Oleh: Julian
Tumbangnya
Soeharto dan berkembangnya gerakan "reformasi" sudah berjalan
sebegitu jauh sampai sebagian aktivis mulai merenungkan cara-cara untuk
menjalankan sebuah revolusi yang akan menghilankan semua aspek rezim Orba. Ini
memang merupakan kemajuan yang luar biasa di kancah politik Indonesia. Akan
tetapi, istilah "revolusi" itu memiliki berbagai artian.
Anggapan
yang sangat umum di antara golongan aktivis yang berhaluan kiri saat ini
adalah, bahwa Indonesia sedang melewati tahap "demokratis". Menurut
sudut pandang ini, tahap demokratis baru akan selesai saat demokrasi
parlementer diterapkan, dwifungsi ABRI dicabut dan Soeharto serta
kroni-kroninya diadili. Persoalan yang dianggap paling penting dalam tahap
demokratis adalah masalah politik. Dan seusai tahap itu tahap perjuangan
sosialis bisa dimulai.
Rasanya
hal ini menonjolkan pengaruh tulisan Lenin "Dua Taktik Sosial
Demokrasi" yang menyatakan pikiran strategis partai Bolshevik sebelum
revolusi tahan 1917. Sebenarnya, pikiran yang diajukan oleh Lenin dalam
"Dua Taktik" sudah ditinggalkannya begitu dia melihat awal revolusi
itu secara nyata.
Lenin
dan Trotsky dalam revolusi di Rusia
Perkembangan
sejarah memang harus melalui berbagai tahapan. Sosialisme hanya mungkin
berdasarkan produktivas kerja yang tinggi, dan produktivitas tinggi tersebut
adalah sebagai akibat dari pertumbuhan ekonomi secara dahsyat yang dijalankan
oleh kapitalisme.
Selain itu, kapitalisme menimbulkan kelas buruh, serta menerapkan demokrasi parlementer dan menciptakan kondisi di mana kelas buruh itu bisa berorganisir dan berjuang. Sehingga di tingkat global, umat manusia jelas harus melewati tahap kapitalis (yang sekaligus merupakan tahap demokratis-borjuis) sebelum masyarakat sosialis dapat tercapai.
Selain itu, kapitalisme menimbulkan kelas buruh, serta menerapkan demokrasi parlementer dan menciptakan kondisi di mana kelas buruh itu bisa berorganisir dan berjuang. Sehingga di tingkat global, umat manusia jelas harus melewati tahap kapitalis (yang sekaligus merupakan tahap demokratis-borjuis) sebelum masyarakat sosialis dapat tercapai.
Namun
selama dua abad lebih, umat manusia juga menyaksikan bahwa sistem kapitalis
selalu berkembang secara sangat tidak merata. Demokrasi parlementer dan
kemakmuran (relatif) buat kelas buruh di barat berjalan disamping penindasan imperialis,
kediktaturan dan kesengsaraan di banyak negeri lainnya. Para kapitalis menanam
modal mereka di negeri yang masih sedang berkembang seperti Indonesia, dan
investasi itu telah memunculkan kelas buruh secara luas, tetapi di saat yang
sama mereka menopang rezim-rezim represif. Di tingkat global, kapitalisme sudah
mencapai produktivitas kerja yang begitu tinggi dan alat-alat produksi yang
begitu canggih sehingga secara obyektif sosialisme sudah mungkin diterapkan
secara internasional. Namun di saat yang sama, tidak sedikit negeri yang masih
hidup melarat -- dan bahkan di barat tidak sedikit buruh yang juga hidup
miskin.
Pada
awal abad XX sebuah perkembangan yang kontradiktif semacam ini makin marak
dalam kasus Rusia. Investasi dari luar menciptakan industri modern di beberapa
tempat, terutama di ibukota Petrograd dan kota Moskow. Bahkan beberapa pabrik
di sana adalah lebih besar dan modern daripada banyak pabrik di barat, karena
lebih baru dibangun. Dan kelas buruh di Rusia sempat belajar Marxisme dari sumber
barat sehingga kaum buruh di Rusia tergolong yang paling sadar dan militan di
seluruh dunia. Namun di samping unsur-unsur modern ini ada juga unsur-unsur
feodal. Tuan tanah masih kuat. Warga Rusia kebanyakan masih petani. Dan
aparatus negara yang dikepalai oleh Tsar masih didominasi oleh para aristrokrat
dan pegawai reaksioner tanpa demokrasi apapun.
Dalam
situasi ini, hampir semua orang sosialis di Rusia mengembangkan strategi
tahapan, bahwa Rusia masih feodal dan belum membangun sistem kapitalis, oleh
karena itu revolusi yang mereka cita-citakan harus menjadi revolusi demokratis
bukan sosialis. Dalam strategi ini tentu saja terdapat banyak perbedaan
pendapat tentang strategi persis yang harus dijalankan. Kelompok Menshevik
cenderung menyerahkan peran pemimpin dalam revolusi kepada pihak borjuis.
Kelompok Bolsehvik mengajukan pendekatan yang lebih radikal: bahwa revolusi
borjuis-demokratis tidak bisa dipimpin oleh burjuasi sendiri karena kelas
kapitalis di Rusia terlalu lemah dan pengecut. Menurut mereka, kelas-kelas
tertindaslah yang harus melakukan revolusi. Sehingga Lenin menajukan slogan:
"diktatur demokratis-revolusioner kaum proletariat dan kaum tani" dan
kedua kelas itu jelas akan menerapkan reformasi yang sangat luas (seperti "reformasi
total" di Indonesia sekarang ini). Walaupun begitu, menurut Lenin revolusi
yang radikal ini masih akan tetap bertahan dalam batasan kapitalis.
Kedua
pendekatan ini memusatkan perhatian terutama kepada perkembangan kapitalisme di
dalam Rusia saja, di mana mode produksi kapitalis memang belum matang. Hanya
Trotsky yang mendesakkan cakrawala berpikir secara lebih luas dan yang
betul-betul menyimak keadaan Rusia dalam konteks internasional. Berdasarkan
pengalaman konkrit dalam revolusi tahun 1905 (di mana Trotsky muncul sebagai
ketua dewan buruh di ibukota dan pemimpin terkemuka kelas buruh) dia melihat
bahwa kelas buruh di Rusia sudah sangat maju organisasi dan kesadarannya karena
dampak pertumbuhan industri (yang didorong oleh investasi asing) dan dampak
teori Marxisme (yang juga berasal dari luar negeri). Sedangkan kelas borjuis
sangat lemah dan pengecut (juga karena faktor internasional, yaitu mereka
sangat bergantung pada modal asing). Sehingga kaum buruh dengan dukungan kaum
tani memang harus merebut kekuasaan sendiri melalui jalan revolusi, seperti
dikatakan Lenin -- tetapi setelah kelas buruh mulai berkuasa mereka tidak
mungkin bisa merasa puas dengan reformasi yang masih dalam kerangka kapitalis,
melainkan mereka pasti akan mengadakan perubahan yang mengarah ke sosialisme.
Apakah sosialisme itu bisa dibangun dalam sebuah negeri seperti Rusia, yang
industri dan tatatan sosialnya masih separuh feodal? Menurut Trosky memang
bisa, tapi dengan satu syarat yang sangatlah penting: revolusi harus meluas ke
negeri-negeri barat supaya kelas buruh di barat bisa menolong kaum buruh Rusia
untuk menjalankan sosialisme.
Persilihan
antara para anggota Menshevik, Bolshevik dan Trotsky bertahan sampai di awal
revolusi tahun 1917. Pada bulan Februari sebuah pemberontakan kelas buruh
menjatuhkan Tsar dan menyalakan krisis politik yang menonjolkan beberapa sifat
yang mirip dengan situasi di Indonesia saat ini. Yaitu kepala negara
ditumbangkan, tetapi disusul oleh sebuah pemerintahan yang masih reaksioner
walau berpura-pura demokratis. Setelah tumbangnya Tsar, ketiga teori tentang
jalannya revolusi akan teruji dalam praktek. Kelompok Menshevik terus
mengajukan strategi tahapan, bahwa kaum borjuislah yang harus memimpin
revolusi. Sehingga mereka bersedia untuk mentolerir keberadaan pemerintahan
transisi, walau dengan menuntut dilangsungkannya pemilu dan beberapa reform.
Sikap
kelompok Bolshevik ternyata hampir sama. Saat itu Lenin belum kembali dari
pengasingan, dan partai Bolshevik dipimpin oleh orang lain seperti Stalin.
Mereka juga terus mempertahankan strategi tahapan, dengan menganggap revolusi
yang tengah berjalan adalah revolusi demokratis saja. Sehingga para pimpinan
Bolshevik itu mulai merenungkan apakah harus bersatu dengan partai Menshevik.
Pada
bulan April Lenin akhirnya berhasil pulang ke Petrograd. Dan golongan Bolshevik
sangat terperangah mendengar pendapatnya tentang apa yang harus dilakukan.
Dalam beberapa surat dari luar negeri ("Surat-surat dari Jauh") Lenin
sudah mendesak agar kelas buruh harus mempersiapkan diri untuk merebut
kekuasaan. Setibanya di Rusia, Lenin disambut oleh para pemimpan Bolsehevik
setempat tidak hanya dengan salam hangat, tetapi juga dengan kerisauan yang
besar. Para pemimpin Bolsehvik itu tampil berbicara dengan mengucapkan selamat
datang, kemudian segera memperingatkan bahwa revolusi di Rusia adalah revolusi
demokratis saja. Lenin saat itu sedang berdiri di atas sebuah balkon. Lenin
tidak membalas komentar mereka sama sekali, malahan dia berpaling kepada massa
buruh dan prajurit-prajurit yang berdiri di halaman di luar gedung, dan segera
melontarkan argumentasi bahwa mereka harus mempersiapkan diri untuk mengambil
alih kekuasaan dengan slogan "Semua kekuasaan kepada soviet (dewan-dewan
buruh)".
Karena
argumentasinya, Lenin dituduh menjadi "Trotskis". Tetapi secara
lambat-laun dia berhasil meyakinkan para kader Bolshevik. Begitu Trotsky
sendiri balik ke Petrograd, dia segera diundang untuk bergabung dalam partai
Bolsehvik. Dan kedua tokoh terkenal itu bersekutu erat dalam sebuah revolusi
yang betul-betul menempuh jalan sosialis.
Argumentasi
Lenin itu dirumuskan secara ringkas dalam "Tesis-tesis April" yang
menjadi sebuah dokumen historis dalam sejarah revolusi. Tulisan pendek ini
merupakan pembetulan yang penting terhadap argumentasi lama yang dimuat dalam
"Dua Taktik". Walau Lenin masih memakai istilah "tahap
pertama" dan "tahap kedua", implikasinya jauh berbeda:
"Sifat
utama situasi Rusia saat ini adalah bahwa negara ini sedang beralih dari
tahapan pertama revolusi -- yang, disebabkan oleh kurangnya kesadaran-kelas dan
organisasi kaum proletariat, telah menempatkan kekuasaan di tangan kaum borjuis
-- menuju tahapannya yang kedua, yang harus menempatkan kekuasaan di tangan
kaum proletariat dan golongan-golongan termiskin kaum tani."
Revolusi
memang sedang melalui dua tahapan, tetapi peralihannya ke tahapan sosialis
sudah mulai dalam kurun waktu beberapa bulan. Tahap demokratis tidak lagi
dianggap berkaitan dengan tahap panjang kapitalis yang tak terhindari.
Sebaliknya, tahap demokratis ini hanya terpisah dari tahap sosialis karena
"kurangnya kesadaran-kelas dan organisasi kaum proletariat" - yang
sebagian besar tentunya disebabkan oleh kesalahan kaum revolusioner dengan
strategi "dua taktik" mereka. Inilah yang memungkinkan para liberal
borjuis untuk mengambil alih kekuasaan. Seandainya Partai Bolshevik memiliki
strategi yang lebih tepat, akibat buruk itu bisa dihindari.
Lenin
menegaskan pendapatnya ini dengan amat jelas. Dalam sebuah diskusi dia bertanya
kepada para Bolshevik: "Kenapa kalian tidak merebut kekuasaan [pada bulan
Februari]?" Ketika mereka menjawaban dengan rumusan tradisional mengenai
""tahap pertama ... tahap demokratis", Lenin membalas dengan
ketus: "Ini omong kosong. Sebabnya karena proletariat masih kurang sadar dan
kurang terorganisir. Itu harus kita akui. Kekuataan materiil sudah berada di
tangan proletariaat saat itu, tetapi burjuasilah yang sudah sadar dan siap. Itu
kenyataan yang mengerikan. Fakta ini harus kita akui secara tulus, dan kita
mesti menjelaskan kepada rakyat dengan terus-terang bahwa kita tidak merebut
kekusaan karena tak terorganisir dan tak sadar."
Yang
harus diperjuangkan "bukanlah sebuah republik parlementer -- untuk kembali
dari soviet-soviet (dewan-dewan buruh) ke sebuah republik parlementer akan
merupakan sebuah langkah mundur yang buruk -- melainkan sebuah republik
Soviet..." dan ini memang menjadi semboyan utama Partai Bolshevik
menjelang Oktober.
Pengalaman
Pasca-Lenin
Sejak
wafatnya Lenin pelajaran ini terlupakan. Hal itu berkaitan dengan nasib
revolusi di Rusia, yang tidak berhasil meluas ke negeri-negeri yang lain, walau
rezim Bolshevik serta partai-partai Komunis di Eropa barat memang melakukan
upaya yang besar ke arah itu. Sebagai akibatnya, rezim itu mengalami sebuah
degenerasi yang parah, dan kekuasaan demokratis kelas buruh diganti dengan
sebuah diktatur birokratis yang dipimpin oleh Stalin. Rezim Stalin pada
gilirannya meninggalkan orientasi internasionalis Lenin dan Trotsky, dan
partai-partai Komunis di mancanegara dijadikan alat pasif dari kebijakan luar negeri
rezim Soviet. Sifat utama kebijakan luar negeri itu adalah untuk mencari
aliansi dengan negara-negara lain -- dengan rezim-rezim borjuis. Maka Stalin
menghidupkan kembali strategi tahapan, namun dengan alasan baru: partai-partai
Komunis disuruh bersekutu dengan golongan borjuis tertentu (yang dianggap lebih
"demokratis" atau "progresif") demi kepentingan negara
Soviet itu. Strategi lama Lenin itu dimanfa'atkan Stalin untuk membenarkan
pendekatan yang sama sekali tidak revolusioner. Marxisme dan Leninisme telah
diganti dengan "Stalinisme" kontra-revolusioner. Dan karena citra
negara Rusia dan gerakan Komunis saat itu masih sangat tinggi, teori-teori
stalinis sayangnya juga sangat berpengaruh pada orang lain yang bukan
kontra-revolusioner.
Akibatnya
tragis. Tahun 1927 terjadi pemberontakan kelas buruh di Cina, dan kaum buruh
bersenjata di bawah pimpinan Komunis berhasil merebut seluruh kota Shanghai
dari tangan golongan reaksioner. Tetapi mereka segera disuruh menyerahkan
kekuasaan mereka kepada pihak nasionalis (borjuis), dengan argumentasi
"tahap demokratis dulu". Begitu mereka menyerahkan senjata-senjata
kepada pemimpin nasionalis Ciang Kai-shek, kesatuan-kesatuan Komunis diserang
dan dibantai oleh pasukan nasionalis. Hal yang mirip juga terjadi di Spanyol
pada tahun 1930-an, di Indonesia tahun 1965, dan di beberapa tempat lain.
(Lihat tulisan Tony Cliff, "Revolusi dan Kontrarevolusi".)
Dewasi
ini para penganut strategi tahapan di Indonesia bukanlah stalinis. Mereka
adalah kawan-kawan revolusioner yang bersungguh-sungguh ingin memperjuangkan
nasib rakyat dan kelas buruh. Tetapi sudah saatnya untuk meninjau kembali
masalah-masalah strategis ini dan meninggalkan strategi tahapan yang telah
menyebakan sejumlah kekalahan yang mengerikan.
-
Mei 1999
Tidak ada komentar:
Posting Komentar