Al-Tanwir
Nomor:
150-Edisi: 17 Oktober 1999/7 Rajab 1420 H
KH.
Jalaluddin Rakhmat
Ya
Allah,
Janganlah
Engkau putuskan dariku kebaikan-Mu, ampunan-Mu, dan kasih sayang-Mu. Wahai Zat,
yang kasih sayang-Nya meliputi segala sesuatu
Wahai
Tuhanku, anugrahkan kepadaku hati yang khusyu
dan
keyakinan yang tulus
Jangan
Kau buat aku lupa untuk berzikir kepada-Mu
Jangan
Kau biarkan aku dikuasai oleh selain-Mu
Jadilah
Engkau sahabat pada saat-saat kesepianku
Jadilah
Engkau benteng pada saat-saat ketakutanku
Selamatkan
aku dari segala bencana dan kesalahan
Lindungilah
aku dari segala ketergelinciran
Jagalah
aku dari datangnya ancaman
Palingkanlah
dari diriku pedihnya azab-Mu
dan
muliakanlah aku dengan memelihara kitab suci-Mu yang mulia
dan
bereskanlah bagiku agamaku, duniaku, dan akhiratku
Semoga
shalawat dan salam disampaikan kepada Muhammad saw
dan
keluarganya yang suci.
Doa di
atas adalah salah satu dari kumpulan doa yang disampaikan oleh Imam Ali kw.
Saya mengambilnya dari sebuah buku berjudul Ad’iyatul Imam Ali, doa-doa Imam
Ali. Salah satu kelebihan mazhab Ahlul Bait dibandingkan dengan mazhab-mazhab
yang lain adalah perbendaharaan doanya. Selain panjang, doa-doa Ahlul Bait
disusun dengan bahasa yang sangat indah. Karena itu, seharusnya para pengikut
Ahlul Bait paling tidak hapal satu dari doa-doa yang panjang itu. Kita dapat
mengambil salah satu dari doa itu dan menjadikannya sebagai wirid kita.
Kita
telah mengenal doa-doa dari Imam Ali Zainal Abidin yang disebut dengan Shahîfah
Sajjâdiyah. Kemudian kita kenal juga doa-doa dari Imam Ja’far Al-Shadiq yang
dikenal dengan nama Shahîfah Sâdiqiyyah. Ada pula doa-doa dari Sayyidah
Fathimah as yang disebut dengan Shahîfah Al-Zahra. Doa yang akan dibahas kali
ini saya ambil dari Shahîfah ‘Alâwiyah, kumpulan doa Imam Ali kw.
Karena
doa ini panjang, saya akan membahas beberapa bagian dari doa ini saja. Inilah
awal dari doa tersebut: Ya Allah, janganlah Engkau putuskan dariku kebaikan-Mu,
ampunan-Mu, dan kasih sayang-Mu. Wahai Zat yang kasih sayang-Nya meliputi
segala sesuatu.
Sepanjang
hari kita memperoleh kebaikan Allah terus menerus. Kesehatan, misalnya. Bila
kita sakit, itu artinya kebaikan Allah yang berupa kesehatan itu terputus. Kita
mulai doa ini dengan rasa takut akan diambilnya karunia Allah dari kita. Allah
tidak pernah mengambil seluruh anugrah-Nya. Dia hanya memutuskan sebagian saja
kebaikannya sebagai peringatan kepada kita.
Dalam
doa tersebut, kita menyeru Tuhan yang kasih sayang-Nya meliputi segala sesuatu.
Seperti juga disebutkan dalam Doa Kumail, Allah adalah Sarî’ar ridhâ, Yang
paling cepat rida-Nya. Tuhan murka melihat kemaksiatan kita, tetapi dia lebih
cepat rida akan kita.
Dalam
sebuah hadis Qudsi, Allah swt berfirman, “Aku sudah marah melihat kemaksiatan
penduduk bumi ini. Aku akan hancurkan bumi ini. Tapi aku melihat masih ada
bayi-bayi yang menetek kepada susu ibunya. Aku masih melihat orang-orang tua
yang sujud dan ruku kepadaku. Berhentilah kemurkaanku.”
Kasih
sayang Tuhan meliputi segala sesuatu. Karena itu di dalam mazhab Ahlul Bait,
kita tidak boleh bersandar sepenuhnya kepada amal kita. Amal-amal kita tidak
akan cukup untuk memperoleh kasih sayang Allah swt. Amal yang kita lakukan
terlalu sedikit. Maksiat kita mungkin jumlahnya jauh lebih besar. Kita harus
bersandar pada ampunan Allah. Amal kita ini, selain sedikit jumlahnya dan
rendah kualitasnya, juga digerogoti oleh keburukan-keburukan kita.
Karena
sedikitnya amal-amal manusia dibandingkan kemaksiatannya, ketika menghadapi
orang yang meninggal, kita tidak dianjurkan untuk berdoa, “Ya Allah, berilah
balasan yang setimpal dengan amal perbuatannya.” Melainkan kita dianjurkan
berdoa, “Ya Allah, jenazah yang terbujur di hadapan-Mu ini adalah hamba-Mu,
anak dari hamba-Mu juga.
Dia
sudah datang menemui-Mu dan Engkaulah yang paling baik ditemuinya. Jika dia
orang yang banyak berbuat baik, lipat gandakan pahala kebaikannya. Dan jika dia
orang yang pernah berbuat salah, maafkanlah segala kesalahannya.”
Selanjutnya
dalam doa Imam Ali kw di atas disebutkan: Wahai Tuhanku, anugrahkan kepadaku
hati yang khusyu dan keyakinan yang tulus. Kita meminta kepada Allah agar
dikaruniai hati yang khusyu.
Kata
khusyu berasal dari kata khasya’a yang artinya takut. Seperti disebutkan dalam
ayat Al-Quran: Wujûhun yaumaizin khâsyi’ah. Wajah-wajah pada hari itu
ketakutan. (QS. Al-Ghasyiyah 2) Khâsyi’an berarti hati yang dipenuhi rasa
takut; takut akan Allah swt dan takut bila masa hidupnya takkan sempat untuk
mengumpulkan bekal buat hari akhir.
Dalam
kitab Ihyâ Ulumuddîn, Imam Ghazali menurunkan kisah-kisah tentang orang yang
khusyu. Di antaranya adalah tentang kekhusyuan Imam Ali Zainal Abidin as.
Diriwayatkan
ketika Imam berwudlu hendak salat, tubuhnya selalu bergetar. Orang-orang
bertanya, “Mengapa tubuhmu bergetar seperti itu?” Imam menjawab, “Engkau tidak
tahu di hadapan siapa sebentar lagi aku akan berdiri.” Hatinya dipenuhi rasa
takut luar biasa karena ia akan menemui Allah swt di dalam salatnya. Wajahnya
menjadi pucat pasi dan hatinya berguncang keras.
Dalam
kitab Futûhatul Makiyyah, karya Ibnu Arabi, juga diceritakan kisah-kisah
tentang orang yang khusyu. Salah satunya adalah kisah tentang seorang pemuda
belia yang mempelajari tasawuf kepada gurunya. Pada suatu pagi, pemuda itu
menemui gurunya dalam keadaan pucat pasi. Anak muda itu berkata, “Semalam, aku
khatamkan Al-Quran dalam salat malamku.” Gurunya berkata, “Bagus. Kalau begitu,
aku sarankan nanti malam bacalah Al-Quran dan hadirkan seakan-akan aku berada
di hadapanmu dan mendengarkan bacaanmu.” Esok harinya, pemuda itu mengeluh, “Ya
Ustadz, tadi malam saya tidak sanggup menyelesaikan Al-Quran lebih dari
setengahnya.” Gurunya menjawab, “Kalau begitu, nanti malam bacalah Al-Quran dan
hadirkan di hadapanmu para sahabat Nabi yang mendengarkan Al-Quran itu langsung
dari Rasulullah saw.” Keesokan harinya, pemuda itu berkata, “Ya Ustadz, semalam
aku tak bisa menyelesaikan sepertiga dari Al-Quran itu.” “Nanti malam,” kata
gurunya, “bacalah Al-Quran dengan menghadirkan Rasulullah saw di hadapanmu,
yang kepadanya Al-Quran itu turun.” Esok paginya pemuda itu bercerita, “Tadi
malam aku hanya bisa menyelesaikan Al-Quran itu satu juz saja. Itu pun dengan
susah payah.” Sang guru kembali berkata, “Nanti malam, bacalah Al-Quran itu
dengan menghadirkan Jibril, yang diutus Tuhan untuk menyampaikan Al-Quran
kepada Rasulullah saw.” Esoknya, pemuda itu bercerita bahwa ia tak sanggup
menyelesaikan satu juz Al-Quran. Gurunya lalu berkata, “Nanti bila engkau
membaca Al-Quran, hadirkan Allah swt di hadapanmu. Karena sebetulnya yang
mendengarkan bacaan Al-Quran itu adalah Allah swt. Dialah yang menurunkan
bacaan itu kepadamu.” Esok harinya, pemuda itu jatuh sakit. Ketika gurunya
bertanya, “Apa yang terjadi?” Anak muda itu menjawab, “Aku tak bisa
menyelesaikan hatta Al-Fatihah sekalipun. Ketika hendak kuucapkan iyyâka
na’budu wa iyyâka nasta’în, lidahku tak sanggup. Karena aku tahu hatiku tengah
berdusta. Dalam mulut, kuucapkan: Tuhan, kepadamu aku beribadat, tapi dalam
hatiku aku tahu aku sering memperhatikan selain Dia. Ucapan itu tidak mau
keluar dari lidahku. Sampai terbit fajar, aku tak bisa menyelesaikan iyyaka
na’budu wa iyyaka nasta’in. ” Tiga hari kemudian, anak muda itu meninggal
dunia.
Sebetulnya
yang diceritakan guru itu kepada muridnya adalah cara memperoleh hati yang
khusyu. Hati yang khusyu adalah hati yang sanggup menghadirkan Allah swt di
hadapan kita. Hal itu membutuhkan riyadhah-riyadhah terlebih dahulu. Sekarang
kita paham mengapa dalam tarekat, kita harus menghadirkan guru di dalam doa-doa
kita. Hal itu sebenarnya adalah suatu latihan. Sulit bagi kita untuk
menghadirkan Allah swt sekaligus, kita mulai dengan menghadirkan guru kita
terlebih dahulu.
Kekhusyuan
sering kali datang ketika kita digoncangkan kesulitan hidup. Penderitaan itu
bagus karena membuat hati kita lebih khusyu dalam beribadah kepada Allah swt.
Orang yang jarang menderita akan sulit memperoleh kekhusyuan. Kesenangan
membuat hati kita keras seperti batu.
Salah
satu indikator kekhusyuan adalah tangisan. Walaupun tidak semua yang menangis
itu karena khusyu. Anak-anak, misalnya, menangis bukan karena khusyu, melainkan
karena dijewer oleh orang tuanya. Kita pun boleh menangis dengan tangisan
karena jeweran. Tuhan ‘menjewer’ kita dengan penderitaan hidup. Kita lalu
menangis, kita adukan penderitaan kita kepada Allah swt. Pada perkembangannya,
tangisan itu lalu berproses; dari tangisan anak kecil menjadi tangisan karena
kekhusyuan.
Penderitaan
itu berguna untuk melembutkan hati kita. Seperti bunyi salah satu puisi Rumi:
Bunga-bunga
mawar di taman takkan pernah merekah
Sebelum
langit menurunkan air matanya
Bayi-bayi
itu takkan pernah diberi susu
Sebelum
mereka menangis terlebih dahulu
Maka
menangislah kamu
Supaya
Sang Perawat Agung datang memberikan padamu
Limpahan
susu kasih sayang-Nya.
Menderita
dan menangis itu perlu. Itulah sebabnya mengapa kaum muslimin sekarang di
seluruh dunia, seperti di Aceh, Ambon, Kosovo, dan Chechnya, sedang menderita.
Derita itu dimaksudkan supaya mereka bisa meraih lagi kekhusyuan yang hilang.
Ditranskrip
oleh Ilman Fauzi Rakhmat dari ceramah KH. Jalaluddin Rakhmat di Mesjid Al-Munawwarah
pada Ahad, 12 September 1999.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar