Jumat, 30 Januari 2015

Tindakan Kekerasan terhadap Anak-anak


KH. Jalaluddin Rakhmat.        


Dahulu ketika saya murid SMP kelas satu, saya punya teman dua atau tiga tahun lebih muda.  Ia tinggal bersama ayah tirinya. Saya tidak tahu apakah ia bersekolah atau tidak; tetapi ia sering meminta saya membacakan buku-buku cerita.  Ketika semua buku cerita sudah habis saya baca,  saya menyarankan dia untuk membeli buku cerita baru, terjemahan Les Fables dari Jean de la Fontaine. Kalau tidak salah, buku itu diterbitkan Balai Pustaka.

            Sebetulnya saya pun ingin membeli buku itu, tetapi saya tidak punya duit untuk itu.  Saya melihat buku itu di toko buku yang  tidak jauh dari tempat tinggal saya. Pada suatu sore, dengan gembira ia membawa buku itu. Saya heran ia mampu membelinya; padahal saya tahu ia berasal dari keluarga yang sangat sangat miskin.  Karena cerita di situ berupa puisi, saya bukan saja membacanya tetapi juga menguraikan maknanya. Tampaknya ia sangat bahagia.

            Beberapa hari ia tidak datang. Saya merasa kehilangan juga. Di pasar, saya melihat kawan kecil saya itu. Ia sedang lari tunggang langgang. Orang-orang berteriak, “Copet, copet!”  Jantung saya berdegup  keras. Saya berdoa mudah-mudahan ia tidak tertangkap.  Saya memejamkan mata, kuatir doa saya tidak dikabulkan. Saya mendengar jeritan keras.  Ketika saya membuka mata saya, saya melihat kawan kecil saya sedang dipukuli orang banyak.  Saya lari  dengan membawa hati yang teramat pedih.


            Saya tidak tahu siapa yang menyelamatkan dia. Namun, seminggu sesudah itu ia datang lagi, dengan ceria. Kali ini ia datang sambil meletakkan  keranjang kotor penuh berisi potongan kertas, kaleng dan botol bekas,  serta “sampah-sampah” lainnya. Rupanya itulah hasil kerjanya seharian. Lama kelamaan saya terbiasa denga bau sampah dan tubuhnya. saya juga tidak menghiraukan rambutnya yang makin kusut  dan bau yang makin menyengat.  Ketika ia menghilang lagi,  usai magrib, saya mendatangi rumahnya.
Dari luar gubuknya yang kecil, saya mendengar rintihan. Suara kawan kecil saya! Segera saya menyaksikan pemandangan yang mengharukan.  Ibunya sedang menyiramkan minyak goreng yang panas ke kepalanya.   Ia tengah mengobati borok-borok yang  memenuhi batok kepalanya bagian atas.

            Dari tetangganya saya mendengar, borok boroknya itu disebabkan sampah yang dia pikul di atas kepalanya. Ayah tirinya memaksa ia mencari nafkah tambahan. Tidak jarang bila ia tidak bekerja, ia diikat di tiang rumah dan dicambuk dengan ikat pinggang. Cerita tetangga ini pernah saya buktikan. Kawan kecil saya meraung-raung. Ibunya  hanya sanggup menatapnya dengan mata yang berlinang. Saya merasa seakan jantung saya  tertusuk dengan ribuan jarum yang tidak kelihatan.  Saya ingin berteriak: hentikan!, tetapi saya tidak mampu.  Saya berharap orang-orang dewasa  di sekitar itu, yang mendengar jeritan kawan saya itu, akan menghentikannya. Harapan saya sia-sia.  Kawan saya menanggung seluruh derita itu sendirian.

            Berpuluh-puluh tahun kemudian, saya merasakan tusukan jantung itu lagi ketika saya membaca sebagian kisah penganiayaan anak  yang  disusun MIF Baihaqi. Saya ingin berteriak: hentikan!, tetapi saya tahu tidak seorangpun akan mendengarkan teriakan saya -  a cry in wilderness. Kisah-kisah itu  tidak semua mengerikan, memang. Anda  juga bisa berkata: Ini hanya berita di media. Hanya kejadian langka. Hanya kasus kejahatan, yang boleh jadi terjadi juga di negara-negara lain.  Sangat berlebihan untuk mengatakannya seperti judul buku ini   Anak Indonesia Teraniaya.

            Bukankah di Eropa beberapa orang gadis belia pernah juga disekap, diperkosa dan dibunuh.  Bukankah penjualan anak-anak gadis juga terjadi di India dan Pakistan. Bukankah penculikan anak secara internasional berlangsung setiap hari, terutama dari negeri-negeri Asia.  Bukankah perlakuan kejam dari lingkungan kepada anak-anak yang minggat juga banyak terjadi di Amerika©.  Bukankah tindakan kejam kawan bermain atau “bullying” terjadi di mana-mana sehingga menjadi salah satu kajian sosial dan psikologis  yang  tersendiri –juvenile delinquency.  Walhasil, kita tidak serta merta  menunjuk gejala penganiayaan anak dalam buku ini hanya khas di Indonesia.

            Kalau begitu, apa yang menyebabkan hati kita diiris sembilu?  Media –seperti juga buku ini- mengungkapkan  hanya derita anak kecil yang langka.  Derita yang dramatis akibat kejahatan. Namun media juga mengingatkan kita pada  kepedihan anak-anak Indonesia, yang tidak diungkapkan. Derita ini jauh lebih luas, lebih merata, dan dapat kita saksikan sehari-hari di sekitar kita. Kejadian-kejadian itu tidak dramatis, dan karena itu tidak layak untuk dimuat dalam media. Kejadian itu bahkan dianggap sebagai hal yang lumrah; seperti kejadian yang menimpa kawan kecil saya  yang harus bekerja dengan mengorbankan masa kecilnya, sekolahnya,  kesehatan tubuhnya, dan bahkan keselamatan nyawanya.

            Setiap  hari ratusan ribu bahkan  jutaan anak Indonesia  mencari nafkah  di terik matahari, di kedinginan malam, atau di tempat-tempat yang berbahaya.  Setiap hari di Indonesia ada anak yang disiksa orangtuanya atau orang yang memeliharanya. Setiap malam, di antara gelandangan  ada saja gadis-gadis kecil yang diperkosa preman jalanan. Setiap menit  ada saja anak Indonesia  yang ditelantarkan orang tuanya karena kesibukan karir, kemiskinan, atau sekedar egoisme. Mereka tidak masuk koran karena mereka tidak mati tiba-tiba. Umumnya mereka mati perlahan-lahan.  Mereka tidak muncul dalam media  karena perlakuan kejam yang mereka terima tidak dilaporkan (dan tidak diperhatikan) polisi.

           

Perspektif Psikologis
Perlakuan kejam terhadap anak-anak, child abuse,   berkisar sejak pengabaian anak sampai kepada perkosaan dan pembunuhan.  Terry  E. Lawson,  psikiater anak, menyebut empat macam abuse:  emotional abuse, verbal abuse, physical abuse, dan sexual abuse§.  Anak-anak Indonesia banyak  yang mengalami –tepatnya, menderita- keempatnya sekaligus.  Satu saja dari keempat itu yang dilakukan terus menerus akan menyebabkan anak menderita gangguan psikologis.

            “Emotional abuse terjadi ketika si ibu setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, mengabaikan anak itu. Si ibu membiarkan anak basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu pada waktu itu. Si ibu boleh jadi mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk atau dilindungi. Anak akan mengingat semua kekerasan emosional jika kekerasan emosional itu berlangsung konsisten. Si ibu yang secara emosional berlaku keji pada anaknya akan terus menerus melakukan hal yang sama sepanjang kehidupan anak itu...

            Verbal abuse terjadi ketika si ibu, setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, menyuruh anak itu untuk ‘diam’ atau ‘jangan menangis’. Jika si anak mulai berbicara, ibu terus menerus menggunakan kekerasan verbal seperti, “kamu bodoh”, “kamu cerewet”,  “kamu kurang ajar”, “kamu menyebalkan”, dan seterusnya. Anak akan mengingat semua kekerasan verbal jika semua kekerasan verbal itu berlangsung dalam satu periode.

            Physical abuse terjadi ketika si ibu memukul anak (ketika anak sebenarnya memerlukan perhatian). Memukul anak dengan tangan atau kayu, kulit atau logam akan diingat anak itu, jika kekerasan fisik itu berlangsung dalam periode tertentu.

            Sexual abuse biasanya tidak terjadi selama delapan belas bulan pertama dalam kehidupan anak. Walaupun ada beberapa kasus ketika anak perempuan menderita kekerasan seksual dalam usia enam bulan.”

            Semua  tindakan kekerasan kepada anak-anak  akan direkam dalam bawah sadar mereka dan akan dibawa sampai kepada masa dewasa, dan terus sepanjang hidupnya.  Anak yang mendapat perlakuan kejam dari orangtuanya akan menjadi sangat agresif,  dan, setelah menjadi orang tua, akan berlaku kejam kepada anak-anaknya. Orangtua agresif melahirkan anak-anak yang agresif, yang pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang menjadi agresif. Dengan sangat mengerikan, Lawson  menggambarkan bahwa semua jenis gangguan mental (mental disorders) ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima manusia ketika dia masih kecil. 

            Marilah kita  mengambil contoh penderita sosiopath atau antisocial personality disorder.  Gejala kepribadian sosiopath sudah tampak pada masa kanak-kanak atau remaja  dini dalam perilaku seperti sering bolos, mencuri, bohong, vandalisme, bergaul dengan orang jahat, kejam pada binatang, dan prestasi sekolah yang buruk. Pada usia dewasa, orang-orang sosiopath tidak  dapat bertahan dalam suatu pekerjaan, tidak bertanggung jawab sebagai orangtua, suka mengganggu orang lain, senang berkelahi, biasa melakukan tindakan kekerasan kepada istri dan anak-anak,  menipu, mencuri, dan mengambil hak orang lain.

            Mereka tidak merasa bersalah atau gelisah karena sudah meperlakukan orang lain dengan buruk. Mereka malah selalu punya dalih untuk tindakan mereka yang buruk. Mereka tidak jera karena hukuman dan tidak tahan menghadapi godaan.  Mereka tidak dapat mengendalikan emosinya, impulsif, dan tidak bertanggungjawab.  Para sosiopath adalah para MPO, berusaha keras menarik perhatian orang.  Tetapi mereka tidak dapat membina hubungan personal yang akrab dengan siapa pun.  Sosiopath tidak selalu bodoh; banyak di antara mereka yang cerdas dan berhasil secara ekonomis dan politik.  Sebagian sosiopath berlaku sangat agresif, suka kekerasan,  beringas, dan kejam.

            Penyebab utama kepribadian sosiopath adalah  emotional child abuse.  Pada masa kecil ia mengalami  deprivasi maternal ª.  Ia punya ibu yang tidak memperhatikannya, atau  tidak memenuhi kebutuhan emosionalnya.  Lebih-lebih, kalau kekerasan emosional ini (biasanya) ditambah dengankekerasan verbal dan fisikal. Anak selalu dihardik dengan omongan yang menjatuhkan harga dirinya atau  dipukul dengan pukulan yang menyakitkan secara fisik. Para sosiopath yang agresif banyak menderita CNS (Central Nervous System) – penyakit yang menyebabkan orang tidak dapat mengendalikan emosinya atau tidak sanggup berpikir rasional. Trauma CNS umumnya disebabkan  kekerasan fisik yang diderita anak pada waktu kecil.

            Walhasil, jika kita menemukan perilaku yang sangat keji yang dilakukan pada anak-anak, kita dapat menduga dengan hampir mendekati kepastian: Para pelakunya adalah penderita sosiopath atau gangguan mental lainnya.  Perilaku abnormal para “penjahat” itu besar kemungkinan disebabkan karena derita masa kecil yang mereka represikan tetapi tidak pernah dapat mereka lupakan. Pada saat-saat tertentu derita itu tidak tertahankan dan muncul ke alam kesadaran dalam perilaku yang menyimpang.  Sekali lagi, orangtua agresif melahirkan anak-anak yang agresif, yang pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang menjadi agresif.  Dengan kata lain, tindakan kekersan yang dilakukan orang dewasa pada anak-anak akan melahirkan anak-anak yang menggunakan kekerasan sebagai cara mengatasi persoalan.  Akhirnya, anak-anak itu akan menjadi orang-orang berusia dewasa yang  memperolehgkesenangan dengan melakukan tindakan kekerasan. Sebuah lingkaran setan berputar terus-menerus. 

            Dengan demikian, bila kita biarkan tindakan kekerasan terhadap anak-anak itu berlangsung terus, bila derita mereka tidak segera dihilangkan,  maka kita akan  dikejutkan dengan munculnya budaya kekerasan di tengah-tengah bangsa ini, walaupun mereka mendapat penataran P4 atau pengajian agama setiap hari. Jika Anda tidak menginginkan  generasi paranoid, skizoid, sosiopath, atau apa saja, tindakan kekerasan itu harus dihentikan!



Perspektif Sosiologis
            Ketika kekerasan anak-anak berakibat pada budaya kekerasan, kita meninggalkan  dataran psikologis ke dataran sosial yang lebih luas.  Kita berpindah dari problem personal ke problem sosial.  Tindakan kekerasan adalah salah satu problem sosial yang besar pada masyarakat  moderen.  Problem sosial adalah pola perilaku masyarakat atau sejumlah besar anggota masyarakat  yang secara meluas tidak dihendaki masyarakat tetapi disebabkan oleh faktor-faktor sosial dan memer;lukan tindakan sosial untuk mengatasinya.

            Kekerasan pada anak-anak hanya merupakan problem personal, jika hanya menimpa segelintir anak-anak saja. Sebab-sebabnya dapat dilacak pada sebab-sebab psikologis dari individu yang terlibat.  Pemecahannya juga dapat dilakuakn secara individual. Kita berikan saja terapi psikologis pada baik pelaku  maupun korban.  Tetapi jika  perilaku memperkerjakan anak kecil dalam waktu yang panjang,  menelantarkan mereka, atau menyakiti dan menyiksa anak itu teradapat secara meluas di tengah-tengah masyarakat –walaupun tidak dimuat di media- kita berahadapan dengan masalah sosial.  Penyebabnya tidak boleh lagi dilacak pada sebab-sebab individual. Kita harus melacaknya pada nilai, pola interaksi sosial, struktur sosial ekonomi, dan atau pranata sosial.  Pemecahannya memerlukan tindakan kolektif dari seluruh anggota masyarakat.

            Betulkah kekerasan pada anak-anak sekarang sudah menjadi problem sosial?  Lihat saja apakah Anda menemukan macam-macam child abuse di sekitar  Anda. Pernahkah Anda melihat  anak-anak kecil yang bekerja di jalan-jalan raya, di pantai, di pabrik, atau di  tempat-tempat berbahaya pada waktu kawan-kawannya yang lain belajar di sekolah?  Seringkah Anda menyaksikan  perkelahian di antara anak-anak di daerah sekitar Anda?  Apakah ada di antara keluarga Anda yang kecil-kecil menjadi korban pemerasan kawan-kawannya?  Pernahkah Anda mendengar para mucikari secara rutin memasok “darah segar” ke tempat-tempat prostitusi?  Bila Anda menjawab “ya” untuk seluruh pertanyaan ini,  kita harus berkata  kekerasan pada anak-anak sudah menjadi problem sosial di negeri ini.

            Dalam waktu yang singkat kita dapat mendaftar  beberapa faktor sosial yang menjadi penyebab semuanya ini.  Pertama, norma sosial.  Tidak ada kontrol sosial pada tindakan kekerasan pada anak-anak.  Bapak yang mencambuk anaknya dengan  sabuk  tidak akan dipersoalkan tetangganya, selama anak itu tidak meninggal dunia (lebih tepat lagi, selama tidak dilaporkan ke polisi).  Sebagai bapak, ia melihat anaknya sebagai hak milik dia yang dapat diperlakukan sekehendak hatinya. “Anak ini anakku sendiri. Kamu jangan ikut campur,”  begitu bentak seorang bapak yang ditegur kawannya karena menyiksa anak.  Tidak ada aturan hukum yang melindungi anak dari perlakuan buruk orang tua atau wali atau  orang dewasa lainnya.

            Saya teringat lelucon di keluargaku.  Ketika saya memeluk anak perempuan saya yang paling kecil, ia meronta.  Ia dan kakak-kakaknya, yang pernah hidup di Australia,  berkata, “Bapak melakukan pelecehan seksual. Laporkan ke polisi.”  Saya tertawa dan mengingatkan mereka bahwa tidak ada  aparat kepolisian di negeri ini yang mau menerima pengaduan anak-anak.  Tidak ada juga lembaga khusus yang melakukan kegiatan advokasi untuk membela kepentingan anak.  Pranata hukum di Indonesia tidak sama dengan Australia.

            Sebagai guru, saya pernah memanggil seorang anak yang selalu bolos dari sekolah.  Saya memanggil juga orangtuanya. Dengan sedikit bangga, orangtuanya bercerita bahwa ia mendidik disiplin anaknya mengikuti gaya ABRI.  Kegiatannya di rumah diatur sesuai dengan jadwal yang ditetapkan orangtuanya. Anak harus belajar sampai menjelang tengah malam. Subuh harus bangun untuk menghapal sejumlah hal yang diperintahkan bapaknya. Bila anak itu melanggar, ia pasti ditempeleng atau dipukuli. Ia sama sekali tidak merasa  bersalah. Toh, ia melakukan semuanya demi kebaikan anak.  Mengatur anak tanpa mempertimbangkan kehendak anak dianggap sudah menjadi kewajiban orangtua.

            Ini membawa kita pada faktor sosial kedua, nilai-nilai sosial.  Hubungan anak dengan orang dewasa berlaku seperti  hirarkhi sosial di masyarakat.  Atasan tidak boleh dibantah. Aparat  pemerintahan harus selalu dipatuhi. Guru harus digugu dan ditiru. Orangtua tentu saja wajib ditaati dengan sendirinya.  Dalam hirarkhi sosial seperti itu anak-anak berada dalam anak tangga terbawah. Mereka tidak punya hak apa pun. Orang dewasa dapat berlaku apa pun kepada anak-anak.  Aparat keamanan  dapat menahannya kapan saja di kantor Koramil atau kepolisian tanpa ada tuntutan hukum sama sekali. Guru dapat menyuruhnya untuk  berlari telanjang, makan rumput, atau  push up sebanyak-banyaknya tanpa mendapat sanksi hukum. Orangtua dapat  menyiram anaknya dengan minyak goreng atau air dingin pada waktu yang lama tanpa  merasa bersalah.  Orang dewasa melihat anak-anak sebagai “bakal manusia” dan bukan sebagai manusia yang hak-hak asasinya tidak boleh dilanggar.

            Faktor ketiga adalah  ketimpangan sosial. Kita akan menemukan bahwa  para pelaku dan juga korban child abuse kebanyakan berasal dari  kelompok sosial ekonomi yang rendah.  Kemiskinan, yeng tentu saja maslah sosial lainnya yang diakibatkan karena struktur ekonomi dan politik yang menindas,  telah melahirkan semacam subkultur kekerasan.  Karena tekanan ekonomi, orangtua mengalami stress yang berkepanjangan. Ia menjadi sangat sensisitif. Ia mudah marah. Kelelahan fisik tidak memberinya kesempatan untuk bercanda dengan anak-anak. Terjadilah kekerasan emosional.  Pada saat tertentu bapak bisa meradang dan mebentak anak di hadapan banyak orang. Terjadi kekerasan verbal. Kejengkelan yang bergabung dengan kekecewaan dapat melahirkan kekerasan fisik.  Ia bisa memukuli anaknya atau memaksanya melakukan pekerjaan yang berat.  Dalam buku ini, ibu atau bapak  menjual anaknya ke agen prostitusi karena tekanan ekonomi. Gelandangan yang diperkosa preman jalanan terpuruk ke dalam nasibnya yang getir juga karena kemiskinan.  Menurut UUD 45, fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara negara. Dalam kenyataan, banyak fakir miskin dan anak-anak ditelantarkan.

            Apa pun penyebabnya, kita memerlukan tindakan kolektif untuk mengatasinya. Kita memerlukan proses pendidikan yang terus menerus untuk mensosialisasikan nilai-nilai demokratis dan penghargaan pada hak-hak anak-anak. Kita harus berusaha menegakkan undang-undang yang melindungi anak-anak dari perlakuan sewenang-wenang orang-orang dewasa. Kita harus membangun lembaga-lembaga advokasi anak-anak.Ke situlah anak-anak malang dapat berlindung.  Yang paling penting dari semuanya, kita harus menghilangkan ketimpangan sosial dengan mereformasi sistem politik dan ekonomi negeri ini. Sudah terlalu lama pemerintah  mengabaikan derita lebih dari seratus juta rakyat Indonesia untuk    kepentingan seratus orang pengusaha.  Saya tidak tahu apakah semua anjuran ini hanya   a cry in wilderness,  sehingga banyak  anak menahan deritanya sendirian dalam keadaan tidak berdaya dan tanpa harapan, hapless dan hopeless. 



--------------------------------------------------------------------------------

© L.E.Homer, dalam “The anatomy of a runaway,” Human Behavior.  April, 1974,  melakukan studi yang sangat teliti tentang anak-anak yang  minggat.  Ada yang minggat karena tidak betah di rumah atau karena ada pertengkaran dengan anggota keluarga yang lain.  Ada juga yang minggat karena ingin mencari kesenangan- seks, zat adiktif, ikut pacar atau kawan, atau lari dari sekolah. Yang paling menyedihkan ialah yang minggat karena bertengkar dengan orangtua atau diusir orangtua sambil porangtua tidak mengharapkan mereka kembali. Kasus pertama disebut “runfroms”, kedua “runtos”, dan ketiga “throwaways.”

§ Terry E. Lawson, The Consequences of “Not Good Enough” Parenting.  NSW: Spencer,  tanpa tahun, hal. 13-15.

ª Tentang pengaruh deprivasi maternal pada perilaku abnormal lihat  James C. Coleman, Abnormal Psychology and Modern Life. Glenview: Scott, Foresman, and Company, 1976, hal. 153-169.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar