Selasa, 09 Juli 2013

PROFESIONALISME GURU & OTONOMI DAERAH: MEMBANGUN RANGKA-PIKIR PROFESIONALISASI GURU DI ERA OTONOMI DAERAH Anwar Nuris el-Ali, S.Sos.I


PROFESIONALISME GURU & OTONOMI DAERAH:
MEMBANGUN RANGKA-PIKIR PROFESIONALISASI GURU
DI ERA OTONOMI DAERAH
Anwar Nuris el-Ali, S.Sos.I

A. Pendahuluan
Pendidikan, sebagai latar-depan gerak maju perkembangan peradaban mempunyai beberapa ciri penting, salah satunya adalah terbentuknya karakter peserta didik sebagai faktor dominan dalam penentuan arah peradaban manusia atau paling tidak sebagai pelaku sejarah – meminjam istilah Antonio Gramsci – yang dapat membingkai kontinuitas keberlangsungan hidup manusia. Nilai dasar ini kemudian mampu terintegrasikan ke dalam proses pembentukan perilaku pendidikan yang diharapkan mampu dijadikan titik pijak untuk menentukan arah baru pendidikan. Sosok semacam Ibn Khaldun (1332-1406 M), al-Ghazali (1058-1111 M), Abdullah Nashih Ulwan, Sayid Ahmad Khan (1817-1898 M) dan Fazlur Rahman bisa diajukan sebagai tokoh dalam bidang pendidikan yang mempunyai perhatian khusus dalam proses pembentukan karakter peserta didik.
Paradigma pendidikan semacam ini meniscayakan guru – sebagai seorang pengajar atau pendidik – sebagai salah satu faktor penentu atas keberhasilan setiap upaya pendidikan. Karenanya setiap adanya inovasi baru dalam dunia pendidikan, khususnya dalam kurikulum dan peningkatan sumber daya manusia yang dihasilkan dari upaya pendidikan senantiasa bermuara pada faktor guru. Ini menunjukkan bahwa eksistensi seorang guru dalam dunia pendidikan merupakan syarat mutlak bagi perkembangan pendidikan tersebut.
Akan tetapi, akhir-akhir ini terjadi pergeseran paradigma pendidikan yang cukup signifikan. Profesi guru yang pada awal dekade 80-an dengan sangat jumawa-nya bergelut dengan aktifitas pendidikan kini banyak dibicarakan orang. Bahkan selama dasawarsa terakhir ini hampir setiap media cetak mempublikasikan sosok dan kiprah seorang guru. Ironisnya berita-berita tersebut banyak yang cenderung melecehkan posisi guru, baik yang sifatnya menyangkut kepentingan umum sampai kepada hal-hal yang sifatnya sangat pribadi, sedangkan dari pihak guru sendiri nyaris tak mampu membela diri.(Usman, 2003:1)
Sikap dan perilaku masyarakat tersebut memang bukan tanpa alasan, karena memang ada sebagian kecil oknum guru yang melanggar kode etiknya yang semestinya menjadi blue print bagi setiap guru. Beberapa kasus yang terjadi dewasa ini yang melibatkan seorang guru, cukup menjadi kesalahan sejarah atau kecelakaan sosial yang tidak boleh terulang di masa yang akan datang. Kasus “pelecehan” guru terhadap siswanya di sekolah dan guru ngaji di langgarnya dapat diajukan sebagai contoh betapa peran esensial seorang guru sudah benar-benar terkikis.
Oleh karenanya, dalam memainkan peran sentral ini, seorang guru harus mampu bertindak lebih pada sekedar berhasilnya proses pemindahan ilmu (transfer of knowledge) yaitu kemampuan peserta didiknya untuk mengkolaborasikan nilai-nilai teoritis dari ilmu-ilmu yang didapatnya dengan praksis idealis sebagaimana yang ditampakkan oleh guru dalam interaksinya. Dengan kata lain, seorang guru juga dituntut untuk mampu menjadi suri tauladan yang baik (uswatun hasanah) bagi setiap peserta didiknya. 
Tentang otonomi daerah, hal itu merupakan konsekuensi dari diberlakukannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah; kecuali bidang agama, politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan dan moneter. Dengan demikian, maka daerah mamiliki wewenang dan berhak mengatur serta mengurusi daerahnya sendiri-termasuk pendidikan. Pada akhirnya implentasi otonomi daerah akan dinilai langsung oleh masyarakat.(Dillon, 2005:4)
Disinilah letak aktualitas tulisan ini yang mencoba memberikan penyegaran kembali sisi moralitas pendidikan yang menjadikan guru sebagai titik epicentrum-nya sebagai salah satu acuan dasar bagi terbentuknya format pendidikan kondusif di era otonomi daerah.
B. Makna dan Arti Tujuan Pendidikan.
Bagi Ibnu Khaldun, pendidikan adalah berusaha untuk melahirkan masyarakat yang berkebudayaan serta berusaha untuk melestarikan eksistensi masyarakat selanjutnya, maka pendidisskan akan mengarahkan kepada pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas. (Fathiyah, 1987:59). Sehingga dengan kata lain, Ibn Khaldun menyepakati bahwa tujuan utama dari pendidikan adalah memberikan kesempatan kepada anak untuk aktif dan bekerja, karena dia memandang aktifitas ini penting bagi terbentuknya pikiran dan kematangan individu, kemudian kematangan ini akan mendapatkan faedah bagi masyarakat. Pikiran yang matang adalah alat kemajuan ilmu, industri dan sistem sosial.
Pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas, merupakan sasaran pembangunan nasional sebagai out-put dari lembaga pendidikan nasional. Pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi di Indonesia untuk keberhasilan dalam proses tinggal landas, maka salah satu sarat utamanya adalah melaksanakan sistem pendidikan nasional yang mampu melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. (Thoyib, 1999:4)
Dari pola pikir tersebut terwujudlah fungsi dan tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab II pasal 4 yang menyatakan bahwa:
“Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.
            Tujuan Pendidikan Nasional diatas diperkuat lagi oleh Undang-Undang Republik Indonesia No. 2, Bab I, Pasal 1, ayat 1,2 dan 3.yang berbunyi:
1.      Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.
2.      Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang 1945.
3.      Sistem Pendidikan Nasional adalah suatu keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan kegiatan pendidikan yang berkaitan satu dengan yang lainnya untuk mengusahakan tercapainya tujuan Pendidikan Nasional.        
Selanjutnya, dihubungkan dengan Tujuan Nasional sebagaimana termaktub dalam preamble Undang-Undang Dasar 1945 paragraf 4, yaitu:
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam susunan Negara Republik Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat yang berdasarkan kepada: Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Disisi lain, bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berbudaya telah mengalami proses pencarian, penemuan, pembentukan, perubahan, peningkatan, dan pengembangan nilai. Nilai-nilai tersebut merupakan landasan dan sumber terbentuknya budaya bangsa. Budaya bangsa tersebut sepanjang sejarahnya tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai agama. Perkembangan budaya tersebut berjalan dalam rangka upaya manusia untuk mencapai kehidupan yang sejahtera, bahagia dan merata bagi seluruh warganya, baik semasa hidupnya di dunia maupun hidupnya di akhirat nanti. Oleh karena itu, pencarian, pengembangan, pemeliharaan, serta pengalihan ilmu, sains, teknologi, dan seni kepada generasi berikutnya merupakan sarana yang tidak bebas nilai dan bersifat sosial-manusiawi dan seluruhnya bersumber pada segala sumber, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.(Feisal, 1995:23).
Jadi dapat diasumsikan bahwa nilai-nilai dasar pendidikan yang kemudian mampu diderivasikan kedalam tujuan inti pendidikan adalah merealisasikan penghambaan diri kepada Tuhan dalam kehidupan manusia, baik secara individual maupun sosial.(an-Nahlawi, 1995:117) yang mewujud dalam bentuk konkrit: Aktualisasi diri, perkembangan jasmani dan rohani sebagai prasyarat untuk mengembangkan akalnya demi terciptanya tatanan sosial yang baik.
Dalam konteks mencapai tujuan Pendidikan Nasional tersebut, faktor dominan yang sangat berperan didalamnya adalah guru/pendidik, sebab guru/pendidik inilah yang mempunyai interaksi secara langsung dengan siswa.anak didik dalam kondisi yang kondusif yaitu di dalam ruangan atau kelas. Sehingga pembentukan karakter dan perilaku anak didik sebagai objek pendidikan menjadi lebih terarah. Oleh karenanya, dalam pespektif ini, tingkat kompetensi guru menjadi prasyarat utama demi tercapainya tujuan pendidikan – baik sebagai sistem nilai maupun sebagai paradigma – untuk mencetak sumber daya manusia yang berkualitas.
C. Tugas dan Peran Guru dalam Dunia Pendidikan.
Ahmad Tafsir (1992:80) mengatakan bahwa sebagaimana yang telah disepakati bahwa tugas guru ialah mendidik. Mendidik itu sebagian dilakukan dalam bentuk mengajar, sebagian dalam bentuk memberikan dorongan, memuji, menghukum, memberi contoh, membiasakan dan lain-lain. Tugas itu dapat digambarkan sebagai berikut:
 


P     : Lingkaran Pendidikan
P1   : Mendidik dengan cara mengajar.
P2   : Mendidik dengan cara memberi dorongan.
P3   : Mendidik dengan cara memberi contoh.
P4   : Mendidik dengan cara memuji.
P5   : Mendidik dengan cara membiasakan.
Pn   : Mendidik dengan cara lain-lain.


Mengingat lapangan guru yang paling besar – mengacu pada klasifikasi yang diajukan Tafsir - adalah mengajar, maka dalam melakukan proses pembelajaran seorang guru haruslah mampu membaca dan memperhatikan keadaan peserta didiknya, yaitu dengan melakukan hal-hal sebagai berikut (Daradjat, 1982:21-45):
1.       Kegairahan dan kesediaan belajar yang dipengaruhi oleh faktor kematangan pengalaman, kesesuaian antara materi dan metode pengajaran, serta keadaan kejiwaan dan penyesuaian dengan peserta didik.
2.       Membangkitkan minat belajar peserta didik dengan memperhatikan factor kebutuhan, dorongan, dan bakat, serta tujuan pendidikan dapat dirasakan pentingnya oleh peserta didik, serta perlunya situasi yang membawa keberhasilan peserta didik serta sedapat mungkin menjauhi hukuman.
3.       Menumbuhkan bakat dan sikap yang baik dengan menciptakan lingkungan dimana peserta didik ikut aktif didalamnya sehingga pertumbuhan bakat dan sikap itu terjadi melalui pengalaman langsung.
4.       Mengatur proses belajar mengajar dengan prinsip tujuan harus jelas dalam pikiran peserta didik; materi pengajaran harus mempunyai arti bagi peserta didik; menyusun materi pengajaran dan berbagai kegiatan dalam bentuk satuan belajar sekitar masalah yang dengan peserta didik; dan mengikutsertakan peserta didik dalam membuat rencana pelajaran dan mengubah kegiatan mereka.
5.       Mentransfer pengaruh belajar di sekolah kepada penerapannya dalam kehidupan di luar sekolah. Hal ini dilakukan dengan adanya syarat persamaan antara suasana pengajaran sekolah dengan kehidupan di luar sekolah; peserta didik mengenal persamaan tersebut; sehingga suasana belajar di sekolah dapat menyenangkan, menentramkan dan membawa kelegahan hati.
6.       Hubungan dalam situasi belajar mengajar yang manusiawi, karena kegairahan dan semangat belajar peserta didik seringkali dipengaruhi oleh jenis hubungan yang terjadi antara peserta didik dan gurunya.
Penguasaan guru terhadap sisi psikologis anak didiknya menyangkut perkembangan peserta didiknya, baik menyangkut perkembangan fisik, intelektual, agama, jiwa, estetika dan sosialnya menjadi penentu keberhasilan proses pembelajaran.
Sebagai pendidik profesi guru dituntut melakasanakan tugas pengetahuan dan kemampuan professional. Untuk itu guru harus memiliki syarat-syarat profesi diantaranya memiliki keahlian yang khusus, memiliki teori-teori yang baku secara universal, harus dilengkapi dengan kecakapan diagnotis dan kompetensi.(Tafsir, 2001:108-110).
Dalam upaya mencapai target guru yang ideal tersebut, menurut Dr. Ghulam Farid Malik (2001:196) dalam bukunya, “Pedoman Manajeman Madrasah” pengembangan profesi guru dan program pelatihan dapat dilaksanakan melalui beberapa pelatihan
  1. Pelatihan Jangka Pendek
Berupa pelatihan khusus untuk guru yang memenuhi syarat dan yang menjadi materi utamanya adalah isi kurikulum baru dan pendekatan pedagogis.
  1. Meningkatkan Program KKM (kelompok kerja madrasah)
Dengan menyelenggarakan seminar dan lokakarya untuk memperbaharui pengetahuan dan pedagogi.
  1. Pelatihan dan Penjenjangan guru yang “belum memenuhi syarat” dan tidak sesuai”.
Pelatihan dengan melakukan pendekatan yang berdasarkan atas inisiatif demi mencapai tingkat kualifikasi melalui kursus malam hari atau “sandwich” di IKIP atau UT.
  1. Membantu teman sebaya.
Artinya guru yang telah memenuhi kualifikasi harus mendorong teman sebaya. Serta kepala sekolah harus mendorong untuk melembagakan pendekatan ini.
Dalam upaya membangun potensi kreatifitas anak agar lebih optimal ada beberapa hal yang dapat dilakukan. Pertama, memberikan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan kreatifitas. Kedua, memilih media yag sesuai dengan anak. Ketiga, menerima ide yang tidak biasa dari mereka. Artinya memberikan ruang kebebasan bagi anak untuk mengeksplorasi segenap potensi yang dimilikinya. Keempat, menggunakan pemecah masalah yang kreatif. Kelima, kreatifitas tidak mengikuti waktu dan lebih menekankan kepada proses dari pada hasil. Keenam, anak sulit kreatif tanpa inspirasi yang kongkrit. Mereka lebih senang menggambar pada objek langsung menurut rasa dan memorinya. Ketujuh, mengenalkan kepada anak-anak terhadap budaya, pengalaman, organisasi, dan cara berfikir berbeda. Kedelapan, hati-hati terhadap rintangan kreatifitas. Sehingga dengan usaha ini diharapkan akan terjadi peningkatan SDM Indonesia di masa yang akan datang.
D. Refleksi Kritis.
Adagium kuno yang mengatakan bahwa "jika guru makan berdiri, maka murid akan makan Berlari" kiranya perlu diperhatikan kembali tingkat kerelevansiannya pada saat sekarang ini sebagai sebuah sistem nilai (value system) yang mampu bertindak sebagai sarana kontrol (controlling) bagi setiap orang yang bergelut dalam dunia pendidikan. Hasil analisa pragmatis ini kemungkinan besar dilakukan ketika para penggiat pendidikan sudah mulai kehilangan visi kognitifnya dalam mengembangkan mekanisme kerja pendidikan. Oleh karenanya, guru harus senantiasa mampu berpegangan pada sistem nilai ini dalam melakukan segala macam bentuk aktifitas pendidikan yang dibebankan di pundaknya.
Sikap pasrah dan memasrahkan orang tua dalam proses pendidikan anaknya kepada guru memang bagai buah simalakama, disatu sisi, jika pendidikan anaknya berhasil maka faktor genetikanya yang pertama kali dikedepankan (hal ini bisa dilihat pada ungkapan “Budi itu mendapat rangking pertama dikelasnya, siapa dulu ayahnya/ibunya”). Sedangkan disisi lain, ketika pendidikan anaknya gagal, maka orang pertama yang dikambing-hitamkan pertama kali adalah gurunya (hal ini bias kita lihat pada seringnya ungkapan “moral anak itu bejat sekali, siapa gurunya/muridnya siapa”). Ironisnya lagi, fenomena hidup seperti itu sudah mengendap dalam memori kolektif sebagian besar masyarakat kita dan cenderung menjadi sebuah tradisi atas kebanyakan orang.
Beban besar yang dipikul seorang guru inilah yang menjadikan betapa seorang guru disamping mempunyai kecakapan dalam praktek pembelajaran, dia juga harus mampu membekali dirinya dengan kecakapan mental yang mumpuni.
Semoga semangat guru yang tak lekang oleh panasnya matahari dan tak lapuk oleh turunnya hujan itu tetap menjadi sebuah dambaan bersama demi terciptanya secercah cahaya baru yang nantinya mampu menjadi sebongkah harapan bagi masa depan pendidikan kita.
Selamat berjuang pahlawan tanpa tanda jasa.
  






BIBLIOGRAFI
Usman, Moh.Uzer, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003)
Dillon, H. S., Otonomi Award 2005 JPIP, dalam Jawa pos, Rabu 4 Mei 2005,
Thoyib, Ruswan dan Darmu’in (Peny.), Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Tokoh Klasik & Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999)
Feisal, Jusuf Amir., Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995)
Daradjat, Zakiah., Kepribadian Guru, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982)
Tafsir, Ahmad., Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001)
Team FKIP UMM, Dasar Supervisi dan manajemen Pendidikan Islam, Pusat Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 1999, Cetakan Ke-1
Malik, Ghulam Farid., Pedoman Manajemen Madrasah, diterbitkan atas kerjasama Basic Education Project (BEP) DEPAG RI dengan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Jakarta dan Pusat Studi Agama Politik dan Masyarakat (PSAPM) Surabaya tahun 2001.
An-Nahlawi, Abdurrahman., Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996)
Sulaiman, Fathiyah Hasan., Pandangan Ibnu Khaldun tentang ilmu dan Pendidikan, (Bandung: CV. Diponegoro, 1987)













Tidak ada komentar:

Posting Komentar