Perlindungan hak cipta adalah ide yang berasal dari
ideologi kapitalisme. Negara-negara kapitalis–industri telah membuat konvensi
Paris pada tahun 1883 dan konvensi Bern pada tahun 1886, tentang perlindungan
hak cipta. Selain kesepakatan-kesepakatan tersebut, mereka juga membuat
beberapa kesepakatan lain yang jumlahnya tidak kurang dari 20 kesepakatan.
Kemudian terbentuklah Lembaga Internasional untuk Hak Cipta yang bernama WIPO
(World Intellectual Property Organization), yang bertugas mengontrol dan
menjaga kesepakatan tersebut. Pada tahun 1995, WTO telah mengesahkan adanya
perlindungan hak cipta, dan WIPO menjadi salah satu bagiannya. WTO mensyaratkan
bagi negara-negara yang ingin bergabung dengannya, harus terikat dengan
perlindungan hak cipta, dan membuat undang-undang terkait guna mengatur
perlindungan hak cipta.
Undang-undang Hak Cipta yang dilegalisasi oleh
negara-negara tersebut, harus memberikan hak kepada individu untuk melindungi
hasil ciptaannya, serta melarang orang lain untuk memanfaatkan ciptaan tersebut
kecuali dengan izinnya. Negara harus menjaga hak tersebut dan memberikan sanksi
bagi setiap orang yang melanggarnya dengan sanksi penjara puluhan tahun, baik
ketika (penciptanya) masih hidup atau telah mati. Undang-undang yang
dilegalisasi juga harus mencakup undang-undang perlindungan (bagi)
perusahaan-perusahaan pemegang hak patent.
Maksud dari karya cipta adalah, pemikiran atau
pengetahuan yang diciptakan oleh seseorang, dan belum ditemukan oleh orang lain
sebelumnya. Bagian terpenting dari karya-karya cipta tersebut adalah
pengetahuan yang bisa dimanfaatkan dalam perindustrian serta produksi barang
dan jasa, dan apa yang saat ini dinamakan dengan 'teknologi'.
|
Dengan
demikian, orang-orang kapitalis menganggap bahwa pengetahuan-pengetahuan
individu sebagai 'harta' yang boleh dimiliki, dan bagi orang yang mengajarkan
atau mempelajari pengetahuan tersebut tidak diperbolehkan memanfaatkannya,
kecuali atas izin pemegang patent dan ahli warisnya, sesuai dengan
standar-standar tertentu. Jika seseorang membeli buku, 'disket' atau 'kaset',
yang mengandung pemikiran baru, maka ia berhak memanfaatkan sebatas apa yang
dibelinya saja, dalam batas-batas tertentu, seperti membaca atau mendengarkan.
Dia dilarang, berdasarkan Undang-undang Perlindungan Hak Cipta, untuk
memanfaatkannya dalam perkara-perkara lain, seperti mencetak, dan menyalin
untuk diperjualbelikan atau disewakan.
Lalu
apa hukum syara' tentang kepemilikan individu (private property) terhadap
barang-barang dan pemikiran-pemikiran ?
Islam
telah mengatur kepemilikan individu dengan suatu pandangan bahwa kepemilikan
tersebut merupakan salah satu penampakkan dari naluri mempertahankan diri (gharizah
baqa'). Atas dasar itu, Islam mensyariatkan bagi kaum Muslim 'kepemilikan'
untuk memenuhi naluri ini, yang akan menjamin eksistensi dan kehidupan yang
lebih baik. Islam membolehkan bagi seorang Muslim untuk memiliki harta
sebanyak-banyaknya, seperti: binatang ternak, tempat tinggal, dan hasil bumi. Di
sisi lain Islam mengaharamkan seorang Muslim untuk memiliki barang-barang,
seperti: khamr, daging babi, dan narkoba. Islam telah mendorong seorang Muslim
untuk berfikir dan menuntut ilmu, begitu juga Islam membolehkan seorang Muslim
untuk mengambil upah karena mengajar orang lain. Islam juga telah mensyariatkan
bagi seorang muslim sebab-sebab yang dibolehkan untuk memiliki suatu
barang, seperti: jual-beli, perdagangan, dan waris; dan mengharamkan seorang
Muslim sebab-sebab (kepemilikan, penerj.) lain (yang bertentangan dengan
Islam, penerj.), seperti: riba, judi, dan jual beli valas (tidak secara
tunai dan langsung-penerj).
Kepemilikan
dalam Islam, secara umum diartikan sebagai ijin Syaari' (Allah) untuk
memanfaatkan barang. Sedangkan kepemilikan individu adalah hukum syara' yang
mengatur barang atau jasa yang disandarkan kepada individu; yang
memungkinkannya untuk memanfaatkan barang dan mengambil kompensasi darinya.
Kepemilikan individu dalam Islam tidak ditetapkan kecuali atas dasar ketetapan
hukum syara' bagi kepemilikan tersebut, dan penetapan syara' bagi sebab
kepemilikan tersebut. Karena itu, hak untuk memiliki sesuatu tidak muncul dari
sesuatu itu sendiri, atau manfaatnya; akan tetapi muncul dari ijin Syaari'
untuk memilikinya dengan salah satu sebab kepemilikan yang syar'iy, seperti
jual-beli dan hadiah.
Islam
telah memberikan kekuasaan kepada individu atas apa yang dimilikinya, yang
memungkinkan ia dapat memanfaatkannya sesuai dengan hukum syara'. Islam juga
telah mewajibkan negara agar memberikan perlindungan atas kepemilikan individu
dan menjatuhkan sanksi bagi setiap orang yang melanggar kepemilikan orang lain.
Mengenai kepemilikan atas Pemikiran Baru, mencakup dua
jenis dari kepemilikan individu. Pertama, sesuatu yang terindera dan
teraba, seperti merk dagang dan buku. Kedua, sesuatu yang terindera
tetapi tidak teraba, seperti pandangan ilmiah dan pemikiran jenius yang
tersimpan dalam otak seorang pakar.
Apabila kepemilikan tersebut berupa kepemilikan jenis
pertama, seperti merk dagang yang mubah, maka seorang individu boleh
memilikinya, serta memanfaatkannya dengan cara mengusahakannya atau
menjual-belikannya. Negara wajib menjaga hak individu tersebut, sehingga
memungkinkan baginya untuk mengelola dan mencegah orang lain untuk melanggar
hak-haknya. Sebab, dalam Islam, merk dagang memiliki nilai material, karena
keberadaanya sebagai salah satu bentuk perniagaan yang diperbolehkan secara
syar'iy. Merk dagang adalah Label Product yang dibuat oleh pedagang atau
industriawan bagi produk-produknya untuk membedakan dengan produk yang lain,
yang dapat membantu para pembeli dan konsumen untuk mengenal produknya.
Definisi ini tidak mencakup merk-merk dagang yang sudah tidak digunakan lagi,
sebagaimana oleh sebagian undang-undang didefinisikan sebagai: “Merk apapun
yang digunakan atau merk yang niatnya hendak digunakan.” Sebab, nilai merk
dagang dihasilkan dari keberadaanya sebagai bagian dari aktivitas perdagangan
secara langsung. Seseorang boleh menjual merk dagangnya. Jika ia telah menjual
kepada orang lain, manfaat dan pengelolaannya berpindah kepada pemilik baru.
Adapun mengenai kepemilikan fikriyyah, yaitu jenis
kepemilikan kedua, seperti pandangan ilmiah atau pemikiran briliant, yang belum
ditulis pemiliknya dalam kertas, atau belum direkamnya dalam disket, atau pita
kaset, maka semua itu adalah milik individu bagi pemiliknya. Ia boleh menjual
atau mengajarkannya kepada orang lain, jika hasil pemikirannya tersebut
memiliki nilai menurut pandangan Islam. Bila hal ini dilakukan, maka orang yang
mendapatkannya dengan sebab-sebab syar'iy boleh mengelolanya tanpa terikat
dengan pemilik pertama, sesuai dengan hukum-hukum Islam. Hukum ini juga berlaku
bagi semua orang yang membeli buku, disket, atau pita kaset yang mengandung
materi pemikiran, baik pemikiran ilmiah ataupun sastra. Demikian pula, ia
berhak untuk membaca dan memanfaatkan informasi-informasi yang ada di dalamnya.
Ia juga berhak mengelolanya, baik dengan cara menyalin, menjual atau
menghadiahkannya, akan tetapi ia tidak boleh mengatasnamakan (menasabkan)
penemuan tersebut pada selain pemiliknya. Sebab, pengatasnamaan (penisbahan)
kepada selain pemiliknya adalah kedustaan dan penipuan, di mana keduanya
diharamkan secara syar'iy. Oleh karena itu, hak perlindungan atas kepemilikan fikriyyah
merupakan hak yang bersifat maknawi, yang hak pengatasnamaannya dimiliki oleh
pemiliknya. Orang lain boleh memanfaatkannya tanpa seijin dari pemiliknya.
Jadi, hak maknawi ini hakekatnya digunakan untuk meraih nilai akhlaq. Akan
tetapi, orang-orang kapitalis telah memfokuskan seluruh aktivitas dan
undang-undang mereka untuk meraih nilai materi saja. Nilai materi itu pula yang
digunakan sebagai totok ukur (standar) ideologi mereka dalam kehidupan. Bahkan
mereka telah mengabaikan nilai-nilai ruhiyyah, insaniyyah (kemanusiaan), dan
akhlaq yang difitrahkan dalam diri manusia untuk meraih nilai-nilai materi.
Mereka telah menenggelamkan orang alim dengan keburukan-keburukan dan
kelemahan-kelemahan.
Adapun, syarat-syarat yang ditetapkan oleh hukum-hukum
positif, yang membolehkan pengarang buku, atau pencipta program, atau para
penemu untuk menetapkan syarat-syarat tertentu atas nama perlindungan hak
cipta, seperti halnya hak cetak dan proteksi penemuan (patent),
merupakan syarat-syarat yang tidak syar'iy, dan tidak wajib terikat dengan
syarat-syarat tersebut. Sebab, berdasarkan akad jual-beli dalam Islam, seperti
halnya hak kepemilikan yang diberikan kepada pembeli, pembeli juga diberi hak
untuk mengelola apa yang ia miliki (yang telah ia beli, penej.). Setiap
syarat yang bertentangan dengan akad (syar'iy) hukumnya haram, walaupun
pembelinya rela meski dengan seratus syarat. Dari 'Aisyah ra:
“Barirah mendatangi seorang perempuan, yaitu seorang
mukatab yang akan dibebaskan oleh tuannya jika membayar 9 awaq (1 awaq=12
dirham=28 gr). Kemudian Barirah berkata kepadanya, “Jika tuanmu bersedia, aku
akan membayarnya untuk mereka jumlahnya, maka loyalitas [mu] akan menjadi
milikku.” Mukatab tersebut lalu mendatangi tuannya, dan menceritakan hal itu
kepada mereka. Kemudian mereka menolak dan mensyaratkan agar loyalitas [budak
tersebut] tetap menjadi milik mereka. Hal itu kemudian diceritakan 'Aisyah
kepada Nabi saw. Rasulullah saw bersabda: “Lakukanlah.” Kemudian Barirah
melaksanakan perintah tersebut dan Rasulullah saw berdiri, lalu berkhutbah di
hadapan manusia. Beliau segera memuji Allah dan menyanjung namaNya. Kemudian
bersabda: “Tidak akan dipedulikan, seseorang yang mensyaratkan suatu syarat
yang tidak sesuai dengan apa yang tercantum dalam Kitabullah.” Kemudian
beliau bersabda lagi: “Setiap syarat yang tidak ada dalam Kitabullah, maka
syarat tersebut adalah bathil. Kitabullah lebih berhak, dan syaratnya (yang
tercantum dalam Kitabullah) bersifat mengikat. Loyalitas dimiliki oleh orang
yang membebaskan.”
Mantuq (teks) hadist ini menunjukkan bahwa syarat yang
bertentangan dengan apa yang tecantum dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul, tidak
boleh diikuti. Dan selama syarat perlindungan hak cipta menjadikan barang yang
dijual (disyaratkan) sebatas pada suatu pemanfaatan tertentu saja, tidak untuk pemanfaatan
yang lain, maka syarat tersebut adalah batal dan bertentangan dengan Kitabullah
dan Sunnah Rasul-Nya. Sebab, keberadaannya bertentangan dengan ketetapan aqad
jual-beli syar'iy yang memungkinkan pembeli untuk mengelola dan memanfaatkan
barang dengan cara apapun yang sesuai syar'iy, seperti jual-beli, perdagangan,
hibah, dan lain-lain. Syarat yang mengharamkan sesuatu yang halal adalah syarat
yang batil, berdasarkan sabda Rasulullah saw:
“Kaum Muslim terikat atas syarat-syarat mereka,
kecuali syarat yang mengharamkan sesuatu yang halal dan menghalalkan yang haram.”
Oleh karena itu, secara syar'iy tidak boleh ada
syarat-syarat hak cetak, menyalin, atau proteksi atas suatu penemuan. Setiap
individu berhak atas hal itu (memanfaatkan produk-produk intelektual). Pemikir,
ilmuwan, atau penemu suatu program, mereka berhak memiliki pengetahuannya
selama pengetahuan tersebut adalah miliknya dan tidak diajarkan kepada orang
lain. Adapun setelah mereka memberikan ilmunya kepada orang lain dengan cara
mengajarkan, menjualnya, atau dengan cara lain, maka ilmunya tidak lagi menjadi
miliknya lagi. Dalam hal ini, kepemilikinnya telah hilang dengan dijualnya ilmu
tersebut, sehingga mereka tidak berwenang melarang orang lain untuk
memanfaatkannya; yaitu setelah ilmu tersebut berpindah kepada orang lain dengan
sebab-sebab syar'iy, seperti dengan jual-beli atau yang lainnya.
Adapun peringatan yang tercantum pada beberapa 'disket
komputer', yakni tidak diperbolehkan mengcopy program; di mana pemiliknya telah
melarang orang lain untuk mengcopinya kecuali atas izinnya; berdasarkan sabda
Rasulullah saw. :
Kaum Muslim terikat atas syarat-syarat mereka
dan sabda Beliau :
tidak halal harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan
dirinya
juga sabdanya :
barang siapa mendapatkan paling awal sesuatu yang mubah,
maka ia adalah orang yang paling berhak.
Maka kesalahan 'peringatan' tersebut terletak pada
pengumuman yang menggunakan lafazd 'syarat-syarat mereka', tanpa ada
pengecualian sebagaimana yang telah dikecualikan oleh Rasul dengan sabdanya, “…kecuali
syarat yang mengharamkan sesuatu yang halal…”. Dua hadits terakhir tidak
sesuai dengan manath kasus tersebut, sebab hadits, '…tidak halal
harta seseorang …”, manath-nya adalah harta milik orang lain,
sedangkan 'disket komputer' telah menjadi milik pembeli. Adapun hadits, “barang
siapa mendapatkan paling awal sesuatu yang mubah, maka ia orang yang paling
berhak,” manath-nya adalah harta milik umum, sebagaimana hadits, “(Kota)
Mina menjadi hak bagi siapa saja yang datang lebih dahulu (untuk
menempatinya)”. Sedangkan 'disket komputer' tergolong
kepemilikan individu.
Sesungguhnya,
Undang-undang Perlindungan Hak Cipta merupakan salah satu cara penjajahan
ekonomi dan peradaban yang telah digulirkan oleh negara-negara kapitalis besar
kepada negara-negara di seluruh dunia dan penduduknya melalui WTO. Setelah
negara-negara tersebut berhasil menguasai teknologi –yakni pengetahuan yang
berhubungan dengan industri, produksi barang dan jasa– mereka membuat
undang-undang agar bisa 'menimbun' pengetahuan-pengetahuan tersebut, dan
mencegah negara-negara lain mengambil manfaat hakiki dari penemuan tersebut;
agar negara-negara lain tetap menjadi pasar konsumtif bagi produk-produk mereka
dan tunduk dibawah pengaturannya; juga agar mereka bisa mencuri kekayaan dan
sumberdaya alam negara-negara kecil atas nama investasi dan globalisasi.
Sesungguhnya
umat Islam adalah umat yang agung dengan kekuatan kepemimpinanya. Orang-orang
kafir telah menyadari kekuatan dan bahaya umat Islam bagi mereka apabila umat
Islam kembali kepada ideologi Islam. Oleh karena itu, mereka memaksakan kepada
umat Islam hukum-hukum positif mereka, seperti Undang-undang Perlindungan Hak
Cipta dan yang sejenisnya. Tujuannya, untuk mencegah (umat Islam mendapatkan, penerj.)
sebab-sebab kekuatan, dan menjauhkan umat Islam dari ideologi Islam. Maka dari
itu, kaum Muslim harus menyadari bahaya hukum-hukum positif tersebut bagi agama
mereka dan kehidupan mereka. Kaum Muslim-lah yang dijadikan sasaran mereka.
Mereka telah 'menimbun' pengetahuan-pengetahuan ilmiah untuk mencegah kaum
Muslim mendapatkan manfaat-manfaatnya. Semua itu dilakukan agar kaum Muslim
tetap terbelakang dan tidak dapat bangkit dengan landasan Islam. Berdasarkan
hal ini, kaum Muslim harus menolak dan tidak boleh terikat dengan hukum-hukum
tersebut. Sebab, hukum-hukum tersebut bukan berasal dari Islam, dan dibuat
untuk menimpakan kehancuran bagi umat Islam.
Kaum
Muslim wajib mengetahui setiap kunci dan nafas dalam rangka menegakkan kembali
Negara Khilafah yang akan mengembalikan kemuliaan, kesatuan, dan kekuatan
mereka. Dan agar mereka mampu membersihkan dunia dari kenistaan dan
imperialisme kapitalis untuk menuju keadilan Islam. Allah Swt berfirman:
Dialah
yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al Qur'an) dan agama
yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama (ideologi dan pemikiran),
walaupun orang-orang musyrik tidak menyukainya. (QS.
at-Taubah [9]:33)
HIZBUT TAHRIR WILAYAH
YORDANIA
21 SYAWAL 1421 H/16 JANUARI 2001 M
MERUMUSKAN KEMBALI PARPOL ISLAM
Allah SWT berfirman:
Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan al-Khayr (Islam), memerintahkan kebajikan, dan mencegah
kemungkaran. Mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS Ali Imran
[3]: 104).
|
Ketika menafsirkan kata ummah dalam ayat di atas, Syaikh
Muhammad Abduh dalam tafsir Al-Manar menyebutkan, “Obyek seruan perintah
ini adalah seluruh jamaah orang-orang Mukmin yang mendapat tugas dan kewajiban
untuk memilih kelompok yang akan melakukan kewajiban ini. Di sini ada dua hal
yang terkandung. Pertama, perkara ini wajib bagi semua kaum
Muslim. Kedua, perkara ini wajib bagi sekelompok orang yang
mereka pilih.”
Lebih lanjut, beliau menegaskan bahwa makna yang tepat untuk
kata umah dalam ayat ini adalah suatu kelompok yang khusus dibentuk dari
individu-individu yang memiliki hubungan penyatuan sekaligus merupakan kesatuan
yang menyatukan mereka seperti layaknya anggota badan dalam tubuh manusia.
Senada dengan pendapat di atas, Syekh Abdul Qadim Zallum, dalam
bukunya Hizb At-Tahrir, mengomentari bahwa bentuk perintah untuk
membentuk kelompok (partai) dalam ayat di atas sekadar menunjukkan adanya
tuntutan (thalab) dari Allah SWT, tidak menunjukkan adanya kewajiban.
Namun, lanjutnya, terdapat banyak indikasi (qarînah) dari selain ayat
itu yang menunjukkan bahwa tuntutan Allah SWT tentang adanya kelompok itu
wajib. Salah satu qarînah tersebut adalah Hadis Nabi saw. yang berbunyi:
Demi Zat yang diriku berada dalam genggaman tangan-Nya, sungguh
kalian mempunyai dua pilihan, yaitu: kalian melakukan amar makruf nahi mungkar
ataukah Allah akan mendatangkan siksa dari sisi-Nya yang akan menimpa kalian,
kemudian setelah itu kalian berdoa, namun doa itu tidak akan dikabulkan. (HR at-Tirmidzi).
Aktivitas amar makruf, menurut Ibn Katsir dalam tafsirnya,
adalah segala kegiatan untuk melaksanakan aturan Islam, sedangkan nahi mungkar
diartikannya sebagai kegiatan yang mencegah pelaksanaan segala sesuatu yang
tidak bersumber dari aturan Islam. Di dalamnya mencakup aktivitas menyeru para
penguasa agar mereka berbuat makruf dan mencegahnya dari berbuat mungkar.
Bahkan, inilah bagian terpenting dari aktivitas amar makruf nahi mungkar.
Sebab, tidak ada kemakrufan atau kemungkaran yang lebih besar pengaruhnya
terhadap masyarakat kecuali yang dilakukan oleh para penguasa. Dari sini dapat
dipahami bahwa aktivitas amar makruf nahi mungkar, khususnya yang ditujukan
kepada para penguasa, merupakan bagian dari aktivitas politik. Oleh karena itu,
ayat di atas secara tidak langsung mengandung tuntutan kepada kaum Muslim untuk
mendirikan partai politik, yakni partai yang mendakwahkan Islam dan melakukan
amar makruf nahi mungkar.
Basis Ideologi Islam
Istilah politik yang disandang oleh partai politik Islam pemaknaannya harus tetap merujuk pada akar kata politik (siyâsah) dalam bahasa Arab, sebagaimana yang ditunjukkan dalam salah satu hadis Rasulullah saw.:
Istilah politik yang disandang oleh partai politik Islam pemaknaannya harus tetap merujuk pada akar kata politik (siyâsah) dalam bahasa Arab, sebagaimana yang ditunjukkan dalam salah satu hadis Rasulullah saw.:
Bani Israil diurus dan diatur oleh para nabi. Setiap kali
seorang nabi meninggal, nabi yang lain menggantikannya. Akan tetapi, tidak ada
nabi sesudahku; yang ada adalah para khalifah, yang kemudian akan banyak sekali
jumlahnya. (HR Muslim).
Dalam kamus al-Muhîth, kata politik mengambil akar
kata bahasa Arab sâsa, yang berarti mengatur/mengurus urusan rakyat
melalui perintah-perintah dan larangan-larangan. Dengan kata lain, politik
adalah aspek-aspek yang berhubungan dengan pengaturan (dan pengurusan) urusan
rakyat. Jadi, partai politik Islam itu adalah sekumpulan orang dari kaum Muslim
yang membentuk jamaah/partai/kelompok yang berdiri berdasarkan akidah Islam
dengan aktivitas mendakwahkan Islam serta melakukan amar makruf nahi
mungkar.
Partai Islam yang kokoh haruslah berbasis ideologi Islam.
Begitulah Nabi saw. mencontohkan. Suatu partai tidak dapat disebut partai yang
berbasis ideologi jika anggota-anggotanya berkumpul berdasarkan pengkultusan
individu pemimpin atau tokoh-tokohnya maupun doktrin-doktrin partai yang sama
sekali tidak ada realitasnya. Partai semacam ini pada umumnya mengumpulkan
anggotanya berdasarkan perasaan emosional, ras, suku, bangsa, kedaerahan,
profesi, instansi, kolega, kepentingan sesaat, bisnis, atau perkara-perkara
lain yang tidak mengandung suatu ide atau pemikiran yang jelas.
Sebaliknya, partai politik ideologis adalah kelompok yang
berdiri di atas dasar ideologi yang diimani oleh anggota-anggotanya dan hendak
direalisasikan di tengah-tengah masyarakat. Dengan kata lain, disebut partai
politik idelogis bila para pengikut partai itu sudah memahami ideologinya dan
mereka berkehendak menanamkan ideologi itu di tengah-tengah masyarakat. Dengan
demikian, ideologilah yang menjadi azas, ruh, dan jiwa partai.
Berdasarkan pemaparan di atas, setiap partai Islam yang
berjuang demi Islam tidak dapat dikatakan sebagai partai politik ideologis
Islam, kecuali jika mereka memilih dan menentukan pemikiran Islam secara jelas
dan rinci hingga mampu mewujudkan Islam sebagai sebuah sistem hidup yang akan
direalisasikan di tengah-tengah masyarakat.
Dua Jenis Pendekatan
Dalam realitasnya, ada dua jenis pendekatan partai politik, yakni pendekatan ‘pemilu’ dan pendekatan dakwah. Partai politik yang menempuh pendekatan ‘pemilu’ berupaya untuk mendapatkan ‘tiket’ turut serta sebagai peserta pemilu. Prioritas capaian yang dituju dalam jangka pendek adalah persentase perolehan suara yang berujung pada pencapaian kekuasaan. Dilihat dari segi ini, semakin banyak partai Islam, semakin banyak kerugian yang diderita umat Islam akibat terpecahnya suara. Apalagi, partai politik dengan pengertian ini tidak pernah dikenal dalam sejarah Islam sebelum adanya negara-negara nasional berpenduduk mayoritas penduduk Muslim pada awal dan pertengahan abad ini yang banyak meniru sistem yang berkembang di Eropa dan Amerika Serikat.
Dalam realitasnya, ada dua jenis pendekatan partai politik, yakni pendekatan ‘pemilu’ dan pendekatan dakwah. Partai politik yang menempuh pendekatan ‘pemilu’ berupaya untuk mendapatkan ‘tiket’ turut serta sebagai peserta pemilu. Prioritas capaian yang dituju dalam jangka pendek adalah persentase perolehan suara yang berujung pada pencapaian kekuasaan. Dilihat dari segi ini, semakin banyak partai Islam, semakin banyak kerugian yang diderita umat Islam akibat terpecahnya suara. Apalagi, partai politik dengan pengertian ini tidak pernah dikenal dalam sejarah Islam sebelum adanya negara-negara nasional berpenduduk mayoritas penduduk Muslim pada awal dan pertengahan abad ini yang banyak meniru sistem yang berkembang di Eropa dan Amerika Serikat.
Adapun pendekatan kedua lebih mengkonsentrasikan pada
penyiapan kader; pembinaan umat; pembentukan opini di tengah masyarakat tentang
berbagai masalah sosial, politik, ekonomi, dan budaya ditinjau dari kacamata
Islam; serta perjuangan politik yang ujungnya melanjutkan kembali kehidupan
Islam sebagai tuntutan masyarakat yang didorong oleh kesadarannya. Fokus dari
partai politik pendekatan kedua ini bukanlah pemilu, melainkan penumbuhan dan
pembangunan kesadaran umat tentang kehidupan Islam. Sampai di sini, semakin
banyak partai politik seperti ini akan semakin menguntungkan kaum Muslim dengan
semakin banyaknya umat yang tersadarkan dan tercerahkan dalam berbagai bidang,
termasuk politik. Mana yang dipilih?
Rasulullah saw. dalam membentuk sistem Islam di Madinah telah
menempuh metodologi yang diturunkan dari Allah SWT. Beliau melakukannya melalui
aktivitas politik yang dimulai dari mencari dukungan anggota masyarakat dari
sekelompok orang yang direkrut dan dibina dengan ilmu-ilmu ke-Islaman. Baru
kemudian beliau menyerukan masyarakat dalam rangka membentuk opini umum yang
lahir dari kesadaran umum tentang ide-ide Islam melalui jalan penetrasi
pemikiran dengan pemikiran-pemikiran yang ada di tengah-tengah masyarakat,
serta melakukan perjuangan politik menentang penguasa yang zalim, korup, penuh
tindakan kolutif, dan tidak menerapkan aturan Allah SWT. Pada tahap inilah
beliau mencari perlindungan dari umat Islam yang memiliki kemampuan ekonomi,
kekuatan, ataupun politik yang dapat mengantarkan kaum Muslim untuk menegakkan
kehidupan Islam dan menyebarkan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. (M.
Husain Abdullah, Mafahim Islamiyyah, hal. 111-134).
Ini dari satu sisi. Dilihat dari sisi lainnya, bukti-bukti
sejarah menunjukkan bahwa bila yang menang dalam pemilu itu kalangan yang
tampak membawa Islam, sekalipun sah secara demokrasi, akhirnya dihancurkan
juga. Pelajaran berharga dapat dilihat pada kasus Aljazair dan Turki. FIS di
Aljazair yang berhasil memenangkan pemilu tahap pertama secara konstitusional
dan berpeluang menang mutlak pada pemilu tahap dua akhirnya malah dibubarkan
dan bahkan dianggap sebagai partai terlarang. Prancis dan Amerika mendukung hal itu; negara-negara
Barat lain tidak ada satu pun yang protes. Kasus senada terjadi pada Partai
Refah di Turki.
Peristiwa sejarah di atas memberikan gambaran bahwa
negara-negara imperialis dan boneka-boneka mereka dari kalangan penguasa Muslim
tidak mungkin memberikan kesempatan kepada kaum Muslim untuk meraih kemenangan
dan menerapkan aturan Allah SWT. Langkah demokrasi akan memberikan kebebasan
pada siapa pun untuk menang, kecuali Islam. Kecurigaan dan antipati pun belum
sirna. Berdasarkan hal-hal di atas, partai politik Islam dengan pendekatan
dakwahlah yang lebih memungkinkan mendatangkan keberhasilan.
Aktivitas Umum Partai Politik Islam
Berdasarkan konsepsi partai politik Islam lewat pendekatan dakwah, suatu partai politik melakukan aktivitas-aktivitas seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. sebagai berikut:
Berdasarkan konsepsi partai politik Islam lewat pendekatan dakwah, suatu partai politik melakukan aktivitas-aktivitas seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. sebagai berikut:
1.
Rekrutmen, pengkaderan, dan
pembinaan yang intensif melalui kajian-kajian intensif yang terstruktur,
sistematis, dan berkelanjutan untuk anggota dan pengikut partai. Ini dilakukan
dalam konteks pengembangan dan penguatan struktur partai. Dalam waktu
bersamaan, kajian-kajian intensif ini mampu melahirkan para anggota yang
memiliki kepribadian Islam tinggi dan mulia.
2.
Pembinaan umum bagi
masyarakat melalui berbagai bentuk kegiatan, seperti ceramah umum, dialog,
diskusi, dll; di masjid-masjid, sekolah, perguruan tinggi, dan tempat umum
lainnya. Di samping itu disampaikan pula melalui mass media, cetak maupun
elektronik, buku-buku, selebaran, dan sebagainya. Tujuannya adalah untuk
membentuk opini Islam di tengah-tengah umat sekaligus agar tercipta kesadaran
politik di tengah-tengah mereka. Target dijalankannya aktivitas ini adalah
membentuk dukungan dari masyarakat dan mempersiapkan masyarakat Islam yang
hendak diwujudkan. Dengan begitu diharapkan loyalitas mereka hendaknya pada
Islam saja dan keterikatan mereka hanya pada syariat Islam saja.
3.
Pergolakan dan perang
pemikiran dalam rangka menentang ideologi-ideologi di luar Islam, baik
sekularisme-kapitalisme maupun sosialisme-komunisme; termasuk sistem hidup,
perundang-undangan, ataupun tradisi dan perasaan kufur lainnya yang tengah
melanda kaum Muslim saat ini. Dengan begitu, umat akan memiliki akidah yang
bersih, pemikiran yang jernih, jiwa yang mulia, serta perasaan yang benar dan
islami.
4.
Melakukan perjuangan
politik dalam bentuk:
o Menghadapi dan melepaskan umat dari seluruh bentuk penjajahan,
baik model lama (penjajahan militer/fisik) maupun penjajahan modern (penjajahan
dalam aspek politik, ekonomi, dan budaya). Menentang dan mengungkap makar jahat
para penguasa di negeri-negeri Islam maupun negeri-negeri lain yang secara
sengaja berusaha menghancurkan Islam dan kaum Muslim yang nota bene adalah
rakyat mereka sendiri yang telah memberikan kepercayaan kepada mereka.
o Mengungkap bahaya dan kolaborasi imperialis Barat kafir dengan
antek-anteknya dari kalangan penguasa maupun tokoh-tokoh masyarakat di
negeri-negeri Islam. Mengkritik dan menasihati mereka agar kembali menerapkan
aturan (syariat) Islam yang mulia dan adil atau mengganti mereka hingga aturan
Islam tegak dan menyelimuti seluruh lapisan masyarakat.
5.
Mengutamakan kemaslahatan
umat/kaum Muslim dan melayani seluruh urusannya sesuai dengan hukum aturan
Islam. Kemaslahatan umat yang paling vital dan
penting saat ini adalah penerapan aturan Islam dalam seluruh aspek kehidupan
masyarakat maupun negara.
Inilah gambaran sekilas tentang politik dan partai
politik dalam ajaran Islam. Ironis memang! Wahai Kaum Muslim, ingatlah firman
Allah SWT:
Inilah jalan-Ku yang lurus. Oleh karena itu, ikutilah jalan itu, dan janganlah kalian
mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan tersebut mencerai-beraikan
kalian dari jalan-Nya. Yang
demikian itu diperintahkan Allah kepada kalian agar kalian bertakwa. (QS al-An‘am [6]: 153).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar