Kamis, 29 Januari 2015

Doa Memperoleh Hati Yang Khusyu


Al-Tanwir
Nomor: 150-Edisi: 17 Oktober 1999/7 Rajab 1420 H

KH. Jalaluddin Rakhmat

Ya Allah,
Janganlah Engkau putuskan dariku kebaikan-Mu, ampunan-Mu, dan kasih sayang-Mu. Wahai Zat, yang kasih sayang-Nya meliputi segala sesuatu
Wahai Tuhanku, anugrahkan kepadaku hati yang khusyu
dan keyakinan yang tulus
Jangan Kau buat aku lupa untuk berzikir kepada-Mu
Jangan Kau biarkan aku dikuasai oleh selain-Mu
Jadilah Engkau sahabat pada saat-saat kesepianku
Jadilah Engkau benteng pada saat-saat ketakutanku
Selamatkan aku dari segala bencana dan kesalahan
Lindungilah aku dari segala ketergelinciran
Jagalah aku dari datangnya ancaman
Palingkanlah dari diriku pedihnya azab-Mu
dan muliakanlah aku dengan memelihara kitab suci-Mu yang mulia
dan bereskanlah bagiku agamaku, duniaku, dan akhiratku
Semoga shalawat dan salam disampaikan kepada Muhammad saw
dan keluarganya yang suci.


Doa di atas adalah salah satu dari kumpulan doa yang disampaikan oleh Imam Ali kw. Saya mengambilnya dari sebuah buku berjudul Ad’iyatul Imam Ali, doa-doa Imam Ali. Salah satu kelebihan mazhab Ahlul Bait dibandingkan dengan mazhab-mazhab yang lain adalah perbendaharaan doanya. Selain panjang, doa-doa Ahlul Bait disusun dengan bahasa yang sangat indah. Karena itu, seharusnya para pengikut Ahlul Bait paling tidak hapal satu dari doa-doa yang panjang itu. Kita dapat mengambil salah satu dari doa itu dan menjadikannya sebagai wirid kita.

Kita telah mengenal doa-doa dari Imam Ali Zainal Abidin yang disebut dengan Shahîfah Sajjâdiyah. Kemudian kita kenal juga doa-doa dari Imam Ja’far Al-Shadiq yang dikenal dengan nama Shahîfah Sâdiqiyyah. Ada pula doa-doa dari Sayyidah Fathimah as yang disebut dengan Shahîfah Al-Zahra. Doa yang akan dibahas kali ini saya ambil dari Shahîfah ‘Alâwiyah, kumpulan doa Imam Ali kw.

Karena doa ini panjang, saya akan membahas beberapa bagian dari doa ini saja. Inilah awal dari doa tersebut: Ya Allah, janganlah Engkau putuskan dariku kebaikan-Mu, ampunan-Mu, dan kasih sayang-Mu. Wahai Zat yang kasih sayang-Nya meliputi segala sesuatu.

Sepanjang hari kita memperoleh kebaikan Allah terus menerus. Kesehatan, misalnya. Bila kita sakit, itu artinya kebaikan Allah yang berupa kesehatan itu terputus. Kita mulai doa ini dengan rasa takut akan diambilnya karunia Allah dari kita. Allah tidak pernah mengambil seluruh anugrah-Nya. Dia hanya memutuskan sebagian saja kebaikannya sebagai peringatan kepada kita.

Dalam doa tersebut, kita menyeru Tuhan yang kasih sayang-Nya meliputi segala sesuatu. Seperti juga disebutkan dalam Doa Kumail, Allah adalah Sarî’ar ridhâ, Yang paling cepat rida-Nya. Tuhan murka melihat kemaksiatan kita, tetapi dia lebih cepat rida akan kita.

Dalam sebuah hadis Qudsi, Allah swt berfirman, “Aku sudah marah melihat kemaksiatan penduduk bumi ini. Aku akan hancurkan bumi ini. Tapi aku melihat masih ada bayi-bayi yang menetek kepada susu ibunya. Aku masih melihat orang-orang tua yang sujud dan ruku kepadaku. Berhentilah kemurkaanku.”

Kasih sayang Tuhan meliputi segala sesuatu. Karena itu di dalam mazhab Ahlul Bait, kita tidak boleh bersandar sepenuhnya kepada amal kita. Amal-amal kita tidak akan cukup untuk memperoleh kasih sayang Allah swt. Amal yang kita lakukan terlalu sedikit. Maksiat kita mungkin jumlahnya jauh lebih besar. Kita harus bersandar pada ampunan Allah. Amal kita ini, selain sedikit jumlahnya dan rendah kualitasnya, juga digerogoti oleh keburukan-keburukan kita.

Karena sedikitnya amal-amal manusia dibandingkan kemaksiatannya, ketika menghadapi orang yang meninggal, kita tidak dianjurkan untuk berdoa, “Ya Allah, berilah balasan yang setimpal dengan amal perbuatannya.” Melainkan kita dianjurkan berdoa, “Ya Allah, jenazah yang terbujur di hadapan-Mu ini adalah hamba-Mu, anak dari hamba-Mu juga.
Dia sudah datang menemui-Mu dan Engkaulah yang paling baik ditemuinya. Jika dia orang yang banyak berbuat baik, lipat gandakan pahala kebaikannya. Dan jika dia orang yang pernah berbuat salah, maafkanlah segala kesalahannya.”

Selanjutnya dalam doa Imam Ali kw di atas disebutkan: Wahai Tuhanku, anugrahkan kepadaku hati yang khusyu dan keyakinan yang tulus. Kita meminta kepada Allah agar dikaruniai hati yang khusyu.

Kata khusyu berasal dari kata khasya’a yang artinya takut. Seperti disebutkan dalam ayat Al-Quran: Wujûhun yaumaizin khâsyi’ah. Wajah-wajah pada hari itu ketakutan. (QS. Al-Ghasyiyah 2) Khâsyi’an berarti hati yang dipenuhi rasa takut; takut akan Allah swt dan takut bila masa hidupnya takkan sempat untuk mengumpulkan bekal buat hari akhir.

Dalam kitab Ihyâ Ulumuddîn, Imam Ghazali menurunkan kisah-kisah tentang orang yang khusyu. Di antaranya adalah tentang kekhusyuan Imam Ali Zainal Abidin as.

Diriwayatkan ketika Imam berwudlu hendak salat, tubuhnya selalu bergetar. Orang-orang bertanya, “Mengapa tubuhmu bergetar seperti itu?” Imam menjawab, “Engkau tidak tahu di hadapan siapa sebentar lagi aku akan berdiri.” Hatinya dipenuhi rasa takut luar biasa karena ia akan menemui Allah swt di dalam salatnya. Wajahnya menjadi pucat pasi dan hatinya berguncang keras.

Dalam kitab Futûhatul Makiyyah, karya Ibnu Arabi, juga diceritakan kisah-kisah tentang orang yang khusyu. Salah satunya adalah kisah tentang seorang pemuda belia yang mempelajari tasawuf kepada gurunya. Pada suatu pagi, pemuda itu menemui gurunya dalam keadaan pucat pasi. Anak muda itu berkata, “Semalam, aku khatamkan Al-Quran dalam salat malamku.” Gurunya berkata, “Bagus. Kalau begitu, aku sarankan nanti malam bacalah Al-Quran dan hadirkan seakan-akan aku berada di hadapanmu dan mendengarkan bacaanmu.” Esok harinya, pemuda itu mengeluh, “Ya Ustadz, tadi malam saya tidak sanggup menyelesaikan Al-Quran lebih dari setengahnya.” Gurunya menjawab, “Kalau begitu, nanti malam bacalah Al-Quran dan hadirkan di hadapanmu para sahabat Nabi yang mendengarkan Al-Quran itu langsung dari Rasulullah saw.” Keesokan harinya, pemuda itu berkata, “Ya Ustadz, semalam aku tak bisa menyelesaikan sepertiga dari Al-Quran itu.” “Nanti malam,” kata gurunya, “bacalah Al-Quran dengan menghadirkan Rasulullah saw di hadapanmu, yang kepadanya Al-Quran itu turun.” Esok paginya pemuda itu bercerita, “Tadi malam aku hanya bisa menyelesaikan Al-Quran itu satu juz saja. Itu pun dengan susah payah.” Sang guru kembali berkata, “Nanti malam, bacalah Al-Quran itu dengan menghadirkan Jibril, yang diutus Tuhan untuk menyampaikan Al-Quran kepada Rasulullah saw.” Esoknya, pemuda itu bercerita bahwa ia tak sanggup menyelesaikan satu juz Al-Quran. Gurunya lalu berkata, “Nanti bila engkau membaca Al-Quran, hadirkan Allah swt di hadapanmu. Karena sebetulnya yang mendengarkan bacaan Al-Quran itu adalah Allah swt. Dialah yang menurunkan bacaan itu kepadamu.” Esok harinya, pemuda itu jatuh sakit. Ketika gurunya bertanya, “Apa yang terjadi?” Anak muda itu menjawab, “Aku tak bisa menyelesaikan hatta Al-Fatihah sekalipun. Ketika hendak kuucapkan iyyâka na’budu wa iyyâka nasta’în, lidahku tak sanggup. Karena aku tahu hatiku tengah berdusta. Dalam mulut, kuucapkan: Tuhan, kepadamu aku beribadat, tapi dalam hatiku aku tahu aku sering memperhatikan selain Dia. Ucapan itu tidak mau keluar dari lidahku. Sampai terbit fajar, aku tak bisa menyelesaikan iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. ” Tiga hari kemudian, anak muda itu meninggal dunia.

Sebetulnya yang diceritakan guru itu kepada muridnya adalah cara memperoleh hati yang khusyu. Hati yang khusyu adalah hati yang sanggup menghadirkan Allah swt di hadapan kita. Hal itu membutuhkan riyadhah-riyadhah terlebih dahulu. Sekarang kita paham mengapa dalam tarekat, kita harus menghadirkan guru di dalam doa-doa kita. Hal itu sebenarnya adalah suatu latihan. Sulit bagi kita untuk menghadirkan Allah swt sekaligus, kita mulai dengan menghadirkan guru kita terlebih dahulu.

Kekhusyuan sering kali datang ketika kita digoncangkan kesulitan hidup. Penderitaan itu bagus karena membuat hati kita lebih khusyu dalam beribadah kepada Allah swt. Orang yang jarang menderita akan sulit memperoleh kekhusyuan. Kesenangan membuat hati kita keras seperti batu.

Salah satu indikator kekhusyuan adalah tangisan. Walaupun tidak semua yang menangis itu karena khusyu. Anak-anak, misalnya, menangis bukan karena khusyu, melainkan karena dijewer oleh orang tuanya. Kita pun boleh menangis dengan tangisan karena jeweran. Tuhan ‘menjewer’ kita dengan penderitaan hidup. Kita lalu menangis, kita adukan penderitaan kita kepada Allah swt. Pada perkembangannya, tangisan itu lalu berproses; dari tangisan anak kecil menjadi tangisan karena kekhusyuan.
Penderitaan itu berguna untuk melembutkan hati kita. Seperti bunyi salah satu puisi Rumi:

Bunga-bunga mawar di taman takkan pernah merekah

Sebelum langit menurunkan air matanya
Bayi-bayi itu takkan pernah diberi susu
Sebelum mereka menangis terlebih dahulu
Maka menangislah kamu
Supaya Sang Perawat Agung datang memberikan padamu
Limpahan susu kasih sayang-Nya.
Menderita dan menangis itu perlu. Itulah sebabnya mengapa kaum muslimin sekarang di seluruh dunia, seperti di Aceh, Ambon, Kosovo, dan Chechnya, sedang menderita. Derita itu dimaksudkan supaya mereka bisa meraih lagi kekhusyuan yang hilang.


Ditranskrip oleh Ilman Fauzi Rakhmat dari ceramah KH. Jalaluddin Rakhmat di Mesjid Al-Munawwarah pada Ahad, 12 September 1999.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar