Jumat, 30 Januari 2015

FAKTA DAN HUKUM SYARA' TENTANG PERLINDUNGAN HAK CIPTA


Perlindungan hak cipta adalah ide yang berasal dari ideologi kapitalisme. Negara-negara kapitalis–industri telah membuat konvensi Paris pada tahun 1883 dan konvensi Bern pada tahun 1886, tentang perlindungan hak cipta. Selain kesepakatan-kesepakatan tersebut, mereka juga membuat beberapa kesepakatan lain yang jumlahnya tidak kurang dari 20 kesepakatan. Kemudian terbentuklah Lembaga Internasional untuk Hak Cipta yang bernama WIPO (World Intellectual Property Organization), yang bertugas mengontrol dan menjaga kesepakatan tersebut. Pada tahun 1995, WTO telah mengesahkan adanya perlindungan hak cipta, dan WIPO menjadi salah satu bagiannya. WTO mensyaratkan bagi negara-negara yang ingin bergabung dengannya, harus terikat dengan perlindungan hak cipta, dan membuat undang-undang terkait guna mengatur perlindungan hak cipta.
Undang-undang Hak Cipta yang dilegalisasi oleh negara-negara tersebut, harus memberikan hak kepada individu untuk melindungi hasil ciptaannya, serta melarang orang lain untuk memanfaatkan ciptaan tersebut kecuali dengan izinnya. Negara harus menjaga hak tersebut dan memberikan sanksi bagi setiap orang yang melanggarnya dengan sanksi penjara puluhan tahun, baik ketika (penciptanya) masih hidup atau telah mati. Undang-undang yang dilegalisasi juga harus mencakup undang-undang perlindungan (bagi) perusahaan-perusahaan pemegang hak patent.
Maksud dari karya cipta adalah, pemikiran atau pengetahuan yang diciptakan oleh seseorang, dan belum ditemukan oleh orang lain sebelumnya. Bagian terpenting dari karya-karya cipta tersebut adalah pengetahuan yang bisa dimanfaatkan dalam perindustrian serta produksi barang dan jasa, dan apa yang saat ini dinamakan dengan 'teknologi'.



Dengan demikian, orang-orang kapitalis menganggap bahwa pengetahuan-pengetahuan individu sebagai 'harta' yang boleh dimiliki, dan bagi orang yang mengajarkan atau mempelajari pengetahuan tersebut tidak diperbolehkan memanfaatkannya, kecuali atas izin pemegang patent dan ahli warisnya, sesuai dengan standar-standar tertentu. Jika seseorang membeli buku, 'disket' atau 'kaset', yang mengandung pemikiran baru, maka ia berhak memanfaatkan sebatas apa yang dibelinya saja, dalam batas-batas tertentu, seperti membaca atau mendengarkan. Dia dilarang, berdasarkan Undang-undang Perlindungan Hak Cipta, untuk memanfaatkannya dalam perkara-perkara lain, seperti mencetak, dan menyalin untuk diperjualbelikan atau disewakan.
Lalu apa hukum syara' tentang kepemilikan individu (private property) terhadap barang-barang dan pemikiran-pemikiran ?
Islam telah mengatur kepemilikan individu dengan suatu pandangan bahwa kepemilikan tersebut merupakan salah satu penampakkan dari naluri mempertahankan diri (gharizah baqa'). Atas dasar itu, Islam mensyariatkan bagi kaum Muslim 'kepemilikan' untuk memenuhi naluri ini, yang akan menjamin eksistensi dan kehidupan yang lebih baik. Islam membolehkan bagi seorang Muslim untuk memiliki harta sebanyak-banyaknya, seperti: binatang ternak, tempat tinggal, dan hasil bumi. Di sisi lain Islam mengaharamkan seorang Muslim untuk memiliki barang-barang, seperti: khamr, daging babi, dan narkoba. Islam telah mendorong seorang Muslim untuk berfikir dan menuntut ilmu, begitu juga Islam membolehkan seorang Muslim untuk mengambil upah karena mengajar orang lain. Islam juga telah mensyariatkan bagi seorang muslim sebab-sebab yang dibolehkan untuk memiliki suatu barang, seperti: jual-beli, perdagangan, dan waris; dan mengharamkan seorang Muslim sebab-sebab (kepemilikan, penerj.) lain (yang bertentangan dengan Islam, penerj.), seperti: riba, judi, dan jual beli valas (tidak secara tunai dan langsung-penerj).
Kepemilikan dalam Islam, secara umum diartikan sebagai ijin Syaari' (Allah) untuk memanfaatkan barang. Sedangkan kepemilikan individu adalah hukum syara' yang mengatur barang atau jasa yang disandarkan kepada individu; yang memungkinkannya untuk memanfaatkan barang dan mengambil kompensasi darinya. Kepemilikan individu dalam Islam tidak ditetapkan kecuali atas dasar ketetapan hukum syara' bagi kepemilikan tersebut, dan penetapan syara' bagi sebab kepemilikan tersebut. Karena itu, hak untuk memiliki sesuatu tidak muncul dari sesuatu itu sendiri, atau manfaatnya; akan tetapi muncul dari ijin Syaari' untuk memilikinya dengan salah satu sebab kepemilikan yang syar'iy, seperti jual-beli dan hadiah.
Islam telah memberikan kekuasaan kepada individu atas apa yang dimilikinya, yang memungkinkan ia dapat memanfaatkannya sesuai dengan hukum syara'. Islam juga telah mewajibkan negara agar memberikan perlindungan atas kepemilikan individu dan menjatuhkan sanksi bagi setiap orang yang melanggar kepemilikan orang lain.
Mengenai kepemilikan atas Pemikiran Baru, mencakup dua jenis dari kepemilikan individu. Pertama, sesuatu yang terindera dan teraba, seperti merk dagang dan buku. Kedua, sesuatu yang terindera tetapi tidak teraba, seperti pandangan ilmiah dan pemikiran jenius yang tersimpan dalam otak seorang pakar.
Apabila kepemilikan tersebut berupa kepemilikan jenis pertama, seperti merk dagang yang mubah, maka seorang individu boleh memilikinya, serta memanfaatkannya dengan cara mengusahakannya atau menjual-belikannya. Negara wajib menjaga hak individu tersebut, sehingga memungkinkan baginya untuk mengelola dan mencegah orang lain untuk melanggar hak-haknya. Sebab, dalam Islam, merk dagang memiliki nilai material, karena keberadaanya sebagai salah satu bentuk perniagaan yang diperbolehkan secara syar'iy. Merk dagang adalah Label Product yang dibuat oleh pedagang atau industriawan bagi produk-produknya untuk membedakan dengan produk yang lain, yang dapat membantu para pembeli dan konsumen untuk mengenal produknya. Definisi ini tidak mencakup merk-merk dagang yang sudah tidak digunakan lagi, sebagaimana oleh sebagian undang-undang didefinisikan sebagai: “Merk apapun yang digunakan atau merk yang niatnya hendak digunakan.” Sebab, nilai merk dagang dihasilkan dari keberadaanya sebagai bagian dari aktivitas perdagangan secara langsung. Seseorang boleh menjual merk dagangnya. Jika ia telah menjual kepada orang lain, manfaat dan pengelolaannya berpindah kepada pemilik baru.
Adapun mengenai kepemilikan fikriyyah, yaitu jenis kepemilikan kedua, seperti pandangan ilmiah atau pemikiran briliant, yang belum ditulis pemiliknya dalam kertas, atau belum direkamnya dalam disket, atau pita kaset, maka semua itu adalah milik individu bagi pemiliknya. Ia boleh menjual atau mengajarkannya kepada orang lain, jika hasil pemikirannya tersebut memiliki nilai menurut pandangan Islam. Bila hal ini dilakukan, maka orang yang mendapatkannya dengan sebab-sebab syar'iy boleh mengelolanya tanpa terikat dengan pemilik pertama, sesuai dengan hukum-hukum Islam. Hukum ini juga berlaku bagi semua orang yang membeli buku, disket, atau pita kaset yang mengandung materi pemikiran, baik pemikiran ilmiah ataupun sastra. Demikian pula, ia berhak untuk membaca dan memanfaatkan informasi-informasi yang ada di dalamnya. Ia juga berhak mengelolanya, baik dengan cara menyalin, menjual atau menghadiahkannya, akan tetapi ia tidak boleh mengatasnamakan (menasabkan) penemuan tersebut pada selain pemiliknya. Sebab, pengatasnamaan (penisbahan) kepada selain pemiliknya adalah kedustaan dan penipuan, di mana keduanya diharamkan secara syar'iy. Oleh karena itu, hak perlindungan atas kepemilikan fikriyyah merupakan hak yang bersifat maknawi, yang hak pengatasnamaannya dimiliki oleh pemiliknya. Orang lain boleh memanfaatkannya tanpa seijin dari pemiliknya. Jadi, hak maknawi ini hakekatnya digunakan untuk meraih nilai akhlaq. Akan tetapi, orang-orang kapitalis telah memfokuskan seluruh aktivitas dan undang-undang mereka untuk meraih nilai materi saja. Nilai materi itu pula yang digunakan sebagai totok ukur (standar) ideologi mereka dalam kehidupan. Bahkan mereka telah mengabaikan nilai-nilai ruhiyyah, insaniyyah (kemanusiaan), dan akhlaq yang difitrahkan dalam diri manusia untuk meraih nilai-nilai materi. Mereka telah menenggelamkan orang alim dengan keburukan-keburukan dan kelemahan-kelemahan.
Adapun, syarat-syarat yang ditetapkan oleh hukum-hukum positif, yang membolehkan pengarang buku, atau pencipta program, atau para penemu untuk menetapkan syarat-syarat tertentu atas nama perlindungan hak cipta, seperti halnya hak cetak dan proteksi penemuan (patent), merupakan syarat-syarat yang tidak syar'iy, dan tidak wajib terikat dengan syarat-syarat tersebut. Sebab, berdasarkan akad jual-beli dalam Islam, seperti halnya hak kepemilikan yang diberikan kepada pembeli, pembeli juga diberi hak untuk mengelola apa yang ia miliki (yang telah ia beli, penej.). Setiap syarat yang bertentangan dengan akad (syar'iy) hukumnya haram, walaupun pembelinya rela meski dengan seratus syarat. Dari 'Aisyah ra:
“Barirah mendatangi seorang perempuan, yaitu seorang mukatab yang akan dibebaskan oleh tuannya jika membayar 9 awaq (1 awaq=12 dirham=28 gr). Kemudian Barirah berkata kepadanya, “Jika tuanmu bersedia, aku akan membayarnya untuk mereka jumlahnya, maka loyalitas [mu] akan menjadi milikku.” Mukatab tersebut lalu mendatangi tuannya, dan menceritakan hal itu kepada mereka. Kemudian mereka menolak dan mensyaratkan agar loyalitas [budak tersebut] tetap menjadi milik mereka. Hal itu kemudian diceritakan 'Aisyah kepada Nabi saw. Rasulullah saw bersabda: “Lakukanlah.” Kemudian Barirah melaksanakan perintah tersebut dan Rasulullah saw berdiri, lalu berkhutbah di hadapan manusia. Beliau segera memuji Allah dan menyanjung namaNya. Kemudian bersabda: “Tidak akan dipedulikan, seseorang yang mensyaratkan suatu syarat yang tidak sesuai dengan apa yang tercantum dalam Kitabullah.” Kemudian beliau bersabda lagi: “Setiap syarat yang tidak ada dalam Kitabullah, maka syarat tersebut adalah bathil. Kitabullah lebih berhak, dan syaratnya (yang tercantum dalam Kitabullah) bersifat mengikat. Loyalitas dimiliki oleh orang yang membebaskan.”
Mantuq (teks) hadist ini menunjukkan bahwa syarat yang bertentangan dengan apa yang tecantum dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul, tidak boleh diikuti. Dan selama syarat perlindungan hak cipta menjadikan barang yang dijual (disyaratkan) sebatas pada suatu pemanfaatan tertentu saja, tidak untuk pemanfaatan yang lain, maka syarat tersebut adalah batal dan bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Sebab, keberadaannya bertentangan dengan ketetapan aqad jual-beli syar'iy yang memungkinkan pembeli untuk mengelola dan memanfaatkan barang dengan cara apapun yang sesuai syar'iy, seperti jual-beli, perdagangan, hibah, dan lain-lain. Syarat yang mengharamkan sesuatu yang halal adalah syarat yang batil, berdasarkan sabda Rasulullah saw:
Kaum Muslim terikat atas syarat-syarat mereka, kecuali syarat yang mengharamkan sesuatu yang halal dan menghalalkan yang haram.”
Oleh karena itu, secara syar'iy tidak boleh ada syarat-syarat hak cetak, menyalin, atau proteksi atas suatu penemuan. Setiap individu berhak atas hal itu (memanfaatkan produk-produk intelektual). Pemikir, ilmuwan, atau penemu suatu program, mereka berhak memiliki pengetahuannya selama pengetahuan tersebut adalah miliknya dan tidak diajarkan kepada orang lain. Adapun setelah mereka memberikan ilmunya kepada orang lain dengan cara mengajarkan, menjualnya, atau dengan cara lain, maka ilmunya tidak lagi menjadi miliknya lagi. Dalam hal ini, kepemilikinnya telah hilang dengan dijualnya ilmu tersebut, sehingga mereka tidak berwenang melarang orang lain untuk memanfaatkannya; yaitu setelah ilmu tersebut berpindah kepada orang lain dengan sebab-sebab syar'iy, seperti dengan jual-beli atau yang lainnya.
Adapun peringatan yang tercantum pada beberapa 'disket komputer', yakni tidak diperbolehkan mengcopy program; di mana pemiliknya telah melarang orang lain untuk mengcopinya kecuali atas izinnya; berdasarkan sabda Rasulullah saw. :
Kaum Muslim terikat atas syarat-syarat mereka
dan sabda Beliau :
tidak halal harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan dirinya
juga sabdanya :
barang siapa mendapatkan paling awal sesuatu yang mubah, maka ia adalah orang yang paling berhak.
Maka kesalahan 'peringatan' tersebut terletak pada pengumuman yang menggunakan lafazd 'syarat-syarat mereka', tanpa ada pengecualian sebagaimana yang telah dikecualikan oleh Rasul dengan sabdanya, “…kecuali syarat yang mengharamkan sesuatu yang halal…”. Dua hadits terakhir tidak sesuai dengan manath kasus tersebut, sebab hadits, '…tidak halal harta seseorang …”, manath-nya adalah harta milik orang lain, sedangkan 'disket komputer' telah menjadi milik pembeli. Adapun hadits, “barang siapa mendapatkan paling awal sesuatu yang mubah, maka ia orang yang paling berhak,” manath-nya adalah harta milik umum, sebagaimana hadits, “(Kota) Mina menjadi hak bagi siapa saja yang datang lebih dahulu (untuk menempatinya)”. Sedangkan 'disket komputer' tergolong kepemilikan individu.
Sesungguhnya, Undang-undang Perlindungan Hak Cipta merupakan salah satu cara penjajahan ekonomi dan peradaban yang telah digulirkan oleh negara-negara kapitalis besar kepada negara-negara di seluruh dunia dan penduduknya melalui WTO. Setelah negara-negara tersebut berhasil menguasai teknologi –yakni pengetahuan yang berhubungan dengan industri, produksi barang dan jasa– mereka membuat undang-undang agar bisa 'menimbun' pengetahuan-pengetahuan tersebut, dan mencegah negara-negara lain mengambil manfaat hakiki dari penemuan tersebut; agar negara-negara lain tetap menjadi pasar konsumtif bagi produk-produk mereka dan tunduk dibawah pengaturannya; juga agar mereka bisa mencuri kekayaan dan sumberdaya alam negara-negara kecil atas nama investasi dan globalisasi.
Sesungguhnya umat Islam adalah umat yang agung dengan kekuatan kepemimpinanya. Orang-orang kafir telah menyadari kekuatan dan bahaya umat Islam bagi mereka apabila umat Islam kembali kepada ideologi Islam. Oleh karena itu, mereka memaksakan kepada umat Islam hukum-hukum positif mereka, seperti Undang-undang Perlindungan Hak Cipta dan yang sejenisnya. Tujuannya, untuk mencegah (umat Islam mendapatkan, penerj.) sebab-sebab kekuatan, dan menjauhkan umat Islam dari ideologi Islam. Maka dari itu, kaum Muslim harus menyadari bahaya hukum-hukum positif tersebut bagi agama mereka dan kehidupan mereka. Kaum Muslim-lah yang dijadikan sasaran mereka. Mereka telah 'menimbun' pengetahuan-pengetahuan ilmiah untuk mencegah kaum Muslim mendapatkan manfaat-manfaatnya. Semua itu dilakukan agar kaum Muslim tetap terbelakang dan tidak dapat bangkit dengan landasan Islam. Berdasarkan hal ini, kaum Muslim harus menolak dan tidak boleh terikat dengan hukum-hukum tersebut. Sebab, hukum-hukum tersebut bukan berasal dari Islam, dan dibuat untuk menimpakan kehancuran bagi umat Islam.
Kaum Muslim wajib mengetahui setiap kunci dan nafas dalam rangka menegakkan kembali Negara Khilafah yang akan mengembalikan kemuliaan, kesatuan, dan kekuatan mereka. Dan agar mereka mampu membersihkan dunia dari kenistaan dan imperialisme kapitalis untuk menuju keadilan Islam. Allah Swt berfirman:
Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al Qur'an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama (ideologi dan pemikiran), walaupun orang-orang musyrik tidak menyukainya. (QS. at-Taubah [9]:33)

HIZBUT TAHRIR WILAYAH YORDANIA
21 SYAWAL 1421 H/16 JANUARI 2001 M

MERUMUSKAN KEMBALI PARPOL ISLAM
Allah SWT berfirman:
Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan al-Khayr (Islam), memerintahkan kebajikan, dan mencegah kemungkaran. Mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS Ali Imran [3]: 104).


Ketika menafsirkan kata ummah dalam ayat di atas, Syaikh Muhammad Abduh dalam tafsir Al-Manar menyebutkan, “Obyek seruan perintah ini adalah seluruh jamaah orang-orang Mukmin yang mendapat tugas dan kewajiban untuk memilih kelompok yang akan melakukan kewajiban ini. Di sini ada dua hal yang terkandung. Pertama, perkara ini wajib bagi semua kaum Muslim. Kedua, perkara ini wajib bagi sekelompok orang yang mereka pilih.”
Lebih lanjut, beliau menegaskan bahwa makna yang tepat untuk kata umah dalam ayat ini adalah suatu kelompok yang khusus dibentuk dari individu-individu yang memiliki hubungan penyatuan sekaligus merupakan kesatuan yang menyatukan mereka seperti layaknya anggota badan dalam tubuh manusia.
Senada dengan pendapat di atas, Syekh Abdul Qadim Zallum, dalam bukunya Hizb At-Tahrir, mengomentari bahwa bentuk perintah untuk membentuk kelompok (partai) dalam ayat di atas sekadar menunjukkan adanya tuntutan (thalab) dari Allah SWT, tidak menunjukkan adanya kewajiban. Namun, lanjutnya, terdapat banyak indikasi (qarînah) dari selain ayat itu yang menunjukkan bahwa tuntutan Allah SWT tentang adanya kelompok itu wajib. Salah satu qarînah tersebut adalah Hadis Nabi saw. yang berbunyi:
Demi Zat yang diriku berada dalam genggaman tangan-Nya, sungguh kalian mempunyai dua pilihan, yaitu: kalian melakukan amar makruf nahi mungkar ataukah Allah akan mendatangkan siksa dari sisi-Nya yang akan menimpa kalian, kemudian setelah itu kalian berdoa, namun doa itu tidak akan dikabulkan. (HR at-Tirmidzi).
Aktivitas amar makruf, menurut Ibn Katsir dalam tafsirnya, adalah segala kegiatan untuk melaksanakan aturan Islam, sedangkan nahi mungkar diartikannya sebagai kegiatan yang mencegah pelaksanaan segala sesuatu yang tidak bersumber dari aturan Islam. Di dalamnya mencakup aktivitas menyeru para penguasa agar mereka berbuat makruf dan mencegahnya dari berbuat mungkar. Bahkan, inilah bagian terpenting dari aktivitas amar makruf nahi mungkar. Sebab, tidak ada kemakrufan atau kemungkaran yang lebih besar pengaruhnya terhadap masyarakat kecuali yang dilakukan oleh para penguasa. Dari sini dapat dipahami bahwa aktivitas amar makruf nahi mungkar, khususnya yang ditujukan kepada para penguasa, merupakan bagian dari aktivitas politik. Oleh karena itu, ayat di atas secara tidak langsung mengandung tuntutan kepada kaum Muslim untuk mendirikan partai politik, yakni partai yang mendakwahkan Islam dan melakukan amar makruf nahi mungkar.
Basis Ideologi Islam
Istilah politik yang disandang oleh partai politik Islam pemaknaannya harus tetap merujuk pada akar kata politik (siyâsah) dalam bahasa Arab, sebagaimana yang ditunjukkan dalam salah satu hadis Rasulullah saw.:
Bani Israil diurus dan diatur oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, nabi yang lain menggantikannya. Akan tetapi, tidak ada nabi sesudahku; yang ada adalah para khalifah, yang kemudian akan banyak sekali jumlahnya. (HR Muslim).
Dalam kamus al-Muhîth, kata politik mengambil akar kata bahasa Arab sâsa, yang berarti mengatur/mengurus urusan rakyat melalui perintah-perintah dan larangan-larangan. Dengan kata lain, politik adalah aspek-aspek yang berhubungan dengan pengaturan (dan pengurusan) urusan rakyat. Jadi, partai politik Islam itu adalah sekumpulan orang dari kaum Muslim yang membentuk jamaah/partai/kelompok yang berdiri berdasarkan akidah Islam dengan aktivitas mendakwahkan Islam serta melakukan amar makruf nahi mungkar.
Partai Islam yang kokoh haruslah berbasis ideologi Islam. Begitulah Nabi saw. mencontohkan. Suatu partai tidak dapat disebut partai yang berbasis ideologi jika anggota-anggotanya berkumpul berdasarkan pengkultusan individu pemimpin atau tokoh-tokohnya maupun doktrin-doktrin partai yang sama sekali tidak ada realitasnya. Partai semacam ini pada umumnya mengumpulkan anggotanya berdasarkan perasaan emosional, ras, suku, bangsa, kedaerahan, profesi, instansi, kolega, kepentingan sesaat, bisnis, atau perkara-perkara lain yang tidak mengandung suatu ide atau pemikiran yang jelas.
Sebaliknya, partai politik ideologis adalah kelompok yang berdiri di atas dasar ideologi yang diimani oleh anggota-anggotanya dan hendak direalisasikan di tengah-tengah masyarakat. Dengan kata lain, disebut partai politik idelogis bila para pengikut partai itu sudah memahami ideologinya dan mereka berkehendak menanamkan ideologi itu di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, ideologilah yang menjadi azas, ruh, dan jiwa partai.
Berdasarkan pemaparan di atas, setiap partai Islam yang berjuang demi Islam tidak dapat dikatakan sebagai partai politik ideologis Islam, kecuali jika mereka memilih dan menentukan pemikiran Islam secara jelas dan rinci hingga mampu mewujudkan Islam sebagai sebuah sistem hidup yang akan direalisasikan di tengah-tengah masyarakat.
Dua Jenis Pendekatan
Dalam realitasnya, ada dua jenis pendekatan partai politik, yakni pendekatan ‘pemilu’ dan pendekatan dakwah. Partai politik yang menempuh pendekatan ‘pemilu’ berupaya untuk mendapatkan ‘tiket’ turut serta sebagai peserta pemilu. Prioritas capaian yang dituju dalam jangka pendek adalah persentase perolehan suara yang berujung pada pencapaian kekuasaan. Dilihat dari segi ini, semakin banyak partai Islam, semakin banyak kerugian yang diderita umat Islam akibat terpecahnya suara. Apalagi, partai politik dengan pengertian ini tidak pernah dikenal dalam sejarah Islam sebelum adanya negara-negara nasional berpenduduk mayoritas penduduk Muslim pada awal dan pertengahan abad ini yang banyak meniru sistem yang berkembang di Eropa dan Amerika Serikat.
Adapun pendekatan kedua lebih mengkonsentrasikan pada penyiapan kader; pembinaan umat; pembentukan opini di tengah masyarakat tentang berbagai masalah sosial, politik, ekonomi, dan budaya ditinjau dari kacamata Islam; serta perjuangan politik yang ujungnya melanjutkan kembali kehidupan Islam sebagai tuntutan masyarakat yang didorong oleh kesadarannya. Fokus dari partai politik pendekatan kedua ini bukanlah pemilu, melainkan penumbuhan dan pembangunan kesadaran umat tentang kehidupan Islam. Sampai di sini, semakin banyak partai politik seperti ini akan semakin menguntungkan kaum Muslim dengan semakin banyaknya umat yang tersadarkan dan tercerahkan dalam berbagai bidang, termasuk politik. Mana yang dipilih?
Rasulullah saw. dalam membentuk sistem Islam di Madinah telah menempuh metodologi yang diturunkan dari Allah SWT. Beliau melakukannya melalui aktivitas politik yang dimulai dari mencari dukungan anggota masyarakat dari sekelompok orang yang direkrut dan dibina dengan ilmu-ilmu ke-Islaman. Baru kemudian beliau menyerukan masyarakat dalam rangka membentuk opini umum yang lahir dari kesadaran umum tentang ide-ide Islam melalui jalan penetrasi pemikiran dengan pemikiran-pemikiran yang ada di tengah-tengah masyarakat, serta melakukan perjuangan politik menentang penguasa yang zalim, korup, penuh tindakan kolutif, dan tidak menerapkan aturan Allah SWT. Pada tahap inilah beliau mencari perlindungan dari umat Islam yang memiliki kemampuan ekonomi, kekuatan, ataupun politik yang dapat mengantarkan kaum Muslim untuk menegakkan kehidupan Islam dan menyebarkan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. (M. Husain Abdullah, Mafahim Islamiyyah, hal. 111-134).
Ini dari satu sisi. Dilihat dari sisi lainnya, bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa bila yang menang dalam pemilu itu kalangan yang tampak membawa Islam, sekalipun sah secara demokrasi, akhirnya dihancurkan juga. Pelajaran berharga dapat dilihat pada kasus Aljazair dan Turki. FIS di Aljazair yang berhasil memenangkan pemilu tahap pertama secara konstitusional dan berpeluang menang mutlak pada pemilu tahap dua akhirnya malah dibubarkan dan bahkan dianggap sebagai partai terlarang. Prancis dan Amerika mendukung hal itu; negara-negara Barat lain tidak ada satu pun yang protes. Kasus senada terjadi pada Partai Refah di Turki.
Peristiwa sejarah di atas memberikan gambaran bahwa negara-negara imperialis dan boneka-boneka mereka dari kalangan penguasa Muslim tidak mungkin memberikan kesempatan kepada kaum Muslim untuk meraih kemenangan dan menerapkan aturan Allah SWT. Langkah demokrasi akan memberikan kebebasan pada siapa pun untuk menang, kecuali Islam. Kecurigaan dan antipati pun belum sirna. Berdasarkan hal-hal di atas, partai politik Islam dengan pendekatan dakwahlah yang lebih memungkinkan mendatangkan keberhasilan.
Aktivitas Umum Partai Politik Islam
Berdasarkan konsepsi partai politik Islam lewat pendekatan dakwah, suatu partai politik melakukan aktivitas-aktivitas seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. sebagai berikut:
1.     Rekrutmen, pengkaderan, dan pembinaan yang intensif melalui kajian-kajian intensif yang terstruktur, sistematis, dan berkelanjutan untuk anggota dan pengikut partai. Ini dilakukan dalam konteks pengembangan dan penguatan struktur partai. Dalam waktu bersamaan, kajian-kajian intensif ini mampu melahirkan para anggota yang memiliki kepribadian Islam tinggi dan mulia.
2.     Pembinaan umum bagi masyarakat melalui berbagai bentuk kegiatan, seperti ceramah umum, dialog, diskusi, dll; di masjid-masjid, sekolah, perguruan tinggi, dan tempat umum lainnya. Di samping itu disampaikan pula melalui mass media, cetak maupun elektronik, buku-buku, selebaran, dan sebagainya. Tujuannya adalah untuk membentuk opini Islam di tengah-tengah umat sekaligus agar tercipta kesadaran politik di tengah-tengah mereka. Target dijalankannya aktivitas ini adalah membentuk dukungan dari masyarakat dan mempersiapkan masyarakat Islam yang hendak diwujudkan. Dengan begitu diharapkan loyalitas mereka hendaknya pada Islam saja dan keterikatan mereka hanya pada syariat Islam saja.
3.     Pergolakan dan perang pemikiran dalam rangka menentang ideologi-ideologi di luar Islam, baik sekularisme-kapitalisme maupun sosialisme-komunisme; termasuk sistem hidup, perundang-undangan, ataupun tradisi dan perasaan kufur lainnya yang tengah melanda kaum Muslim saat ini. Dengan begitu, umat akan memiliki akidah yang bersih, pemikiran yang jernih, jiwa yang mulia, serta perasaan yang benar dan islami.
4.     Melakukan perjuangan politik dalam bentuk:
o    Menghadapi dan melepaskan umat dari seluruh bentuk penjajahan, baik model lama (penjajahan militer/fisik) maupun penjajahan modern (penjajahan dalam aspek politik, ekonomi, dan budaya). Menentang dan mengungkap makar jahat para penguasa di negeri-negeri Islam maupun negeri-negeri lain yang secara sengaja berusaha menghancurkan Islam dan kaum Muslim yang nota bene adalah rakyat mereka sendiri yang telah memberikan kepercayaan kepada mereka.
o    Mengungkap bahaya dan kolaborasi imperialis Barat kafir dengan antek-anteknya dari kalangan penguasa maupun tokoh-tokoh masyarakat di negeri-negeri Islam. Mengkritik dan menasihati mereka agar kembali menerapkan aturan (syariat) Islam yang mulia dan adil atau mengganti mereka hingga aturan Islam tegak dan menyelimuti seluruh lapisan masyarakat.
5.     Mengutamakan kemaslahatan umat/kaum Muslim dan melayani seluruh urusannya sesuai dengan hukum aturan Islam. Kemaslahatan umat yang paling vital dan penting saat ini adalah penerapan aturan Islam dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat maupun negara.
Inilah gambaran sekilas tentang politik dan partai politik dalam ajaran Islam. Ironis memang! Wahai Kaum Muslim, ingatlah firman Allah SWT:
Inilah jalan-Ku yang lurus. Oleh karena itu, ikutilah jalan itu, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan tersebut mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepada kalian agar kalian bertakwa. (QS al-An‘am [6]: 153).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar