Salah satu
pertanyaan yang sering dilontarkan seputar Khilafah adalah bagaimana tata cara
(metode) untuk pengangkatan Khalifah. Tidak sedikit yang menolak sistem
Khilafah dengan alasan di dalam Islam tidak ada ketentuan yang jelas tentang
mekanisme pengangkatan Khalifah. Berikut ini tulisan tentang hal itu yang
diambil dari kitab ajhizatu ad Daulah al Khilafah (Struktur Negara Khilafah ).
Kitab ini dikeluarkan dan diadopsi oleh Hizb at-Tahrir. (redaksi)
Ketika
syara’ mewajibkan umat Islam untuk mengangkat seorang Khalifah, syara’ juga
telah menentukan metode yang harus dilaksanakan untuk mengangkat Khalifah.
Metode ini ditetapkan dengan al-Kitab, as-Sunah dan Ijmak Sahabat. Metode itu
adalah baiat. Maka pengangkatan Khalifah itu dilakukan dengan baiat kaum muslim
kepadanya untuk (memerintah) berdasarkan Kitabullah dan Sunah Rasulullah. Yang
dimaksud kaum muslim disini adalah kaum muslim yang menjadi rakyat Khalifah
sebelumnya jika Khalifah sebelumnya itu ada. Atau kaum muslim penduduk suatu
wilayah yang disitu diangkat seorang Khalifah, jiak sebelumnya tidak ada
Khalifah.
Kedudukan
baiat sebagai metode pengangkatan Khalifah telah ditetapkan dari baiat kaum
muslim kepada Rasulullah saaw dan dari perintah beliau kepada kita untuk
membaiat seorang imam. Baiat kaum muslim kepada Rasul saw, sesungguhnya
bukanlah bait atas kenabian, melainkan baiat atas pemerintahan. Karena baiat
itu adalah baiat atas amal dan bukan baiat untuk mempercayai kenabian. Beliau
dibaiat tidak lain dalam kapasitas sebagai penguasa, bukan dalam kapasitas
sebagai nabi dan rasul. Sebab pengakuan atas kenabian dan kerasulan adalah
masalah iman, bukan baiat. Maka baiat kepada Beliau itu tidak lain adalah baiat
dalam kapasitas beliau sebagai kepala negara.
Masalah
baiat itu telah tercantum dalam al-Quran dan hadits. Allah Swt telah berfirman
:
يَاأَيُّهَا
النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَى أَنْ لاَ يُشْرِكْنَ
بِاللهِ شَيْئًا وَلَا يَسْرِقْنَ وَلاَ يَزْنِينَ وَلاَ يَقْتُلْنَ
أَوْلاَدَهُنَّ وَلاَ يَأْتِينَ بِبُهْتَانٍ يَفْتَرِينَهُ بَيْنَ أَيْدِيهِنَّ
وَأَرْجُلِهِنَّ وَلاَ يَعْصِينَكَ فِي مَعْرُوفٍ
Hai Nabi,
apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji
setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatupun dengan Allah; tidak
akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan
berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak
akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik.
(QS. Muhtahanah : 12)
(QS. Muhtahanah : 12)
إِنَّ
الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللهَ يَدُ اللهِ فَوْقَ
أَيْدِيهِمْ
Bahwasanya
orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia
kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka.
(QS. al-Fath : 10)
(QS. al-Fath : 10)
Imam Bukhari
meriwayatkan : Ismail telah menyampaikan kepada kami, Malik telah menyampaikan
kepadaku dari Yahya bin Sa’id, ia berkata : “Ubadah bin Walid telah
memberitahuku, Bapakku telah memberitahuku dari Ubadah bin Shamit yang
mengakatakan :
بَايَعْنَا
رَسُولَ اللهِ r عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ
وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ اْلأَمْرَ أَهْلَهُ وَأَنْ نَقُومَ أَوْ نَقُولَ بِالْحَقِّ
حَيْثُمَا كُنَّا لاَ نَخَافُ فِي اللهِ لَوْمَةَ لاَئِمٍ
Kami telah
membaiat Rasulullah saw untuk senantiasa mendengar dan mentaatinya, baik dalam
keadaan yang kami senangi maupun yang tidak kami senangi dan agar kami tidak
akan merebut kekuasaan dari orang yang berhak dan agar kami senantiasa
mengerjakan atau mengatakan yang haq di mana saja kami berada tidak takut
karena Allah kepada celaan orang-orang yang suka mencela
(HR. Bukhari)
(HR. Bukhari)
Dalam
riwayat Imam Muslim dari Abdullah bin Amr bin al-‘Ash bahwa Rasulullah saw
pernah bersabda :
وَمَنْ
بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَ ثَمْرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ
إِنْ اِسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرٌ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوْا عُنُقَ اْلآخَرِ
Dan siapa
saja yang telah membaiat seorang imam lalu ia telah memberikan genggaman
tangannya dan buah hatinya, maka hendaklah ia mentaatinya sesuai dengan
kemampuannya, dan jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaannya maka
penggallah orang lain itu
(HR. Muslim)
(HR. Muslim)
Juga di
dalam Shahih Muslim, dari Abu Sa’id al-Khudzri yang mengatakan : Rasulullah saw
pernah bersabda :
إِذَا
بُوْيِعَ لِخَلِيْفَتَيْنِ فَاقْتُلُوْا اْلآخِرَ مِنْهُمَا
Jika dibaiat
dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang paling akhir dari keduanya
(HR. Muslim)
(HR. Muslim)
Imam Muslim
juga meriwayatkan dari Abiy Hazim yang berkata : “aku mengikuti mejelis Abu
Hurairah selama lima tahun, dan aku mendengar ia menyampaikan hadits dari Nabi
saw, Beliau pernah bersabda :
كَانَتْ
بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ
نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ، قَالُوا
فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: فُوْا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ
حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
Dahulu Bani
Israel diurusi dan dipelihara oleh para nabi, setiap kali seorang nabi
meninggal digantikan oleh nabi, dan sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku, dan
akan ada para Khalifah, dan mereka banyak, para sahabat bertanya : “lalu apa
yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi bersabda : “penuhilah baiat yang
pertama dan yang pertama, berikanlah kepada mereka hak mereka, dan sesungguhnya
Allah akan meminta pertanggung-jawaban mereka atas apa yang mereka diminta
untuk mengatur dan memeliharanya
(HR. Muslim)
(HR. Muslim)
Nas-nas
al-Quran dan as-Sunah di atas secara jelas menunjukkan bahwa satu-satunya
metode mengangkat Khalifah adalah baiat. Seluruh sahabat telah memahami hal itu
dan bahkan mereka telah melaksanakannya. Baiat Khulafa’ur Rasyidin sangat jelas
dalam masalah ini.
Prosedur Praktis Pengangkatan dan Baiat Khalifah
Prosedur
praktis untuk mencalonkan Khalifah sebelum di baiat boleh menggunakan bentuk
yang berbeda-beda. Hal itu sebagaimana yang terjadi kepada Khulafa’ur Rasyidin
yang datang pasca wafatnya Rasulullah secara langsung. Mereka adalah Abu Bakar,
Umar, Utsman dan ‘Ali –radhiyaLlâh ‘anhum–. Seluruh sahabat mendiamkan dan
menyetujui tata cara itu. Padahal tata cara itu termasuk perkara yang harus
diingkari seandainya bertentangan dengan syara’. Karena perkara tersebut
berkaitan dengan perkara terpenting yang menjadi sandaran keutuhan insitusi
kaum muslim dan kelestarian pemerintahan yang melaksanakan hukum Islam. Dari
penelitian terhadap peristiwa yang terjadi dalam pengangkatan keempat Khalifah
itu, kami mendapati bahwa sebagian kaum muslim telah berdiskusi di Saqifah Bani
Sa’idah. Mereka yang dicalonkan adalah Sa’ad, Abu Ubaidah, Umar dan Abu Bakar.
Hanya saja Umar bin Khaththab dan Abu Ubaidah tidak rela menjadi pesaing Abu
Bakar. Maka seakan-akan perkaranya berada hanya diantara Abu Bakar dan Sa’ad
bin Ubadah, bukan yang lain. Hasil diskusi itu adalah dibaiatnya Abu Bakar.
Kemudian pada hari kedua, kaum muslim diundang ke Masjid Nabawi lalu mereka
membaiat Abu Bakar di sana. Maka baiat di Saqifah adalah baiat in’iqad sehingga
dengan itu Abu Bakar menjadi Khalifah kaum muslim. Dan baiat di Masjid pada
hari kedua merupakan baiat taat.
Ketika Abu
Bakar merasa bahwa sakitnya akan membawa maut, dan khususnya karena pasukan
kaum muslim sedang berada di medan perang melawan negara besar kala itu, Persia
dan Rumawi, Abu Bakar memanggil kaum muslim meminta pendapat mereka tentang
siapa yang akan menjadi Khalifah kaum muslim sepeninggalnya. Proses musyarawah
itu berlangsung selama tiga bulan. Ketika Abu Bakar telah selesai meminta
pendapat kaum muslim itu dan ia akhirnya mengetahui pendapat mayoritas kaum
muslim, maka Abu Bakar mewasiatkan Umar, yakni mencalonkan sesuai dengan bahasa
kala itu, agar Umar menjadi Khalifah setelahnya. Wasiat atau pencalonan itu bukan
merupakan akad pengangkatan Umar sebagai Khalifah setelah Abu Bakar. Karena
setelah wafatnya Abu Bakar, kaum muslim datang ke masjid dan membaiat Umar
untuk memangku jabatan Khilafah. Dengan baiat inilah Umar sah menjadi Khalifah
kaum muslim, bukan karena musyawarah yang dilakukan oleh Abu Bakar. Juga bukan
karena wasiat Abu Bakar. Karena seandainya wasiat dari Abu Bakar merupakan akad
khilafah kepada Umar, pastilah tidak lagi memerlukan baiat kaum muslim.
Terlebih lagi nas-nas yang telah kami sebutkan sebelumnya telah menunjukkan
secara jelas bahwa seseorang tidak akan menjadi Khalifah kecuali melalui baiat
kaum muslim.
Ketika Umar
tertikam, kaum muslim memintanya untuk menunjuk pengganti, namun Umar menolak.
Setelah mereka terus mendesak, Beliau menunjuk enam orang yakni mengajukan
calon sebanyak enam orang kepada kaum muslim. Kemudian Beliau menunjuk Suhaib
untuk mengimami manusia dan untuk memimpin enam orang yang telah Beliau
calonkan sehingga terpilih Khalifah dari mereka dalam jangka waktu tiga hari
sebagaimana yang telah Beliau tentukan bagi mereka. Beliau berkata kepada
Suhaib : “…. jika lima orang bersepakat dan rela dengan satu orang, dan yang
menolak satu orang maka penggallah orang yang menolak itu dengan pedang …”.
Peristiwa itu sebagaimana yang diceritakan oleh ath-Thabari dalam Târîkh
ath-Thabariy, oleh Ibn Qutaibah pengarang buku al-Imâmah wa as-Siyâsah yang
lebih dikenal dengan sebutan Târîkh al-Khulafâ’, oleh Ibn Sa’ad dalam Thabaqât
al-Kubrâ. Kemudian beliau menunjuk Abu Thalhah al-Anshari bersama lima
puluh orang untuk menjaga mereka. Beliau menugasi Miqdad untuk memilih tempat
bagi para calon itu mengadakan pertemuan.
Kemudian
setelah Beliau wafat dan setelah para calon berkumpul, Abdurrahman bin ‘Awf
berkata : “…. siapa diantara kalian yang bersedia mengundurkan diri dan
bersedia menyerahkan urusannya untuk dipimpin oleh orang yang terbaik diantara
kalian?” Semuanya diam. Abdurrahman bin ‘Awf berkata : ” aku mengundurkan
diri.” Lalu Abdurrahman mulai meminta pendapat mereka satu persatu. Ia menanyai
mereka, seandainya perkara itu diserahkan kepada masing-masingnya, siapa
diantara mereka yang lebih berhak. Maka jawabannya terbatas pada dua orang :
Ali dan Utsman. Setelah itu, Abdurrahman mulai merujuk kepada pendapat kaum
muslim dengan menanyai mereka siapa diantara kedua orang itu (Ali dan Utsman)
yang mereka kehendaki. Ia menanyai baik laki-laki maupun perempuan dalam rangka
menggali pendapat masyarakat. Abdurrahman bin ‘Awf melakukannya siang dan
malam. Imam Bukhari mengeluarkan riwayat dari jalan al-Miswar bin Mukhrimah
yang berkata : “.. Abdurrahman mengetuk pintu rumahku pada tengah malam, Ia
mengetuk pintu hingga aku terbangun, ia berkata : “aku lihat engkau tidur, dan
demi Allah jangan engkau habiskan tiga hari ini dengan banyak tidur.” Yakni
tiga malam. Ketika orang-orang melaksanakan shalat subuh, sempurnalah
dilangsungkan bait kepada Utsman. Maka dengan baiat kaum muslim itu, Utsman
menjadi Khalifah, bukan dengan penetapan Umar kepada enam orang.
Kemudian
Utsman terbunuh. Lalu mayoritas kaum muslim di Madinah dan Kufah membaiat ‘Ali
bin Abiy Thalib. Maka dengan baiat kaum muslim itu, Ali menjadi seorang
Khalifah.
Dengan
meneliti tata cara pembaiatan mereka –radhiyaLlâh ‘anhum– jelaslah bahwa
orang-orang yang dicalonkan itu diumumkan kapada masyarakat. Dan jelas pula
bahwa syarat in’iqad terpenuhi dalam diri masing-masing dari mereka. Kemudian
diambil pendapat dari ahl al-halli wa al-’aqdi diantara kaum muslim, yaitu
mereka yang merepresentasikan umat. Mereka yang dicalonkan itu dikenal luas
pada masa Khulafa’ur Rasyidin, karena mereka adalah para sahabat –radhiyaLlâh
‘anhum– atau penduduk Madinah. Siapa yang dikehendaki oleh para sahabat atau
mayoritas para sahabat, maka orang itu dibaiat dengan baiat in’iqad dan dengan
itu ia menjadi Khalifah dan kaum muslim menjadi wajib untuk mentaatinya. Lalu
kaum muslim secara umum membaiatnya dengan baiat taat. Demikianlah terwujud
Khalifah dan ia menjadi wakil umat dalam menjalankan pemerintahan dan
kekuasaan.
Inilah yang
dapat dipahami dari apa yang terjadi pada baiat Khulafa’ur Rasyidin
–radhiyaLlâh ‘anhum–. Dari sana juga terdapat dua perkara lain yang dapat
dipahami dari pencalonan Umar kepada enam orang dan dari prosedur pembaitan
Utsman. Dua perkara itu adalah : adanya amir sementara yang memimpin selama
jangka waktu pengangkatan Khalifah yang baru dan pembatasan calon sebanyak enam
orang sebagai jumlah paling banyak.
Amir Sementara
Ketika
Khalifah merasa ajalnya sudah dekat menjelang kosongnya jabatan Khilafah pada
waktunya, Khalifah memiliki hak menunjuk amir sementara untuk menangani urusan
masyarakat selama jangka waktu proses pengangkatan Khalifah yang baru. Amir
sementara itu memulai tugasnya langsung setelah wafatnya Khalifah. Tugas
pokoknya adalah melangsungkan pemilihan Khalifah yang baru dalam jangka waktu
tiga hari.
Amir
sementara ini tidak boleh mengadopsi (melegislasi) suatu hukum. Karena
pengadopsian hukum itu adalah bagian dari wewenang Khalifah yang dibaiat oleh
umat. Demikian juga, Amir sementara itu tidak boleh mencalonkan untuk jabatan
khilafah atau mendukung salah seorang calon yang ada. Sebab Umar bin Khaththab
telah menunjuk amir sementara itu dari selain orang yang dicalonkan untuk
menduduki jabatan khilafah.
Jabatan amir
sementara itu berakhir dengan diangkatnya Khalifah yang baru. Karena tugasnya
hanya sementara waktu untuk kepentingan pengangkatan Khalifah yang baru itu.
Dalil yang
menunjukkan bahwa Suhaib merupakan amir sementara yang ditunjuk oleh Umar
adalah :
Perkataan
Umar kepada para calon : “agar Suhaib memimpin kalian selama tiga hari dimana
kalian bermusyawarah.” Kemudian Umar berkata kepada Suhaib : “pimpinlah shalat
orang-orang selama tiga hari.” Sampai Beliau berkata : ” jika lima orang telah
sepakat terhadap satu orang, dan satu orang menolak maka penggallah lehernya
dengan pedang ….” Ini artinya bahwa Suhaib telah ditunjuk sebagai amir bagi
mereka. Ia telah ditunjuk sebagai amir shalat, dan kepemimpinan shalat
maksudnya adalah kepemimpinan atas manusia. Dan juga karena ia telah diberi
wewenang menjalankan uqubat (sanksi) “penggallah lehernya“, sementara
tidak ada yang boleh melaksanakan pembunuhan itu kecuali seorang amir.
Perkara itu
telah terjadi dihadapan para sahabat tanpa ada pengingkaran, maka ketentuan
tersebut menjadi ijmak bahwa Khalifah memiliki hak menunjuk amir sementara yang
melangsungkan pemilihan Khalifah yang baru. Berdasarkan hal ini, selama
kehidupannya, Khalifah juga boleh mengadopsi pasal yang menyatakan bahwa jika
Khalifah meninggal dunia dan belum menunjuk amir sementara untuk melangsungkan
pengangkatan Khalifah yang baru, hendaknya salah seorang menjadi amir
sementara.
Kami
mengadopsi dalam masalah ini, jika Khalifah selama sakitnya menjelang maut
tidak menunjuk amir sementara, hendaknya amir sementara itu adalah mu’awin
tafwidh yang paling tua, kecuali jika ia dicalonkan. Maka berikutnya adalah
mu’awin tafwidh yang lebih muda setelahnya diantara para mu’awin tafwidh.
Demikianlah sampai semua mu’awin tafwidh, seterusnya adalah para mu’awin
tanfidz dengan urutan seperti itu.
Hal itu juga
berlaku dalam kondisi Khalifah diberhentikan. Amir sementara adalah mu’awin
tafwidh yang paling tua jika ia tidak dicalonkan. Jika ia dicalonkan, maka
mu’awin tafwidh yang lebih muda setelahnya, sampai semua mu’awin tafwidh habis.
Kemudian mu’awin tanfidz yang paling tua. Jika semua mu’awin ingin mencalonkan
diri (atau dicalonkan), maka mu’awin tanfidz yang paling muda harus menjadi
amir sementara.
Ketentuan
ini juga berlaku pada kondisi Khalifah berada dalam tawanan, meski ada beberapa
detil berkaitan dengan wewenang amir sementara dalam kondisi Khalifah tertawan
sementara terdapat kemungkinan bebas, dan dalam kondisi tidak ada kemungkinan
bebas. Dan kami akan mengatur wewenang-wewenang ini dalam undang-undang yang
akan dikeluarkan pada waktunya nanti.
Amir
sementara ini berbeda dengan orang yang ditunjuk Khalifah untuk mewakilinya
ketika ia keluar untuk melaksanakan jihad atau keluar melakuakn perjalanan
sebagaimana yang diperbuat oleh Rasulullah setiap kali Beliau keluar untuk
berjihad atau ketika Beliau melaksanakan Haji Wada’ atau yang semisalnya. Orang
yang diangkat dalam kondisi ini, wewenangnya sesuai dengan yang ditentukan oleh
Khalifah dalam menjalankan pengaturan berbagai urusan (ri’âyah asy-syu’un) yang
dituntut oleh penunjukan wakil itu.
Pembatasan Jumlah Calon Khalifah
Dari
penelitian terhadap tata cara pengangkatan Khulafa’ur Rasyidin, nampak jelas
bahwa pembatasan jumlah calon itu benar-benar terjadi. Pada peristiwa Saqifah
Bani Sa’idah, para calon itu adalah Abu Bakar, Umar, Abu Ubaidah, dan Sa’ad bin
Ubadah, dan dicukupkan dengan keempatnya. Akan tetapi, Umar dan Abu Ubaidah
merasa tidak sepadan dengan Abu Bakar sehingga keduanya tidak mau bersaing
dengan Abu Bakar. Maka pencalonan secara praktis terjadi diantara Abu Bakar dan
Sa’ad bin Ubadah. Kemudian ahl al-halli wa al-‘aqdi di Saqifah memilih Abu
Bakar sebagai Khalifah dan membaiatnya dengan baiat in’iqad. Pada hari
berikutnya kaum muslim membaiat Abu Bakar di Masjid dengan baiat taat.
Abu Bakar
hanya mencalonkan Umar, dan tidak ada calon lainnya. Kemudian kaum muslim
membaiat Umar dengan baiat in’iqad lalu baiat taat.
Umar
mencalonkan enam orang dan membatasinya pada mereka dan dipilih dari mereka
satu orang sebagai Khalifah. Kemudian Abdurrahman bin ‘Awf berdiskusi dengan
kelima yang lain dan akhirnya membatasi calon pada dua orang yaitu ‘Ali dan
Utsman. Hal itu dilakukan setelah lima orang yang lain mewakilkan kepadanya.
Setelah itu, Abdurrahman menggali pendapat masyarakat. Dan akhirnya suara
masyarakat menetapkan Utsman sebagai Khalifah.
Adapun ‘Ali,
tidak ada calon lain selain dia untuk menduduki jabatan khilafah. Maka
mayoritas kaum muslim di Madinah dan Kufah membaiatnya dan jadilah ia sebagai
Khalifah keempat.
Dan karena
baiat Utsman di dalamnya telah terealisisasi : jangka waktu terpanjang yang
dibolehkan untuk memilih Khalifah yaitu tiga hari dengan dua malamnya; dan
demikian juga jumlah calon dibatasi sebanyak enam orang, kemudian setelah itu
dijadikan dua orang, maka berikut akan kami sebutkan tata cara terjadinya
peristiwa tersebut secara detil untuk mengambil faedah darinya :
1. Umar
wafat pada Ahad subuh tanggal 1 Muharam 24 H sebagai akibat dari tikaman Abu
Lu’lu’ah –la’anahuLlâh–. Umar tertikam dalam keadaan berdiri melaksanakan
shalat di mihrab pada Rabu fajar empat hari tersisa dari bulan Dzul Hijjah 23
H. Suhaib mengimami shalat jenazah untuk Umar seperti yang telah Beliau
pesankan.
2. Setelah
selesai pemakaman jenazah Umar –radhiyaLlâh ‘anhu–, Miqdad mengumpulkan ahl
syura yang telah dipesankan Umar di satu rumah. Abu Thalhah bertugas menjaga
(mengisolasi) mereka. Mereka berenam duduk bermusyawarah. Kemudian mereka
mewakilkan kepada Abdurrahman bin ‘Awf untuk memilih diantara mereka sebagai
Khalifah dan mereka rela.
3.
Abdurrahman mulai berdiskusi dan menanyai masing-masing : jika ia tidak menjadi
Khalifah, siapa dari empat calon yang lain yang ia pandang sebagai Khalifah?
Jawaban mereka tidak menentukan Ali dan Utsman. Dan berikutnya Abdurrahman
membatasi perkara dengan dua orang (‘Ali dan Utsman) dari enam orang itu.
4. Setelah
itu, Abdurrahman meminta pendapat masyarakat seperti yang sudah diketahui.
5. Pada
malam Rabu yakni malam hari ketiga setelah wafatnya Umar pada hari Ahad,
Abdurrahman pergi ke rumah Putra Saudarinya, al-Maysur bin Mukhrimah, dan dari
sini saya nukilkan dari al-Bidâyah wa an-Nihâyah karya Ibn Katsir :
Ketika malam
Rabu setelah wafatnya Umar, Abdurrahman datang ke rumah putra saudarinya,
al-Maysur bin Mukhrimah, dan ia berkata : “apakah engkau tidur wahai Maysur?
Demi Allah aku tidak tidur sejak tiga …” yakni tiga malam setelah wafatnya Umar hari Ahad
subuh, artinya malam Senin, malam Selasa dan malam Rabu, sampai Abdurrahman
berkata : “pergilah dan panggilkan Ali dan Utsman untukku…..Kemudian ia
keluar ke masjid bersama Ali dan Utsman….Lalu ia menyeru kepada orang-orang
secara umum : ash-shalâtu jâmi’ah (mari shalat berjama’ah). Saat itu
adalah saat fajar hari Rabu. Kemudian Abdurrahman mengambil tangan ‘Aliy
–radhiyaLlâh ‘anhu wa karamaLlâh wajhah– dan ia menanyainya tentang (kesediaan)
dibaiat berdasarkan al-Kitab, Sunah Rasulullah dan perbuatan Abu Bakar dan
Umar. Lalu Ali menjawabnya dengan jawaban yang sudah dikenal : berdasarkan
al-Kitab dan as-Sunah, iya, sedangkan atas perbuatan Abu Bakar dan Umar, maka
ia (Ali) akan berijtihad sesuai pendapatnya sendiri. Lalu Abdurrahman
melepaskan tangan Ali. Berikutnya Abdurrahman mengambil tangan Utsman dan
menanyai Utsman dengan pertanyaan yang sama. Lalu Utsman menjawah : “demi
Allah, ya”. Dan sempurnalah dilangsungkan baiat kepada Utsman –radhiyaLlâh
‘anhu–.
Dan Suhaib
mengimami shalat Subuh dan salat Dhuhur hari itu. Kemudian Utsman mengimami
Shalat Ashar pada hari itu sebagai Khalifah kaum muslim. Artinya, meskipun
baiat in’iqad kepada Utsman dimulai ketika shalat subuh, namun kepemimpinan
Suhaib belum berakhir kecuali setelah terjadi baiat ahl al-hall wa al-‘aqd di
Madinah kepada Utsman yang selesai dilakukan menjelang shalat Ashar. Karena
para sahabat berdesak-desakan untuk membaiat Utsman sampai setelah tengah hari
dan menjelang shalat Ashar. Baiat itu selesai dilakukan menjelang shalat Ashar.
Maka saat itu berakhirlah kepemimpinan Suhaib dan Utsman menjadi imam shalat
Ashar dalam kapasitasnya sebagai Khalifah kaum muslim.
Penulis al-Bidâyah
wa an-Nihâyah (Ibn Katsir) menjelaskan kenapa Suhaib masih mengimami shalat
Dhuhur, dan sudah diketahui bahwa baiat kepada Utsman telah sempurna dilangsungkan
pada waktu fajar. Ibn Katsir berkata :
“…
orang-orang membaiat Utsman di Masjid, kemudian Utsman pergi ke Dar Syura
(yakni rumah tempat berkumpulnya ahl syura), dan sisa manusia yang lain
membaiat Utsman di tempat itu. Dan seakan baiat itu baru selesai (sempurna)
setelah shalat Dhuhur. Suhaib pada hari itu mengimami shalat Dhuhur di Masjid
Nabawi. Sedang shalat pertama kali yang dilaksanakan oleh Khalifah Amîr
al-Mu’minîn Utsman mengimami masyarakat adalah shalat Ashar….”.
Dalam hal
ini terdapat perbedaan (dalam beberapa riwayat) mengenai hari tertikamnya Umar
dan hari dibaiatnya Utsman…. akan tetapi kami sebutkan yang lebih kuat diantara
riwayat yang ada.
Atas dasar
ini, beberapa perkara berikut wajib diambil sebagai ketentuan saat pencalonan khilafah
setelah Khalifah sebelumnya lengser baik karena meninggal dunia atau di copot,
yaitu :
1. aktivitas
berkaitan dengan masalah pencalonan hendaknya dilakukan pada malam dan siang
hari pertama.
2.
Pembatasan calon dari sisi terpenuhinya syarat in’iqad. Hal ini dilakukan oleh
Mahkamah Mazhalim.
3.
Pembatasan jumlah calon yang layak dilakukan dua kali : pertama, dibatasi
sebanyak enam orang, dan kedua dibatasi menjadi dua orang. Pihak yang melakukan
dua pembatasan ini adalah Majelis Umat dalam kapasitasnya sebagai wakil umat.
Karena umat mendelegasikan kepada Umar, lalu Umar menetapkannya enam orang. Dan
enam orang itu mendelegasikan kepada Abdurrahman dan setelah melalui diskusi
dibatasi menjadi dua orang. Referensi semua ini adalah sebagaimana yang sudah
jelas adalah umat atau yang mewakili umat.
4. Wewenang
amir sementara berakhir dengan berakhirnya proses baiat dan pengangkatan
Khalifah, bukan dengan pengumuman hasil pemilihan. Suhaib belum berakhir
kepemimpinannya dengan terpilihnya Utsman akan tetapi dengan selesainya baiat.
Sesuai
dengan yang sudah dijelaskan, akan dikeluarkan undang-undang yang menentukan
tata cara pemilihan Khalifah selama dua malam tiga hari. Undang-undang untuk
itu telah dibuat dan akan selesai didiskusikan dan diadopsi pada waktunya
nanti.
Ini jika
sebelumnya terdapat Khalifah yang meninggal atau dicopot. … dan hendak
direalisasikan Khalifah baru menggantikannya. Adapun jika sebelumnya belum
terdapat Khalifah, maka wajib bagi kaum muslim menegakkan seorang Khalifah bagi
mereka, untuk menerapkan hukum-hukum syara’ dan mengemban dakwah Islamiyah ke
seluruh dunia. Kondisi itu seperti kondisi yang ada sejak lenyapnya Khilafah
Islamiyah di Istanbul pada tanggal 28 rajab 1342 H bertepatan dengan 3 Maret
1924 M. Setiap negeri dari berbagai negeri yang ada di dunia Islam layak untuk
membaiat Khalifah dan mengakadkan jabatan khilafah. Maka saat itu menjadi wajib
bagi kaum muslim di seluruh negeri untuk membaiatnya dengan baiat taat. Yakni
baiat keterikatan setelah terakadkan kepadanya dengan baiat penduduk negeri
itu, asalkan negeri itu memenuhi empat syarat berikut :
1. Kekuasaan
negeri itu haruslah kekuasaan yang bersifat independent yang hanya bersandar
kepada kaum muslim saja. Tidak bersandar kepada satu negara kafir atau
kekuasaan kafir manapun.
2. Keamanan
kaum muslim di negeri itu adalah kemanan Islam, bukan keamanan kufur. Yakni
hendaknya perlindungan baik dari dalam negeri maupun luar negeri merupakan
perlindungan Islam berasal dari kekuatan kaum muslim sebagai kekuatan Islam saja.
3. Hendaknya
penerapan Islam dilakukan secara langsung dan sekaligus dan secara sempurna
sebagai penerapan yang bersifat revolusioner dan menyeluruh (tathbîqan
inqilâbiyan syâmilan) dan langsung mengemban dakwah Islamiyah
4. Khalifah
yang dibaiat harus memenuhi syarat in’iqad khilafah meskipun tidak memenuhi
syarat afdhaliyah. Karena yang wajib adalah syarat in’iqad.
Jika negeri
itu memenuhi keempat hal di atas, maka hanya dengan baiat negeri itu saja,
khilafah sungguh telah terwujud dan terakadkan. Khalifah yang mereka baiat
dengan baiat in’iqad secara sah merupakan Khalifah yang syar’i dan tidak sah
baiat kepada yang lain.
Setelah itu,
negeri lain manapun yang membaiat Khalifah yang lain maka baiat itu tidak sah
dan batil. Karena Rasulullah saw pernah bersabda :
إِذَا
بُوْيِعَ لِخَلِيْفَتَيْنِ فَاقْتُلُوْا اْلآخِرَ مِنْهُمَا
Jika dibaiat
dua orang Khalifah maka bunuhlah yang paling akhir dari keduanya
… فُوْا
بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ
.. penuhilah
baiat yang pertama lalu yang pertama
مَنْ بَايَعَ
إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَ ثَمْرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ
اِسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرٌ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوْا عُنُقَ اْلآخَرِ
Siapa saja
yang telah membaiat seorang imam lalu ia telah memberikan genggaman tangannya
dan buah hatinya, maka hendaklah ia mentaatinya sesuai dengan kemampuannya, dan
jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaannya maka penggallah orang
lain itu (HR. Muslim)
Tata Cara Baiat
Telah kami
jelaskan dalil-dalil baiat dan bahwa baiat adalah metode pengangkatan Khalifah
dalam Islam. Adapun tata caranya, baiat bisa dilakukan dengan berjabat tangan
dan bisa juga dengan tulisan. Abdullah bin Dinar telah menyampaikan hadits, ia
berkata :
Aku
menyaksikan Ibn Umar dimana orang-orang telah bersepakat untuk membaiat Abdul
Malik bin Marwan, ia berkata bahwa dia menulis : “aku berikrar untuk
mendengarkan dan mentaati Abdullah Abdul Malik bin Marwan sebagai amirul mukminin
atas dasar kitabullah dan sunah rasul-Nya dalam hal yang aku mampu.”
Baiat itu
boleh dilakukan dengan sarana apapun yang memungkinkan.
Hanya saja
disyaratkan agar baiat itu dilakukan oleh orang yang sudah balig. Baiat tidak
sah dilakukan oleh anak-anak yang belum baligh. Abu ‘Uqail Zuhrah bin Ma’bad
telah menyampaikan hadits dari kakeknya Abdullah bin Hisyam yang pernah
berjumpa dengan Nabi saw : Abdullah pernah dibawa ibunya Zainab binti Humaid,
kepada Rasulullah saw. Ibunya berkata : “ya Rasulullah saw terimalah
baiatnya!” Lalu Nabi saw bersabda : “ia masih kecil“. Dan beliau
mengusap kepalanya dan mendoakannya (HR. Bukhari).
Adapun
lafazh baiat, tidak disyaratkan terikat dengan lafazh-lafazh tertentu. Akan
tetapi harus mengandung makna sebagai baiat untuk mengamalkan Kitabullah dan
sunah Rasul-Nya bagi Khalifah dan harus mengandung makna kesanggupan untuk
mentaati dalam keadaan sulit atau lapang, disenangi atau tidak disenangi bagi
orang yang memberikan baiat. Nanti akan dikeluarkan undang-undang yang
membatasi redaksi baiat sesuai penjelasan sebelumnya.
Manakala
pihak yang membaiat telah memberikan baiatnya kepada Khalifah, maka baiat itu
menjadi amanah diatas pundak pihak yang membaiat dan tidak diperbolehkan
mencabutnya. Baiat ditinjau dari sisi pengangkatan khilafah merupakan hak yang
harus dipenuhi. Jika baiat itu telah diberikan, maka ia wajib terikat
dengannya. Kalau pihak yang memberikan baiat itu ingin menariknya kembali maka
hal itu tidak diperbolehkan. Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dari Jabir bin
Abdullah –radhiyaLlâh ‘anhu– bahwa seorang arab badui telah membaiat Rasulullah
saw untuk menetapi Islam. Kemudian ia menderita sakit, lalu ia berkata : “kembalikan
baiatku kepadaku!” Beliau menolaknya, lalu orang itu pergi. Lantas Beliau
bersabda :
المدينة
كالكبر تنفي خبثها، وينصع طيبها
“Madinah ini
seperti tungku (tukang besi) yang bisa membersihkan debu-debu yang kotor dan
membuat cemerlang yang baik.”
Diriwayatkan
dari Nafi’ yang berkata : “Abdullah bin Umar pernah mengatakan kepadaku : “aku pernah
mendengar Rasulullah saw bersabda :
من خلع يدا
من طاعة لقي الله يوم القيامة لا حجة له
Siapa saja
yang melepaskan tangan dari ketaatan, ia pasti menjumpai Allah pada hari kiamat
tanpa memiliki hujjah
(HR. Muslim)
(HR. Muslim)
Membatalkan
baiat kepada Khalifah sama artinya dengan melepaskan tangan dari ketaatan
kepada Allah. Hanya saja ketentuan itu berlaku jika baiat kepada Khalifah itu
adalah baiat in’iqad atau merupakan baiat taat kepada Khalifah yang telah sah
baiat in’iqad kepadanya. Adapun jika baiat itu baru permulaan lalu baiat
tersebut belum sampai sempurna, maka pihak yang membaiat boleh melepaskan
baiatnya dengan syarat baiat in’iqad dari kaum muslim kepada Khalifah itu belum
sempurna. Larangan dalam hadits itu berlaku untuk orang yang menarik kembali baiat
Khalifah, bukan menarik kembali baiat kepada seseorang yang belum sempurna
jabatan khilafahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar