Sugiarto
Terlihat di tengah kota Makkah ada rumah sederhana sedang digelayut awan
haru. Suasana sepi mencekam isi rumah itu. Yang terdengar hanya doa-doa suci
bersuara lirih. Fathimah menatap sedih ke arah dua bocah manis yang sedang
tergeletak lemah tidak berdaya. Bibirnya bergetar menahan haru. Hasan dan
Husain sedang sakit. Matanya berhias cekung dan badannya menipis kurus. Di
sudut matanya menyimpan butir air mata yang menahan rasa sakit di sekujur
tubuhnya. Demam tinggi menahan dua putra mulia ini untuk tetap diam pada
pembaringannya. Rasa khawatir yang panjang makin mendera hati Fathimah tatkala
suara menahan sakit putranya terdengar mengaduh. Perlahan Fathimah menggerakkan
tubuhnya, ia peluk kedua putranya dengan perasaan iba. Air mata Fathimah makin
menderai ketika ia sering mendengar suara pilu terbata-bata karena menahan
sakit. Pelukan Fathimah makin merapat dengan harapan agar beban yang menghimpit
belahan jiwanya tidak semakin bertambah. Tapi, mereka masih saja meringis,
menahan sakit yang tidak bisa dilawannya.
Dekapan hangat tubuh Fathimah terusik, ketika terdengar suara salam dan
pintu terketuk. Perlahan Imam Ali bangkit dari duduknya, lalu dibukanya pintu
itu. Dibalik pintu Imam Ali menyaksikan Rasul dan para sahabat datang
berkunjung. Mengetahui Rasul yang datang, Fathimah segera menyambutnya. Ia
menanyakan perihal kabar bapaknya. Begitu juga Rasul menanyakan kesehatan
cucunya. Usai melihat Hasan-Husain, salah seorang sahabat Nabi berkata pada
Fathimah dan Imam Ali, "Wahai Abu Hasan, kalau engkau bernazar untuk kedua
anakmu, tentu Allah akan menyembuhkan sakit mereka." Imam Ali berkata,
"Aku akan berpuasa selama tiga hari sebagai rasa syukur kepada
Allah." Perkataan yang sama terucap dari bibir Fathimah, "Begitu juga
aku, aku akan berpuasa selama tiga hari sebagai rasa syukurku." Ucapan
yang sama disusul oleh Hasan-Husain dan Fidhdhah, pelayannya.
Dengan keagungan sumpah mereka, tak lama dari kejadian itu, Allah
menyembuhkan sakit Hasan dan Husain. Keluarga agung itu pun memenuhi janjinya,
berpuasa tiga hari. Ketika mereka akan memulai puasanya, tidak ada sedikit pun
makanan yang mereka miliki, bahkan sepotong kurma pun tidak ada. Mereka tetap
melaksanakan puasanya tanpa bekal makanan di waktu sahur. Di pagi hari, usai
shalat dan zikir, Imam Ali bergegas untuk mencari bekal buat berbuka. Ia pergi
mendatangi seorang Yahudi bernama Syam'un, "Apakah engkau dapat memberikan
kepadaku bulu domba untuk dipintal oleh putri Muhammad dengan upah tiga sha'
gandum?" Orang Yahudi itu mengangguk dan memberikan kepada Imam Ali bahan
wol dan tiga sha' gandum. Fathimah datang menyambut kehadiran suaminya, Ia
menerima dan memintal bahan wol itu sesuai pesanan. Menjelang sore Fathimah
mempersiapkan gandum untuk ditumbuk dan dijadikan roti.
Usai salat Maghrib dan zikir, ketika mereka bersiap-siap untuk berbuka,
tiba-tiba mereka mendengar rintihan pilu seorang miskin, ia berdiri rapuh di
depan pintu. Matanya sayu dan pakaiannya dipenuhi dengan debu. Bibirnya yang
kering berkata, "Salam sejahtera wahai Ahli Bait Muhammad, aku seorang
miskin dari kaum muslim. Sudah beberapa saat aku tidak menemukan makanan.
Sudikah engkau memberikan makanan yang kalian miliki, semoga Allah membalasnya
dengan makanan surga." Ada rasa khawatir yang mendalam pada hati Imam Ali
dan Fathimah. Imam Ali menatap nanap Fathimah seraya berkata, "Wahai
Fathimah, perempuan mulia dan beriman teguh. Putri manusia agung di muka bumi.
Di hadapan kita berdiri seorang miskin dan sengsara, merintih pedih menahan
lapar." Dengan iba Fathimah berucap, "Wahai putra paman, perintahmu
aku taati. Aku tak menyesal dan mencelamu. Engkau telah berikan makanan dengan
sifat murahmu. Kuberikan juga makananku di jalan Allah meskipun lapar meradang
perutku." Segera Fathimah bangkit dan memberikan seluruh makanan yang
terdapat di atas meja. Tidak ada makanan yang tersisa sedikit pun. Malam itu
mereka tidur dalam keadaan perut yang lapar. Keesok harinya mereka berpuasa
lagi tanpa buka dan sahur sebelumnya. Mereka hanya minum segelas air putih
saja.
Pada puasa hari kedua Fathimah kembali membuat roti dari sisa gandum yang
kemarin untuk bekal berbuka. Ketika mereka bersiap-siap untuk berbuka di hari
itu, seorang anak datang dan berdiri di depan pintu, dari mulutnya yang pecah
tergagap suaranya yang lembut, "Salam sejahtera wahai Ahli Bait Nabi,
Berilah aku makanan dari apa yang kalian makan." Ia sebut dirinya seorang
yatim dari kaum muslim. Imam Ali berkata, "Wahai Fathimah, putri
Rasulullah, yang mulia dan dermawan, Allah telah mengutus anak yatim kepada
kita. Siapa yang hari ini mengharap rida Tuhan. Kelak tempatnya adalah surga
dengan nikmat yang tak terhingga." Fathimah menyambut ucapan suaminya,
"Ia pasti kuberi, dengan kerelaan yang tulus, tak peduli keadaan kita
sendiri. Sama sepertiku, mereka akan bermalam dalam keadaan lapar. Dan si kecil
dengan laparnya akan syahid di medan tempur." Dari tangannya yang
lembut,yang sering dicium bibir Rasul, ia berikan semua makanan yang ada.
Kebahagiaan terpancar di roman muka anak yatim itu, ia makan dengan sangat
lahap dan hilanglah rasa perih yang menusuk perutnya. Mata haru dan rasa
bahagia menyelimuti keluarga Fathimah ketika menyaksikan kebahagiaan memenuhi
hati anak itu.
Menjelang hari ketiga, tidak ada sedikit makanan pun yang tersentuh oleh
bibir-bibir yang mulia itu, sahur dilaluinya dengan zikir dan rasa lapar. Hari
ketiga dilewati oleh Fathimah dengan menumbuk sisa gandum untuk dibuatnya roti.
Tangannya yang lelah melepuh karena menahan berat menggiling gandum.Wajahnya
tampak pucat dan sayu. Tinggal sedikit saja sisa tenaganya yang ada. Sedangkan
Hasan dan Husain masih tetap bertahan menahan rasa lemas dan lapar.
Kekhawatiran meronakan wajah Imam Ali. Perjuangan yang berat hampir selesai.
Setelah mereka membasahi bibirnya dengan zikir dan shalat, mereka berkumpul
untuk melepas ikatan puasa, berbuka. Tiba-tiba saja terdengar suara pelan
mendendangkan ungkapan kepedihan, "Salam sejahtera tercurah selalu bagimu,
wahai Ahli Bait Nabi." Suaranya kecil dan tersendat-sendat. "Orang
kafir telah menawanku berhari-hari, aku disekap tanpa minum dan makan. Rasa
lapar membahana perutku. Sudikah kalian memberikan makanan untukku." Imam
Ali mempersilahkannya masuk, seraya berkata kepada Fathimah, "Duhai
Fathimah putra Ahmad, putra agung dan dermawan, tanpa ada yang menunjukkan ke
sini, tawanan itu datang dengan bekas belenggu di tangan. Ia mengeluh lapar dan
sengsara. Barangsiapa memberi makan orang yang sengsara, kelak akan memperoleh
balasan yang sama dari sisi Allah. Setiap orang yang menanam, pasti ia akan
menuai hasilnya." Fathimah bergumam, "Gandum tinggal setakar.
Tanganku melepuh karena gilingan. Demi Allah, inilah dua anakku sudah terlampau
lapar. Ya Allah jangan binasakan mereka hingga aku kehilangan mereka."
Tanpa ragu Fathimah memberikan semua makanan. Pribadinya yang tulus dan ikhlas,
yang selalu iba jika melihat ada orang yang lapar, membawanya menyerahkan semua
makanan yang ada.
Mereka tidur dalam keadaan lapar lagi. Begitu pula di hari keempatnya.
Perut mereka selalu dilewati dengan lapar, dan hal itu sering terjadi setiap
hari-hari yang dilalui keluarga suci itu. Tidak ada makanan sedikit pun yang
menjemput malam di atas meja rumah mereka. Fathimah tidak pernah lama-lama
menyimpan makanannya di dalam lemari. Sifat dermawan dan cinta kasihya pada
kaum mustadh'afin mengantarkannya untuk selalu memberi dan tanpa pamrih.
Setelah peristiwa itu, Imam Ali dan kedua putranya pergi menuju rumah
Rasulullah dengan membawa beban lapar dan tubuh yang menggigil. Ketika Rasul
melihat mereka, Rasul berkata, "Wahai Abu Hasan, ada apakah dengan mukamu
yang pucat dan tubuhmu yang menggigil. Sungguh, aku sangat mencemaskanmu dan
kedua cucuku." Segera Imam Ali menceritakan segala kejadian yang menimpa
keluarganya. Rasulullah mengajak Imam Ali untuk menemui Fathimah. Sesampai di
rumah dilihatnya Fathimah sedang duduk bersimpuh. Kondisinya sangat
mengkhawatirkan Rasulullah. Perutnya kempis karena menahan lapar yang panjang.
Begitu juga dengan matanya yang tampak cekung karena menahan pening yang
mendera kepalanya. Rasul segera mendekap tubuhnya dengan erat, seraya menjerit,
"Apatah keluarga Muhammad akan mati karena kelaparan?" Tubuh Rasul
masih saja berguncang dan bergetar menahan haru. Air mata pilu jatuh membasah
pundak Fathimah. Sampai-sampai malaikat pembawa wahyu datang dan menyampaikan
pujian istimewa kepada Muhammad dan Ahli Baitnya yang tertulis dalam surat
Al-Insan 5-22.
Kecintaan Fathimah dan kepedulian yang tulus kepada orang miskin dan papa,
ia buktikan dengan kerelaan berkorban menahan lapar yang mengoyak perutnya. Tak
peduli perih menusuk perutnya, yang terpenting baginya memberikan kebahagiaan
yang terbaik kepada orang lain. Sudahkah sebagian dari kita memberikan harapan
bahagia dan mebebaskan belenggu kesulitan yang menghimpit pundak-pundak kaum
papa walaupun hanya sebatas curahan kasih sayang kepada mereka? Sudahkah kita
sedikit saja rela berkorban untuk menghilangkan rasa pedih tetangga kita yang
menahan lapar dan membutuhkan bantuan kita dengan mengurangi jatah makan dan
bekal kita seperti halnya keluarga Fathimah? Atau kita merasa terganggu ketika
perjamuan makan keluarga kita terusik dengan kehadiran orang miskin yang
mengetuk pintu rumah kita dan meminta belas kasihan untuk diberi, sementara
hidangan mewah dan lezat menghias meja makan kita?
Bukti kecintaan yang dalam Fathimah kepada kaum miskin dapat kita simak
dalam perjalanan hidupnya. Suatu hari, usai shalat berjamaah, Rasul didatangi
seorang tua renta yang lemah, ia berkata, "Wahai Nabi Allah, perutku lapar
aku memohon kepadamu adakah sesuatu yang bisa aku makan. Begitu juga dengan tubuhku
yang berbaju lusuh dan kotor, berilah aku pakaian serta kecukupan yang dapat
menghilangkan kefakiranku." Rasul menjawab iba, "Wahai saudaraku, aku
tidak memilki sesuatu pun apa yang kau minta. Pergilah engkau ke rumah putriku
Fathimah." Lalu Bilal mengantar lelaki tua itu ke rumah Fathimah.
"Siapakah Anda, wahai saudaraku," kata Fathimah ketika lelaki itu
tiba di rumah Fathimah beserta Bilal. "Aku seorang tua dari Arab. Aku
datang dari negeri yang jauh. Tubuhku dibalut baju usang dan perutku lapar. Aku
memohon kepadamu wahai putri Rasul, berilah aku bantuanmu." Lalu Fathimah
memberikan kulit domba yang telah disamak yang biasa dipakai Hasan dan Husain
sebagai alas tidur. Fathimah berkata, "Ambilah ini untukmu. Mudah-mudahan
Allah memberikan yang lebih baik daripada ini." Orang itu terdiam, lalu
berkata, "Bukan aku menolak pemberianmu wahai putri Rasulullah, aku sangat
lapar dan apa yang bisa aku perbuat untuk menghilangkan rasa laparku dengan
kulit domba ini."
Saat itu, sudah tiga hari Fathimah tidak mendapatkan makanan, ia pun dalam
kondisi yang sama seperti lelaki tua itu; sangat lapar dan lemas. Fathimah
segera melepaskan kalung yang melingkar di lehernya, kalung satu-satunya yang
ia miliki selama hidupnya dan merupakan pemberian Fathimah binti Hamzah. Segera
ia memberikannya kepada pria itu, "Ambilah ini dan juallah. Semoga Allah
memberikan yang lebih baik daripada pemberianku." Setelah kejadian itu,
lelaki itu pergi menghadap Rasul dan diceritakannya semua tentang pertemuannya
dengan Fathimah. Mendengar ucapan lelaki tua itu Nabi meneteskan airmata.
Setelah disetujui oleh Rasulullah, Amar bin Yasar segera membeli kalung yang
dibawa oleh lelaki itu. Ada rasa puas terpancar dari wajahnya yang penuh dengan
keriput, dengan pelan ia berkata,"Terimakasih ya Rasulullah, aku telah
puas dengan semuanya." "Berterimakasihlah engkau kepada
Fathimah," Rasul menjawab haru. Lelaki tua itu menengadahkan muka dan
tangannya seraya berdoa, "Ya Allah, sesungguhnya Engkau adalah tempat kami
memohon. Bagi kami tidak ada Tuhan yang kami sembah kecuali Engkau. Engkau ada
pada setiap saat. Ya Allah, bukakanlah kepada Fathimah sesuatu yang tak
terlihat mata dan tak terdengar oleh telinga."
Dalam keadaan lapar, Fathimah masih saja sempat memberi kepada orang
miskin. Sampai-sampai karena besarnya rasa ingin memberi dan lembutnya hati
Fathimah, alas tidur pelindung dingin putranya di waktu malam ia rela berikan.
Bahkan satu-satunya benda yang berharga di dalam hidupnya sudi ia berikan
kepada orang yang memerlukan pertolongannya. Begitu terpujinya engkau duhai
Fathimah. Rasa lapar bagimu adalah kebahagiaan untuk orang lain. Ketabahan dan
kecintaanmu pada kaum miskin adalah hiasan mulia hati sucimu.
Di balik hatinya yang lembut, ia selalu terbayang akan perkataan ayahnya,
"Berhati-hatilah kamu dari sifat kikir, karena ia adalah penyakit yang
tidak terdapat dalam diri seseorang yang mulia. Berhati-hatilah kamu dari sifat
kikir, karena ia adalah sebatang pohon di neraka dan dahan-dahannya ada di
dunia. Barangsiapa yang bergantung pada salah satu dahannya, maka ia akan
memasukannya ke dalam api neraka." Fathimah adalah sosok perempuan yang
mulia. Kemuliaannya ia buktikan dengan memenuhi seluruh jiwanya dengan sikap
dermawan dan menghindari kekikiran. Suatu saat, ketika Fathimah akan menikah,
Rasul pernah membuatkan sehelai baju untuknya. Waktu itu Fathimah hanya
memiliki beberapa pakaian saja. Baju terbaik yang dimilikinya ketika itu adalah
baju yang penuh dengan tambalan. Karena itu Rasul hadiahkan baju kepada anaknya
untuk dikenakan pada hari pernikahannya. Menjelang beberapa hari pernikahannya,
suatu pagi di depan pintu berdiri seorang papa. Ia mematung sepi. Perlahan ia
berkata, "Wahai Fathimah, adakah sehelai baju yang layak bagiku untuk
melindungi tubuhku ini," Fathimah teringat firman Allah, Kamu sekali-kali
tidak sampai kepada kebajikan yang sempurna, sebelum kamu menafkahkan sebagian
harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya
Allah mengetahuinya (QS. Al-Imran 92).
Segera Fathimah memberikan baju baru pemberian ayahnya itu dengan ketulusan
hatinya yang dalam. Menjelang pernikahan Fathimah, malaikat Jibril datang dan
memberinya sehelai baju yang terbuat dari sutra hijau.
Dialah Fathimah, sosok ibu bagi kaum miskin. Dia yang memberikan segalanya
pada kaum papa di saat kesulitan menghimpit diri dan keluarganya. Ia berikan
kebahagiaan tanpa pamrih dan harap. Bahkan ia rela menahan lapar yang panjang
untuk senyum kebahagiaan orang lain. Dialah pengayom dan tempat berlindung kaum
mustadh'afin dari berbagai kesulitan. Dialah perempuan sederhana penuh karisma.
Dialah bunda mulia pelipur lara. Sudahkah sebagian dari kita mencoba menjadi
bunda seperti halnya Fathimah, selain bunda bagi putra-putranya? Ibu yang
memiliki kepribadian tulus yang selalu mencintai dan memberi kebahagiaan kepada
kaum miskin, seperti halnya Fathimah Az-Zahra.
Salam bahagia bagimu, ya Sayyidah Fathimah, bantulah kami dengan doa-doamu
kepada Allah, agar kami bisa berakhlak mulia sepertimu dan menapak jalan
kemuliaan dengan kecintaan kepada kaum miskin setiap saat. Kebahagiaan dan
kasih sayang Allah besertamu selalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar