit zakat tercurah?
Betapa sering kita bahagia, betapa sedikit kita berduka, betapa kecil rasa syukur kita.

Akankah kita menjadi pengikut di balik kafilah Iblis yang bergerak menuju neraka?
Ataukah kita bertaubat dan mengagungkan setiap perintah Tuhan dan tidak pernah mengecilkannya. Sesungguhnya sebesar-besarnya dosa adalah menganggap kecil maksiat dan nista yang kita lakukan. (Bersambung)

Ditranskrip dari program The Holyman Stories yang disiarkan Radio Ramako Magic 106.15 FM Jakarta, setiap Kamis Malam, pukul 20.30.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar