PROFESIONALISME
GURU & OTONOMI DAERAH:
MEMBANGUN RANGKA-PIKIR PROFESIONALISASI GURU
DI ERA OTONOMI DAERAH
Anwar
Nuris el-Ali, S.Sos.I
A. Pendahuluan
Pendidikan,
sebagai latar-depan gerak maju perkembangan peradaban mempunyai beberapa ciri
penting, salah satunya adalah terbentuknya karakter peserta didik sebagai
faktor dominan dalam penentuan arah peradaban manusia atau paling tidak sebagai
pelaku sejarah – meminjam istilah Antonio Gramsci – yang dapat membingkai
kontinuitas keberlangsungan hidup manusia. Nilai dasar ini kemudian mampu
terintegrasikan ke dalam proses pembentukan perilaku pendidikan yang diharapkan
mampu dijadikan titik pijak untuk menentukan arah baru pendidikan. Sosok
semacam Ibn Khaldun (1332-1406 M), al-Ghazali (1058-1111 M), Abdullah Nashih
Ulwan, Sayid Ahmad Khan (1817-1898 M) dan Fazlur Rahman bisa diajukan sebagai tokoh
dalam bidang pendidikan yang mempunyai perhatian khusus dalam proses
pembentukan karakter peserta didik.
Paradigma
pendidikan semacam ini meniscayakan guru – sebagai seorang pengajar atau
pendidik – sebagai salah satu faktor penentu atas keberhasilan setiap upaya
pendidikan. Karenanya setiap adanya inovasi baru dalam dunia pendidikan,
khususnya dalam kurikulum dan peningkatan sumber daya manusia yang dihasilkan
dari upaya pendidikan senantiasa bermuara pada faktor guru. Ini menunjukkan
bahwa eksistensi seorang guru dalam dunia pendidikan merupakan syarat mutlak
bagi perkembangan pendidikan tersebut.
Akan tetapi,
akhir-akhir ini terjadi pergeseran paradigma pendidikan yang cukup signifikan. Profesi
guru yang pada awal dekade 80-an dengan sangat jumawa-nya bergelut
dengan aktifitas pendidikan kini banyak dibicarakan orang. Bahkan selama
dasawarsa terakhir ini hampir setiap media cetak mempublikasikan sosok dan
kiprah seorang guru. Ironisnya berita-berita tersebut banyak yang cenderung
melecehkan posisi guru, baik yang sifatnya menyangkut kepentingan umum sampai
kepada hal-hal yang sifatnya sangat pribadi, sedangkan dari pihak guru sendiri
nyaris tak mampu membela diri.(Usman, 2003:1)
Sikap dan
perilaku masyarakat tersebut memang bukan tanpa alasan, karena memang ada
sebagian kecil oknum guru yang melanggar kode etiknya yang semestinya menjadi blue
print bagi setiap guru. Beberapa kasus yang terjadi dewasa ini yang
melibatkan seorang guru, cukup menjadi kesalahan sejarah atau kecelakaan sosial
yang tidak boleh terulang di masa yang akan datang. Kasus “pelecehan” guru
terhadap siswanya di sekolah dan guru ngaji di langgarnya dapat diajukan
sebagai contoh betapa peran esensial seorang guru sudah benar-benar terkikis.
Oleh karenanya,
dalam memainkan peran sentral ini, seorang guru harus mampu bertindak lebih
pada sekedar berhasilnya proses pemindahan ilmu (transfer of knowledge)
yaitu kemampuan peserta didiknya untuk mengkolaborasikan nilai-nilai teoritis
dari ilmu-ilmu yang didapatnya dengan praksis idealis sebagaimana yang
ditampakkan oleh guru dalam interaksinya. Dengan kata lain, seorang guru juga
dituntut untuk mampu menjadi suri tauladan yang baik (uswatun hasanah)
bagi setiap peserta didiknya.
Tentang otonomi
daerah, hal itu merupakan konsekuensi dari diberlakukannya Undang-Undang No. 22
Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah; kecuali bidang agama, politik luar
negeri, pertahanan keamanan, peradilan dan moneter. Dengan demikian, maka
daerah mamiliki wewenang dan berhak mengatur serta mengurusi daerahnya sendiri-termasuk
pendidikan. Pada akhirnya implentasi otonomi daerah akan dinilai
langsung oleh masyarakat.(Dillon, 2005:4)
Disinilah letak aktualitas tulisan ini yang mencoba memberikan penyegaran
kembali sisi moralitas pendidikan yang menjadikan guru sebagai titik epicentrum-nya
sebagai salah satu acuan dasar bagi terbentuknya format pendidikan kondusif di
era otonomi daerah.
B. Makna dan Arti Tujuan Pendidikan.
Bagi Ibnu Khaldun,
pendidikan adalah berusaha untuk melahirkan masyarakat yang berkebudayaan serta
berusaha untuk melestarikan eksistensi masyarakat selanjutnya, maka
pendidisskan akan mengarahkan kepada pengembangan sumber daya manusia yang
berkualitas. (Fathiyah, 1987:59). Sehingga dengan kata lain, Ibn Khaldun
menyepakati bahwa tujuan utama dari pendidikan adalah memberikan kesempatan
kepada anak untuk aktif dan bekerja, karena dia memandang aktifitas ini penting
bagi terbentuknya pikiran dan kematangan individu, kemudian kematangan ini akan
mendapatkan faedah bagi masyarakat. Pikiran yang matang adalah alat kemajuan
ilmu, industri dan sistem sosial.
Pengembangan
sumber daya manusia yang berkualitas, merupakan sasaran pembangunan nasional
sebagai out-put dari lembaga pendidikan nasional. Pengembangan sumber daya
manusia yang berkualitas tinggi di Indonesia untuk keberhasilan dalam proses
tinggal landas, maka salah satu sarat utamanya adalah melaksanakan sistem
pendidikan nasional yang mampu melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas
tinggi. (Thoyib, 1999:4)
Dari pola pikir tersebut terwujudlah fungsi dan tujuan pendidikan nasional
dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada
Bab II pasal 4 yang menyatakan bahwa:
“Pendidikan
Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia
Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan
Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan,
kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa
tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.
Tujuan Pendidikan
Nasional diatas diperkuat lagi oleh Undang-Undang Republik Indonesia No. 2, Bab
I, Pasal 1, ayat 1,2 dan 3.yang berbunyi:
1.
Pendidikan adalah usaha sadar untuk
menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau
latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.
2.
Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang
berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan yang berdasarkan pada Pancasila
dan Undang-Undang 1945.
3. Sistem
Pendidikan Nasional adalah suatu keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan
kegiatan pendidikan yang berkaitan satu dengan yang lainnya untuk mengusahakan
tercapainya tujuan Pendidikan Nasional.
Selanjutnya, dihubungkan
dengan Tujuan Nasional sebagaimana termaktub dalam preamble Undang-Undang Dasar
1945 paragraf 4, yaitu:
Kemudian
daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial, maka disusunlah Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam susunan Negara
Republik Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat yang berdasarkan kepada: Ketuhanan yang
Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Disisi lain, bangsa
Indonesia sebagai bangsa yang berbudaya telah mengalami proses pencarian,
penemuan, pembentukan, perubahan, peningkatan, dan pengembangan nilai. Nilai-nilai
tersebut merupakan landasan dan sumber terbentuknya budaya bangsa. Budaya
bangsa tersebut sepanjang sejarahnya tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai
agama. Perkembangan budaya tersebut berjalan dalam rangka upaya manusia untuk
mencapai kehidupan yang sejahtera, bahagia dan merata bagi seluruh warganya,
baik semasa hidupnya di dunia maupun hidupnya di akhirat nanti. Oleh karena
itu, pencarian, pengembangan, pemeliharaan, serta pengalihan ilmu, sains, teknologi,
dan seni kepada generasi berikutnya merupakan sarana yang tidak bebas nilai dan
bersifat sosial-manusiawi dan seluruhnya bersumber pada segala sumber, yaitu
Tuhan Yang Maha Esa.(Feisal, 1995:23).
Jadi dapat
diasumsikan bahwa nilai-nilai dasar pendidikan yang kemudian mampu
diderivasikan kedalam tujuan inti pendidikan adalah merealisasikan penghambaan
diri kepada Tuhan dalam kehidupan manusia, baik secara individual maupun
sosial.(an-Nahlawi, 1995:117) yang mewujud dalam bentuk konkrit: Aktualisasi
diri, perkembangan jasmani dan rohani sebagai prasyarat untuk mengembangkan
akalnya demi terciptanya tatanan sosial yang baik.
Dalam konteks mencapai tujuan Pendidikan Nasional tersebut, faktor dominan
yang sangat berperan didalamnya adalah guru/pendidik, sebab guru/pendidik
inilah yang mempunyai interaksi secara langsung dengan siswa.anak didik dalam
kondisi yang kondusif yaitu di dalam ruangan atau kelas. Sehingga pembentukan
karakter dan perilaku anak didik sebagai objek pendidikan menjadi lebih
terarah. Oleh karenanya, dalam pespektif ini, tingkat kompetensi guru menjadi
prasyarat utama demi tercapainya tujuan pendidikan – baik sebagai sistem nilai
maupun sebagai paradigma – untuk mencetak sumber daya manusia yang berkualitas.
C. Tugas dan Peran Guru dalam Dunia Pendidikan.
Ahmad Tafsir (1992:80) mengatakan bahwa sebagaimana yang
telah disepakati bahwa tugas guru ialah mendidik. Mendidik itu sebagian
dilakukan dalam bentuk mengajar, sebagian dalam bentuk memberikan dorongan,
memuji, menghukum, memberi contoh, membiasakan dan lain-lain. Tugas itu dapat
digambarkan sebagai berikut:
![]() |
P : Lingkaran
Pendidikan
P1 : Mendidik
dengan cara mengajar.
P2 : Mendidik
dengan cara memberi dorongan.
P3 : Mendidik
dengan cara memberi contoh.
P4 : Mendidik
dengan cara memuji.
P5 : Mendidik
dengan cara membiasakan.
Pn : Mendidik
dengan cara lain-lain.
Mengingat lapangan guru yang paling besar – mengacu pada
klasifikasi yang diajukan Tafsir - adalah mengajar, maka dalam melakukan proses
pembelajaran seorang guru haruslah mampu membaca dan memperhatikan keadaan
peserta didiknya, yaitu dengan melakukan hal-hal sebagai berikut (Daradjat,
1982:21-45):
1.
Kegairahan dan kesediaan belajar yang dipengaruhi oleh faktor
kematangan pengalaman, kesesuaian antara materi dan metode pengajaran, serta
keadaan kejiwaan dan penyesuaian dengan peserta didik.
2.
Membangkitkan minat belajar peserta didik dengan
memperhatikan factor kebutuhan, dorongan, dan bakat, serta tujuan pendidikan
dapat dirasakan pentingnya oleh peserta didik, serta perlunya situasi yang
membawa keberhasilan peserta didik serta sedapat mungkin menjauhi hukuman.
3.
Menumbuhkan bakat dan sikap yang baik dengan menciptakan
lingkungan dimana peserta didik ikut aktif didalamnya sehingga pertumbuhan
bakat dan sikap itu terjadi melalui pengalaman langsung.
4.
Mengatur proses belajar mengajar dengan prinsip tujuan
harus jelas dalam pikiran peserta didik; materi pengajaran harus mempunyai arti
bagi peserta didik; menyusun materi pengajaran dan berbagai kegiatan dalam
bentuk satuan belajar sekitar masalah yang dengan peserta didik; dan
mengikutsertakan peserta didik dalam membuat rencana pelajaran dan mengubah
kegiatan mereka.
5.
Mentransfer pengaruh belajar di sekolah kepada
penerapannya dalam kehidupan di luar sekolah. Hal ini dilakukan dengan adanya
syarat persamaan antara suasana pengajaran sekolah dengan kehidupan di luar
sekolah; peserta didik mengenal persamaan tersebut; sehingga suasana belajar di
sekolah dapat menyenangkan, menentramkan dan membawa kelegahan hati.
6.
Hubungan dalam situasi belajar mengajar yang manusiawi,
karena kegairahan dan semangat belajar peserta didik seringkali dipengaruhi
oleh jenis hubungan yang terjadi antara peserta didik dan gurunya.
Penguasaan guru terhadap sisi psikologis anak didiknya
menyangkut perkembangan peserta didiknya, baik menyangkut perkembangan fisik,
intelektual, agama, jiwa, estetika dan sosialnya menjadi penentu keberhasilan
proses pembelajaran.
Sebagai pendidik profesi guru dituntut melakasanakan
tugas pengetahuan dan kemampuan professional. Untuk itu guru harus memiliki
syarat-syarat profesi diantaranya memiliki keahlian yang khusus, memiliki
teori-teori yang baku secara universal, harus dilengkapi dengan kecakapan diagnotis
dan kompetensi.(Tafsir, 2001:108-110).
Dalam upaya mencapai target guru yang ideal tersebut,
menurut Dr. Ghulam Farid Malik (2001:196) dalam bukunya, “Pedoman Manajeman
Madrasah” pengembangan profesi guru dan program pelatihan dapat
dilaksanakan melalui beberapa pelatihan
- Pelatihan
Jangka Pendek
Berupa pelatihan khusus
untuk guru yang memenuhi syarat dan yang menjadi materi utamanya adalah isi
kurikulum baru dan pendekatan pedagogis.
- Meningkatkan Program KKM (kelompok kerja madrasah)
Dengan menyelenggarakan seminar dan lokakarya untuk
memperbaharui pengetahuan dan pedagogi.
- Pelatihan dan Penjenjangan guru yang “belum memenuhi
syarat” dan tidak sesuai”.
Pelatihan dengan melakukan pendekatan yang berdasarkan atas inisiatif demi
mencapai tingkat kualifikasi melalui kursus malam hari atau “sandwich” di IKIP
atau UT.
- Membantu teman sebaya.
Artinya
guru yang telah memenuhi kualifikasi harus mendorong teman sebaya. Serta kepala
sekolah harus mendorong untuk melembagakan pendekatan ini.
Dalam upaya membangun potensi
kreatifitas anak agar lebih optimal ada beberapa hal yang dapat dilakukan. Pertama,
memberikan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan kreatifitas. Kedua,
memilih media yag sesuai dengan anak. Ketiga, menerima ide yang tidak
biasa dari mereka. Artinya memberikan ruang kebebasan bagi anak untuk
mengeksplorasi segenap potensi yang dimilikinya. Keempat, menggunakan
pemecah masalah yang kreatif. Kelima, kreatifitas tidak mengikuti waktu
dan lebih menekankan kepada proses dari pada hasil. Keenam, anak sulit
kreatif tanpa inspirasi yang kongkrit. Mereka lebih senang menggambar pada
objek langsung menurut rasa dan memorinya. Ketujuh, mengenalkan kepada
anak-anak terhadap budaya, pengalaman, organisasi, dan cara berfikir berbeda. Kedelapan,
hati-hati terhadap rintangan kreatifitas. Sehingga dengan usaha ini diharapkan
akan terjadi peningkatan SDM Indonesia di masa yang akan datang.
D. Refleksi
Kritis.
Adagium kuno
yang mengatakan bahwa "jika guru makan berdiri, maka murid akan makan
Berlari" kiranya perlu diperhatikan kembali tingkat kerelevansiannya
pada saat sekarang ini sebagai sebuah sistem nilai (value system) yang
mampu bertindak sebagai sarana kontrol (controlling) bagi setiap orang
yang bergelut dalam dunia pendidikan. Hasil analisa pragmatis ini kemungkinan
besar dilakukan ketika para penggiat pendidikan sudah mulai kehilangan visi
kognitifnya dalam mengembangkan mekanisme kerja pendidikan. Oleh karenanya,
guru harus senantiasa mampu berpegangan pada sistem nilai ini dalam melakukan
segala macam bentuk aktifitas pendidikan yang dibebankan di pundaknya.
Sikap pasrah
dan memasrahkan orang tua dalam proses pendidikan anaknya kepada guru
memang bagai buah simalakama, disatu sisi, jika pendidikan anaknya berhasil
maka faktor genetikanya yang pertama kali dikedepankan (hal ini bisa dilihat
pada ungkapan “Budi itu mendapat rangking pertama dikelasnya, siapa dulu
ayahnya/ibunya”). Sedangkan disisi lain, ketika pendidikan anaknya gagal, maka
orang pertama yang dikambing-hitamkan pertama kali adalah gurunya (hal ini bias
kita lihat pada seringnya ungkapan “moral anak itu bejat sekali, siapa
gurunya/muridnya siapa”). Ironisnya lagi, fenomena hidup seperti itu sudah
mengendap dalam memori kolektif sebagian besar masyarakat kita dan cenderung menjadi
sebuah tradisi atas kebanyakan orang.
Beban besar
yang dipikul seorang guru inilah yang menjadikan betapa seorang guru disamping
mempunyai kecakapan dalam praktek pembelajaran, dia juga harus mampu membekali
dirinya dengan kecakapan mental yang mumpuni.
Semoga semangat
guru yang tak lekang oleh panasnya matahari dan tak lapuk oleh turunnya
hujan itu tetap menjadi sebuah dambaan bersama demi terciptanya secercah
cahaya baru yang nantinya mampu menjadi sebongkah harapan bagi masa depan
pendidikan kita.
Selamat
berjuang pahlawan tanpa tanda jasa.
BIBLIOGRAFI
Usman, Moh.Uzer, Menjadi
Guru Profesional, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003)
Dillon, H. S., Otonomi Award
2005 JPIP, dalam Jawa pos, Rabu 4 Mei 2005,
Thoyib, Ruswan dan Darmu’in
(Peny.), Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Tokoh Klasik & Kontemporer,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999)
Feisal, Jusuf Amir., Reorientasi
Pendidikan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995)
Daradjat, Zakiah., Kepribadian
Guru, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982)
Tafsir, Ahmad., Ilmu Pendidikan
dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001)
Team FKIP UMM, Dasar Supervisi
dan manajemen Pendidikan Islam, Pusat Penerbitan Universitas Muhammadiyah
Malang, 1999, Cetakan Ke-1
Malik, Ghulam Farid., Pedoman Manajemen Madrasah,
diterbitkan atas kerjasama Basic Education Project (BEP) DEPAG RI dengan Pusat
Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Jakarta dan Pusat Studi Agama Politik
dan Masyarakat (PSAPM) Surabaya tahun 2001.
An-Nahlawi, Abdurrahman., Pendidikan Islam di Rumah,
Sekolah dan Masyarakat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996)
Sulaiman, Fathiyah Hasan., Pandangan Ibnu Khaldun
tentang ilmu dan Pendidikan, (Bandung: CV. Diponegoro, 1987)