KH. Jalaluddin
Rakhmat.
Dahulu ketika
saya murid SMP kelas satu, saya punya teman dua atau tiga tahun lebih
muda. Ia tinggal bersama ayah tirinya.
Saya tidak tahu apakah ia bersekolah atau tidak; tetapi ia sering meminta saya
membacakan buku-buku cerita. Ketika
semua buku cerita sudah habis saya baca,
saya menyarankan dia untuk membeli buku cerita baru, terjemahan Les
Fables dari Jean de la Fontaine. Kalau tidak salah, buku itu diterbitkan Balai
Pustaka.
Sebetulnya saya pun ingin membeli
buku itu, tetapi saya tidak punya duit untuk itu. Saya melihat buku itu di toko buku yang tidak jauh dari tempat tinggal saya. Pada
suatu sore, dengan gembira ia membawa buku itu. Saya heran ia mampu membelinya;
padahal saya tahu ia berasal dari keluarga yang sangat sangat miskin. Karena cerita di situ berupa puisi, saya
bukan saja membacanya tetapi juga menguraikan maknanya. Tampaknya ia sangat
bahagia.
Beberapa hari ia tidak datang. Saya
merasa kehilangan juga. Di pasar, saya melihat kawan kecil saya itu. Ia sedang
lari tunggang langgang. Orang-orang berteriak, “Copet, copet!” Jantung saya berdegup keras. Saya berdoa mudah-mudahan ia tidak
tertangkap. Saya memejamkan mata, kuatir
doa saya tidak dikabulkan. Saya mendengar jeritan keras. Ketika saya membuka mata saya, saya melihat
kawan kecil saya sedang dipukuli orang banyak.
Saya lari dengan membawa hati
yang teramat pedih.
Saya tidak tahu siapa yang
menyelamatkan dia. Namun, seminggu sesudah itu ia datang lagi, dengan ceria.
Kali ini ia datang sambil meletakkan
keranjang kotor penuh berisi potongan kertas, kaleng dan botol
bekas, serta “sampah-sampah” lainnya.
Rupanya itulah hasil kerjanya seharian. Lama kelamaan saya terbiasa denga bau
sampah dan tubuhnya. saya juga tidak menghiraukan rambutnya yang makin
kusut dan bau yang makin menyengat. Ketika ia menghilang lagi, usai magrib, saya mendatangi rumahnya.
Dari luar
gubuknya yang kecil, saya mendengar rintihan. Suara kawan kecil saya! Segera
saya menyaksikan pemandangan yang mengharukan.
Ibunya sedang menyiramkan minyak goreng yang panas ke kepalanya. Ia tengah mengobati borok-borok yang memenuhi batok kepalanya bagian atas.
Dari tetangganya saya mendengar,
borok boroknya itu disebabkan sampah yang dia pikul di atas kepalanya. Ayah
tirinya memaksa ia mencari nafkah tambahan. Tidak jarang bila ia tidak bekerja,
ia diikat di tiang rumah dan dicambuk dengan ikat pinggang. Cerita tetangga ini
pernah saya buktikan. Kawan kecil saya meraung-raung. Ibunya hanya sanggup menatapnya dengan mata yang
berlinang. Saya merasa seakan jantung saya
tertusuk dengan ribuan jarum yang tidak kelihatan. Saya ingin berteriak: hentikan!, tetapi saya
tidak mampu. Saya berharap orang-orang
dewasa di sekitar itu, yang mendengar
jeritan kawan saya itu, akan menghentikannya. Harapan saya sia-sia. Kawan saya menanggung seluruh derita itu
sendirian.
Berpuluh-puluh tahun kemudian, saya
merasakan tusukan jantung itu lagi ketika saya membaca sebagian kisah
penganiayaan anak yang disusun MIF Baihaqi. Saya ingin berteriak:
hentikan!, tetapi saya tahu tidak seorangpun akan mendengarkan teriakan saya
- a cry in wilderness. Kisah-kisah
itu tidak semua mengerikan, memang.
Anda juga bisa berkata: Ini hanya berita
di media. Hanya kejadian langka. Hanya kasus kejahatan, yang boleh jadi terjadi
juga di negara-negara lain. Sangat
berlebihan untuk mengatakannya seperti judul buku ini Anak Indonesia Teraniaya.
Bukankah di Eropa beberapa orang
gadis belia pernah juga disekap, diperkosa dan dibunuh. Bukankah penjualan anak-anak gadis juga
terjadi di India dan Pakistan. Bukankah penculikan anak secara internasional
berlangsung setiap hari, terutama dari negeri-negeri Asia. Bukankah perlakuan kejam dari lingkungan
kepada anak-anak yang minggat juga banyak terjadi di Amerika©. Bukankah tindakan kejam kawan bermain atau
“bullying” terjadi di mana-mana sehingga menjadi salah satu kajian sosial dan
psikologis yang tersendiri –juvenile delinquency. Walhasil, kita tidak serta merta menunjuk gejala penganiayaan anak dalam buku
ini hanya khas di Indonesia.
Kalau begitu, apa yang menyebabkan
hati kita diiris sembilu? Media –seperti
juga buku ini- mengungkapkan hanya
derita anak kecil yang langka. Derita
yang dramatis akibat kejahatan. Namun media juga mengingatkan kita pada kepedihan anak-anak Indonesia, yang tidak
diungkapkan. Derita ini jauh lebih luas, lebih merata, dan dapat kita saksikan
sehari-hari di sekitar kita. Kejadian-kejadian itu tidak dramatis, dan karena
itu tidak layak untuk dimuat dalam media. Kejadian itu bahkan dianggap sebagai
hal yang lumrah; seperti kejadian yang menimpa kawan kecil saya yang harus bekerja dengan mengorbankan masa
kecilnya, sekolahnya, kesehatan
tubuhnya, dan bahkan keselamatan nyawanya.
Setiap hari ratusan ribu bahkan jutaan anak Indonesia mencari nafkah di terik matahari, di kedinginan malam, atau
di tempat-tempat yang berbahaya. Setiap
hari di Indonesia ada anak yang disiksa orangtuanya atau orang yang
memeliharanya. Setiap malam, di antara gelandangan ada saja gadis-gadis kecil yang diperkosa
preman jalanan. Setiap menit ada saja
anak Indonesia yang ditelantarkan orang
tuanya karena kesibukan karir, kemiskinan, atau sekedar egoisme. Mereka tidak
masuk koran karena mereka tidak mati tiba-tiba. Umumnya mereka mati
perlahan-lahan. Mereka tidak muncul
dalam media karena perlakuan kejam yang
mereka terima tidak dilaporkan (dan tidak diperhatikan) polisi.
Perspektif
Psikologis
Perlakuan kejam
terhadap anak-anak, child abuse,
berkisar sejak pengabaian anak sampai kepada perkosaan dan
pembunuhan. Terry E. Lawson,
psikiater anak, menyebut empat macam abuse: emotional abuse, verbal abuse, physical
abuse, dan sexual abuse§. Anak-anak
Indonesia banyak yang mengalami
–tepatnya, menderita- keempatnya sekaligus.
Satu saja dari keempat itu yang dilakukan terus menerus akan menyebabkan
anak menderita gangguan psikologis.
“Emotional abuse terjadi ketika si
ibu setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, mengabaikan anak itu. Si ibu
membiarkan anak basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin
diganggu pada waktu itu. Si ibu boleh jadi mengabaikan kebutuhan anak untuk
dipeluk atau dilindungi. Anak akan mengingat semua kekerasan emosional jika
kekerasan emosional itu berlangsung konsisten. Si ibu yang secara emosional
berlaku keji pada anaknya akan terus menerus melakukan hal yang sama sepanjang
kehidupan anak itu...
Verbal abuse terjadi ketika si ibu,
setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, menyuruh anak itu untuk ‘diam’
atau ‘jangan menangis’. Jika si anak mulai berbicara, ibu terus menerus
menggunakan kekerasan verbal seperti, “kamu bodoh”, “kamu cerewet”, “kamu kurang ajar”, “kamu menyebalkan”, dan
seterusnya. Anak akan mengingat semua kekerasan verbal jika semua kekerasan
verbal itu berlangsung dalam satu periode.
Physical abuse terjadi ketika si
ibu memukul anak (ketika anak sebenarnya memerlukan perhatian). Memukul anak
dengan tangan atau kayu, kulit atau logam akan diingat anak itu, jika kekerasan
fisik itu berlangsung dalam periode tertentu.
Sexual abuse biasanya tidak terjadi
selama delapan belas bulan pertama dalam kehidupan anak. Walaupun ada beberapa
kasus ketika anak perempuan menderita kekerasan seksual dalam usia enam bulan.”
Semua tindakan kekerasan kepada anak-anak akan direkam dalam bawah sadar mereka dan
akan dibawa sampai kepada masa dewasa, dan terus sepanjang hidupnya. Anak yang mendapat perlakuan kejam dari
orangtuanya akan menjadi sangat agresif,
dan, setelah menjadi orang tua, akan berlaku kejam kepada anak-anaknya.
Orangtua agresif melahirkan anak-anak yang agresif, yang pada gilirannya akan
menjadi orang dewasa yang menjadi agresif. Dengan sangat mengerikan,
Lawson menggambarkan bahwa semua jenis
gangguan mental (mental disorders) ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang
diterima manusia ketika dia masih kecil.
Marilah kita mengambil contoh penderita sosiopath atau
antisocial personality disorder. Gejala
kepribadian sosiopath sudah tampak pada masa kanak-kanak atau remaja dini dalam perilaku seperti sering bolos,
mencuri, bohong, vandalisme, bergaul dengan orang jahat, kejam pada binatang,
dan prestasi sekolah yang buruk. Pada usia dewasa, orang-orang sosiopath
tidak dapat bertahan dalam suatu
pekerjaan, tidak bertanggung jawab sebagai orangtua, suka mengganggu orang
lain, senang berkelahi, biasa melakukan tindakan kekerasan kepada istri dan
anak-anak, menipu, mencuri, dan
mengambil hak orang lain.
Mereka tidak merasa bersalah atau
gelisah karena sudah meperlakukan orang lain dengan buruk. Mereka malah selalu
punya dalih untuk tindakan mereka yang buruk. Mereka tidak jera karena hukuman
dan tidak tahan menghadapi godaan.
Mereka tidak dapat mengendalikan emosinya, impulsif, dan tidak
bertanggungjawab. Para sosiopath adalah
para MPO, berusaha keras menarik perhatian orang. Tetapi mereka tidak dapat membina hubungan
personal yang akrab dengan siapa pun.
Sosiopath tidak selalu bodoh; banyak di antara mereka yang cerdas dan
berhasil secara ekonomis dan politik.
Sebagian sosiopath berlaku sangat agresif, suka kekerasan, beringas, dan kejam.
Penyebab utama kepribadian sosiopath
adalah emotional child abuse. Pada masa kecil ia mengalami deprivasi maternal ª. Ia punya ibu yang tidak memperhatikannya,
atau tidak memenuhi kebutuhan
emosionalnya. Lebih-lebih, kalau
kekerasan emosional ini (biasanya) ditambah dengankekerasan verbal dan fisikal.
Anak selalu dihardik dengan omongan yang menjatuhkan harga dirinya atau dipukul dengan pukulan yang menyakitkan
secara fisik. Para sosiopath yang agresif banyak menderita CNS (Central Nervous
System) – penyakit yang menyebabkan orang tidak dapat mengendalikan emosinya
atau tidak sanggup berpikir rasional. Trauma CNS umumnya disebabkan kekerasan fisik yang diderita anak pada waktu
kecil.
Walhasil, jika kita menemukan
perilaku yang sangat keji yang dilakukan pada anak-anak, kita dapat menduga
dengan hampir mendekati kepastian: Para pelakunya adalah penderita sosiopath
atau gangguan mental lainnya. Perilaku
abnormal para “penjahat” itu besar kemungkinan disebabkan karena derita masa
kecil yang mereka represikan tetapi tidak pernah dapat mereka lupakan. Pada
saat-saat tertentu derita itu tidak tertahankan dan muncul ke alam kesadaran
dalam perilaku yang menyimpang. Sekali
lagi, orangtua agresif melahirkan anak-anak yang agresif, yang pada gilirannya
akan menjadi orang dewasa yang menjadi agresif.
Dengan kata lain, tindakan kekersan yang dilakukan orang dewasa pada
anak-anak akan melahirkan anak-anak yang menggunakan kekerasan sebagai cara
mengatasi persoalan. Akhirnya, anak-anak
itu akan menjadi orang-orang berusia dewasa yang memperolehgkesenangan dengan melakukan
tindakan kekerasan. Sebuah lingkaran setan berputar terus-menerus.
Dengan demikian, bila kita biarkan
tindakan kekerasan terhadap anak-anak itu berlangsung terus, bila derita mereka
tidak segera dihilangkan, maka kita
akan dikejutkan dengan munculnya budaya
kekerasan di tengah-tengah bangsa ini, walaupun mereka mendapat penataran P4
atau pengajian agama setiap hari. Jika Anda tidak menginginkan generasi paranoid, skizoid, sosiopath, atau
apa saja, tindakan kekerasan itu harus dihentikan!
Perspektif
Sosiologis
Ketika kekerasan anak-anak
berakibat pada budaya kekerasan, kita meninggalkan dataran psikologis ke dataran sosial yang
lebih luas. Kita berpindah dari problem
personal ke problem sosial. Tindakan
kekerasan adalah salah satu problem sosial yang besar pada masyarakat moderen.
Problem sosial adalah pola perilaku masyarakat atau sejumlah besar
anggota masyarakat yang secara meluas
tidak dihendaki masyarakat tetapi disebabkan oleh faktor-faktor sosial dan
memer;lukan tindakan sosial untuk mengatasinya.
Kekerasan pada anak-anak hanya
merupakan problem personal, jika hanya menimpa segelintir anak-anak saja.
Sebab-sebabnya dapat dilacak pada sebab-sebab psikologis dari individu yang
terlibat. Pemecahannya juga dapat
dilakuakn secara individual. Kita berikan saja terapi psikologis pada baik
pelaku maupun korban. Tetapi jika
perilaku memperkerjakan anak kecil dalam waktu yang panjang, menelantarkan mereka, atau menyakiti dan
menyiksa anak itu teradapat secara meluas di tengah-tengah masyarakat –walaupun
tidak dimuat di media- kita berahadapan dengan masalah sosial. Penyebabnya tidak boleh lagi dilacak pada
sebab-sebab individual. Kita harus melacaknya pada nilai, pola interaksi
sosial, struktur sosial ekonomi, dan atau pranata sosial. Pemecahannya memerlukan tindakan kolektif
dari seluruh anggota masyarakat.
Betulkah kekerasan pada anak-anak
sekarang sudah menjadi problem sosial?
Lihat saja apakah Anda menemukan macam-macam child abuse di sekitar Anda. Pernahkah Anda melihat anak-anak kecil yang bekerja di jalan-jalan
raya, di pantai, di pabrik, atau di
tempat-tempat berbahaya pada waktu kawan-kawannya yang lain belajar di
sekolah? Seringkah Anda menyaksikan perkelahian di antara anak-anak di daerah
sekitar Anda? Apakah ada di antara
keluarga Anda yang kecil-kecil menjadi korban pemerasan kawan-kawannya? Pernahkah Anda mendengar para mucikari secara
rutin memasok “darah segar” ke tempat-tempat prostitusi? Bila Anda menjawab “ya” untuk seluruh
pertanyaan ini, kita harus berkata kekerasan pada anak-anak sudah menjadi
problem sosial di negeri ini.
Dalam waktu yang singkat kita dapat
mendaftar beberapa faktor sosial yang
menjadi penyebab semuanya ini. Pertama,
norma sosial. Tidak ada kontrol sosial
pada tindakan kekerasan pada anak-anak.
Bapak yang mencambuk anaknya dengan
sabuk tidak akan dipersoalkan
tetangganya, selama anak itu tidak meninggal dunia (lebih tepat lagi, selama
tidak dilaporkan ke polisi). Sebagai
bapak, ia melihat anaknya sebagai hak milik dia yang dapat diperlakukan
sekehendak hatinya. “Anak ini anakku sendiri. Kamu jangan ikut campur,” begitu bentak seorang bapak yang ditegur
kawannya karena menyiksa anak. Tidak ada
aturan hukum yang melindungi anak dari perlakuan buruk orang tua atau wali
atau orang dewasa lainnya.
Saya teringat lelucon di
keluargaku. Ketika saya memeluk anak
perempuan saya yang paling kecil, ia meronta.
Ia dan kakak-kakaknya, yang pernah hidup di Australia, berkata, “Bapak melakukan pelecehan seksual.
Laporkan ke polisi.” Saya tertawa dan
mengingatkan mereka bahwa tidak ada
aparat kepolisian di negeri ini yang mau menerima pengaduan
anak-anak. Tidak ada juga lembaga khusus
yang melakukan kegiatan advokasi untuk membela kepentingan anak. Pranata hukum di Indonesia tidak sama dengan Australia.
Sebagai guru, saya pernah memanggil
seorang anak yang selalu bolos dari sekolah.
Saya memanggil juga orangtuanya. Dengan sedikit bangga, orangtuanya
bercerita bahwa ia mendidik disiplin anaknya mengikuti gaya ABRI. Kegiatannya di rumah diatur sesuai dengan
jadwal yang ditetapkan orangtuanya. Anak harus belajar sampai menjelang tengah
malam. Subuh harus bangun untuk menghapal sejumlah hal yang diperintahkan
bapaknya. Bila anak itu melanggar, ia pasti ditempeleng atau dipukuli. Ia sama
sekali tidak merasa bersalah. Toh, ia
melakukan semuanya demi kebaikan anak.
Mengatur anak tanpa mempertimbangkan kehendak anak dianggap sudah
menjadi kewajiban orangtua.
Ini membawa kita pada faktor sosial
kedua, nilai-nilai sosial. Hubungan anak
dengan orang dewasa berlaku seperti
hirarkhi sosial di masyarakat.
Atasan tidak boleh dibantah. Aparat
pemerintahan harus selalu dipatuhi. Guru harus digugu dan ditiru.
Orangtua tentu saja wajib ditaati dengan sendirinya. Dalam hirarkhi sosial seperti itu anak-anak
berada dalam anak tangga terbawah. Mereka tidak punya hak apa pun. Orang dewasa
dapat berlaku apa pun kepada anak-anak.
Aparat keamanan dapat menahannya
kapan saja di kantor Koramil atau kepolisian tanpa ada tuntutan hukum sama
sekali. Guru dapat menyuruhnya untuk
berlari telanjang, makan rumput, atau
push up sebanyak-banyaknya tanpa mendapat sanksi hukum. Orangtua dapat menyiram anaknya dengan minyak goreng atau
air dingin pada waktu yang lama tanpa
merasa bersalah. Orang dewasa
melihat anak-anak sebagai “bakal manusia” dan bukan sebagai manusia yang
hak-hak asasinya tidak boleh dilanggar.
Faktor ketiga adalah ketimpangan sosial. Kita akan menemukan
bahwa para pelaku dan juga korban child
abuse kebanyakan berasal dari kelompok
sosial ekonomi yang rendah. Kemiskinan,
yeng tentu saja maslah sosial lainnya yang diakibatkan karena struktur ekonomi
dan politik yang menindas, telah
melahirkan semacam subkultur kekerasan.
Karena tekanan ekonomi, orangtua mengalami stress yang berkepanjangan.
Ia menjadi sangat sensisitif. Ia mudah marah. Kelelahan fisik tidak memberinya
kesempatan untuk bercanda dengan anak-anak. Terjadilah kekerasan
emosional. Pada saat tertentu bapak bisa
meradang dan mebentak anak di hadapan banyak orang. Terjadi kekerasan verbal.
Kejengkelan yang bergabung dengan kekecewaan dapat melahirkan kekerasan
fisik. Ia bisa memukuli anaknya atau
memaksanya melakukan pekerjaan yang berat.
Dalam buku ini, ibu atau bapak
menjual anaknya ke agen prostitusi karena tekanan ekonomi. Gelandangan
yang diperkosa preman jalanan terpuruk ke dalam nasibnya yang getir juga karena
kemiskinan. Menurut UUD 45, fakir miskin
dan anak-anak telantar dipelihara negara. Dalam kenyataan, banyak fakir miskin
dan anak-anak ditelantarkan.
Apa pun penyebabnya, kita
memerlukan tindakan kolektif untuk mengatasinya. Kita memerlukan proses
pendidikan yang terus menerus untuk mensosialisasikan nilai-nilai demokratis
dan penghargaan pada hak-hak anak-anak. Kita harus berusaha menegakkan
undang-undang yang melindungi anak-anak dari perlakuan sewenang-wenang
orang-orang dewasa. Kita harus membangun lembaga-lembaga advokasi anak-anak.Ke
situlah anak-anak malang dapat berlindung.
Yang paling penting dari semuanya, kita harus menghilangkan ketimpangan
sosial dengan mereformasi sistem politik dan ekonomi negeri ini. Sudah terlalu
lama pemerintah mengabaikan derita lebih
dari seratus juta rakyat Indonesia untuk
kepentingan seratus orang pengusaha.
Saya tidak tahu apakah semua anjuran ini hanya a cry in wilderness, sehingga banyak anak menahan deritanya sendirian dalam
keadaan tidak berdaya dan tanpa harapan, hapless dan hopeless.
--------------------------------------------------------------------------------
© L.E.Homer,
dalam “The anatomy of a runaway,” Human Behavior. April, 1974,
melakukan studi yang sangat teliti tentang anak-anak yang minggat.
Ada yang minggat karena tidak betah di rumah atau karena ada
pertengkaran dengan anggota keluarga yang lain.
Ada juga yang minggat karena ingin mencari kesenangan- seks, zat
adiktif, ikut pacar atau kawan, atau lari dari sekolah. Yang paling menyedihkan
ialah yang minggat karena bertengkar dengan orangtua atau diusir orangtua
sambil porangtua tidak mengharapkan mereka kembali. Kasus pertama disebut
“runfroms”, kedua “runtos”, dan ketiga “throwaways.”
§ Terry E.
Lawson, The Consequences of “Not Good Enough” Parenting. NSW: Spencer,
tanpa tahun, hal. 13-15.
ª Tentang
pengaruh deprivasi maternal pada perilaku abnormal lihat James C. Coleman, Abnormal Psychology and
Modern Life. Glenview: Scott, Foresman, and Company, 1976, hal. 153-169.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar